Opini
Review Buku Puisi "Tiada Jembatan yang tak Luka" Karya Unis Sagena
Judul: Tiada Jembatan yang tak Luka
Penulis: Unis Sagena
Jenis buku: Puisi
Penerbit: Hikam Media Utama
Tahun terbit: 2024
Saya mendapatkan tugas yang sangat berat: mereview buku puisi 92 halaman, “Tiada Jembatan yang tak Luka” (Bentala Puisi). Pertama, saya tidak pernah belajar teori sastra atau teori mereview puisi. Kedua, saya bukan seorang sastrawan. Ketiga, modal saya mereview hanya faktor perasaan: “Oh ini saya suka, oh ini saya belum terlalu paham bagaimana menyukainya.”
(Unis, ada 1000 hal yang patut dicemburui tentang buku ini, kau minta aku menulis yang tak indah, baiklah!)
Saya tidak suka membaca buku puisi “Tiada Jembatan yang tak Luka (Bentala Puisi)”. Penulisnya, Unis Sagena, mengharapkan buku ini dapat menjadi bacaan santai, “…khatam dibaca dalam sekali duduk.” Jangan sampai terkecoh. Ini adalah buku puisi yang berat.
Unis bilang, buku ini adalah salah satu dari dua. Tapi saya malah lebih suka buku ini masih dibagi lagi. Biar membacanya bisa santai, bisa hanyut, bisa menikmati, meskipun tetap, saya tak sepakat bahwa ini bisa dibaca sekali duduk. Beberapa puisi Unis malah terasa tak boleh dibaca sekali saja, atau dibaca lalu segera lanjut ke puisi lainnya.
Yang sekarang ini, meskipun buku puisinya sudah dibuat kategori dalam bab-bab, saya tidak sepakat pada beberapa puisi dikategorisasi dalam bab yang sama dan tidak sepakat pula dengan nama Bab-nya. Sebagai contoh, Jembatan 1 (halaman 1-25), Unis menamai kumpulan ini “Sunyi yang Bising.” Isinya sebagian besar adalah perenungannya terhadap situasi social-politik-sejarah, lalu menyeliplah “Musisi Jalanan Granada” (Halaman 9-10) yang tak senafas dengan puisi lainnya di kategori ini tapi malah justru, dibanding puisi lainnya di kategori Jembatan 1, paling mengena untuk masuk kategori “Sunyi yang Bising”.
Kepiawaian Unis mengapresiasi lukisan sahabatnya, Chiyoko, dalam buku ini dengan puisi patut di-highlight. Lukisan hitam putih Chiyoko memang indah dan menegunkan, sayangnya, keindahan itu tak sepenuhnya terasa karena begitu padatnya buku ini dengan puisi.
Walau layout bukan tanggung jawab Unis sepenuhnya, saya tak suka lukisan Chiyoko pada halaman 9, ditaruh sepembukaan dengan Puasa Orkestra di halaman 8. Tetapi, saya suka Hutan Kota Okayama, bersisian lukisan Chiyoko di sebelahnya. Seandainya bahkan Unis memisahkan seluruh lukisan Chiyoko dan membuat satu buku puisi khusus untuk kolaborasi dirinya dan Chiyoko, alangkah sempurnanya. Karena lukisan adalah puisi tersendiri, tentu Indah melihat lukisan Chiyoko berdamping-damping dengan penikmatan Unis terhadapnya. Kesan saya, kehadiran lukisan Chiyoko dan puisi apresiasinya dalam buku ini malah bikin buku ini semakin berat dan gado-gado. Padahal puisi apresiasi Unis indah, lukisan Chiyoko pun penuh perenungan.
Unis juga membuat pusing karena puisi-puisinya tak ada yang bertanggal. Tentunya, haknya penulis menyembunyikan detil tulisannya, mungkin ada suatu alasan. Tentu ada puisi yang begitu pribadi dan mungkin berdampak kurang baik untuk bertanggal. Tetapi hal tersebut terasa mendzolimi pembaca yang ingin mengaitkan, alam ruh kejadian apa yang melingkupi penulisnya ketika menggoreskan puisi itu. Contohnya, “Nusantara 2: Pattani” (halaman 16), kapan puisi ditulis? Tentu, puisi ini tidak ujug-ujug ada. Jika saja penulis berbagi sedikit bulan tahunnya, pembaca dapat mengecek berita, “Oh, sesedih ini Pattani saat puisi ini ditulis!” Saya sendiri merasa, ini semacam sedekah penulis kepada pembaca, yaitu membantu pembaca awam sepertiku menikmati penuh sebuah puisi.
Mungkin Unis boleh mempertimbangkan ini di buku puisi selanjutnya.
Sebelum menutup tulisan ini, saya baca kembali pesan Unis untuk mereview. Di situ tertulis, review BUKU, bukan review puisi dalam buku. Saya bersyukur diminta mereview buku saja, sebab jika harus menguliti puisinya pula, saya harus bilang apa, saya tak punya pisaunya.
Oleh: Nurhira Abdul Kadir, Bakung Samata, 17 Januari 2025, pukul 11:29 malam.(*)
*) Nurhira Abdul Kadir adalah dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar, beberapa puisi dari ibu tiga anak ini termuat dalam buku antologi puisi seperti Wasiat Cinta (2013) dan Analekta Beruq-Beruq: Perempuan Mandar Menjawab (2013)
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp