Opini
Sahnya UU Omnibus Law Menimbulkan Klaster Patologi Sosial
Oleh: Suhardi Dahlan (Mahasiswa IAIN Samarinda)
Akhir-akhir ini kita dihebokan bukan tentang kasus masyarakat yang terkonfirmasi positif Covid-19, melainkan para wakil rakyat yang positif mengesahkan UU Omnibuslaw yang merupakan aturan sebagai inisiatif eksekutif kepada legislatif, untuk membahas dan mengesahkan regulasi tersebut yang terangkum dalam 11 klaster.
Dengan dalil penyederhanaan dan pemangkasan regulasi menjadi Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap berbagai kalangan masyarakat pengesahannya terburu-buru, bahwa prodak UU yang tidak berpihak serta mencelakai rakyat Indonesia terutama kaum buruh yang merasakan dampak dengan terbitnya UU tersebut.
Klasifiksi UU Omnibuslaw yang disahkan para wakil rakyat di Senayan, bahwa masyarakat mengkonfirmasikan dengan memvonis DPR telah positif lenyapnya ideologi sosial yang termaktub dalam Pancasila. Dampak ini meluas dan mewabah bukan soal Covid-19 tapi wabah sosial lembaga-lembaga pemerintahan menjadi klaster dengan gejala positif tertular virus janji manis para pemangku kebijakan, mesti dirapid test dan swab test sehingga patologi indepedensi wakil rakyat dapat dinyatakan negatif terhindar dari wabah kepentingan dan kongkalikong.
Hadirnya UU Omnibuslaw akan memberikan sumbangsih terhadap perubahan sosial secara komprehensif dan signifikan di berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut diakibatkan aspek perilaku yang disengaja oleh para pemangku kebijakan demi memuaskan ideologi politik oligarki yang terdisentralisir dan otokrasi bukan berlandaskan sistem demoktratis.
Pengambilan keputusan tentang UU Omnibuslaw menjadi cacatan sejarah dalam regulasi yang cacat terhadap kesimpangsiuran, bukan aspek ekonomi saja. Namun, perilaku sosial masyarakat justru bukan mengindahkan peraturan tersebut namun melahirkan gejala atau fenomena anyar yang dapat menimbulkan efek kesenjangan sosial yang berkesinambungan.
Menyikapi UU Omnibuslaw ini tentu menjadi klaster baru bukan menciptakan lapangan kerja (cilaka) baru, melainkan timbul ketidakadilan dalam diri setiap individu atau kelompok yang dirugikan dengan masalah peraturan Cilaka ini. Maka muncul sumber masalah sosial yang bukan harapan masyarakat di tengah krisis kesehatan dan ekonomi yang semakin redup akibat tergerus oleh pandemik Covid-19.
Situasi ini tidak diindahkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dalam menyikapi persoalan bukan menerbitkan regulasi yang berpihak pada rakyat, justru membentuk klaster-klaster baru dalam aspek patologi sosial. Upaya pengendalian ini pun memerlukan modal finansial yang bersumber dari uang negara untuk menanggulangi permasalah sosial yang terjadi, maka secara otomatis UU Omnibuslaw tidak berimplikasi pada substansi dari regulasi tersebut.
Kesenjangan yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara regulasi yang diterbitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, persoalan ini berbagai pihak lembaga pemerintahan tidak mensinkronkan dengan regulasi yang dibutuhkan rakyat untuk mengurangi risiko sosial dan ekonomi masyarakat.
Selain itu, muncul ketidakadilan antara distribusi pendapatan negara kepada masyarakat tidak merata, sedangkan rakyat digerus dengan dalil aturan perpajakan yang mesti dipenuhi namun feedback-nya hanya menguntungkan konglomerasi dengan mengkomersilkan UU Omnibuslaw ini.
Kekhawatiran terkonfirmasinya positif UU Cilaka ini akan mencelakakan lalu lintas kehidupan sosial masyarakat sehingga keharmonisasian dalam bernegara dan berbangsa semakin rengang akibat masalah sosial bukan hanya pada konflik vertikal namun konfilk horizontal akan bermuculan di kemudian hari.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co