Nasional

Social Commerce Tumbuh Pesat, Tapi Perempuan Masih Tertinggal dalam Ekonomi Digital

Kaltim Today
26 September 2025 08:38
Social Commerce Tumbuh Pesat, Tapi Perempuan Masih Tertinggal dalam Ekonomi Digital
Data MSC menunjukkan bahwa pengusaha perempuan yang memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha) memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk mengakses kredit dari bank formal.

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Social commerce atau aktivitas jual-beli melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, dan TikTok, tumbuh pesat di Indonesia. Namun, riset terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ini belum sepenuhnya inklusif—khususnya bagi perempuan pengusaha mikro yang masih menghadapi kesenjangan dalam akses pembiayaan, pelatihan, dan proteksi digital.

Jumiyah, seorang pengusaha kuliner di Balikpapan, mengaku baru mengetahui fitur katalog di WhatsApp Business saat diwawancarai dalam riset. “Saya harap ada pelatihan supaya bisa menggunakannya dengan efektif,” ujarnya.

Kisah Jumiyah mencerminkan kondisi banyak pelaku usaha mikro perempuan di Indonesia. Riset MicroSave Consulting (MSC) yang berjudul “The Landscape and Financial Access of Social Commerce Sellers in Indonesia” mencatat bahwa sebagian besar pelaku social commerce adalah perempuan, namun mereka beroperasi tanpa sistem pendukung yang memadai.

Minim Pelatihan, Akses Modal Terbatas

Berdasarkan riset MSC di tujuh provinsi, sebanyak 74% pelaku usaha sosial masih mengandalkan dana pribadi untuk modal usaha. Hanya sebagian kecil yang mendapat dukungan dari lembaga keuangan formal. Pilihan seperti arisan dan pinjaman informal lebih banyak dipilih karena dianggap lebih aman dan mudah diakses.

Selain itu, riset juga menemukan bahwa hanya 5,8% pengusaha pernah mengikuti pelatihan bisnis. Keterbatasan waktu, biaya, serta ketidaksesuaian dengan platform yang mereka gunakan sehari-hari menjadi alasan rendahnya partisipasi pelatihan.

Kurangnya integrasi sistem—seperti katalog, pembayaran, hingga logistik—juga menyebabkan transaksi berjalan secara manual, rawan risiko, dan tidak terdokumentasi dengan baik. Hal ini menjadi hambatan utama dalam mengakses pembiayaan formal seperti pinjaman bank atau kredit usaha rakyat.

Ratna, pengusaha kerajinan di Jawa Barat, mengaku masih mengandalkan arisan komunitas dan enggan memakai sistem pembayaran digital. “Saya tidak terbiasa dengan sistem perbankan, saya percaya pada orang-orang yang saya kenal,” katanya. Sikap ini mencerminkan tantangan besar dalam adopsi digital, terutama di kalangan pelaku usaha berbasis komunitas.

Tantangan Inklusi dan Kesenjangan Digital

Grace Retnowati, Direktur MSC Southeast Asia, menekankan bahwa social commerce bukan hanya tempat jualan online, melainkan ruang penting bagi perempuan untuk menjalankan usaha sambil tetap menjalankan peran domestik.

“Sudah saatnya mereka didukung dengan sistem yang mendorong partisipasi formal dalam ekonomi digital,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Deputi Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM, Riza Adha Damanik, yang menilai bahwa penguatan kapasitas UMKM harus disesuaikan dengan karakteristiknya agar program benar-benar tepat sasaran.

Ia juga menyatakan bahwa di tengah pesatnya pertumbuhan social commerce, masih dibutuhkan sistem pendukung yang aman dan inklusif. “Kehadiran social commerce harus bisa memberikan proteksi kepada pelaku usaha melalui promosi gratis di media sosial dan akses pasar yang lebih luas,” ujar Riza.

Namun, ia menekankan pentingnya pendampingan dan pengawasan ketat, terutama mengingat tantangan besar seperti membanjirnya produk impor yang bersaing langsung dengan produk UMKM lokal.

Regulasi dan Kolaborasi Lintas Sektor

Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Permendag No. 31 Tahun 2023, yang membatasi dominasi platform e-commerce besar dan mendorong perlindungan terhadap pelaku UMKM lokal. Namun, dalam praktiknya, banyak pengusaha mikro masih menghadapi tantangan dalam hal integrasi fitur, literasi digital, dan akses pasar yang adil.

Untuk mendiseminasikan temuan riset ini, MSC bersama Kementerian UMKM akan menggelar webinar pada 25 September 2025 bertema “Akses Pembiayaan bagi Penjual Informal Perempuan dalam Social Commerce”. Acara ini akan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk kementerian/lembaga, pelaku UMKM, praktisi, dan media.

Dengan pendekatan yang tepat, investasi berperspektif gender, dan kolaborasi lintas sektor, social commerce berpotensi menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi perempuan di Indonesia. Saat perempuan mendapat akses yang setara terhadap pelatihan, pembiayaan, dan perlindungan digital, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu tumbuh dan menciptakan perubahan nyata dalam ekosistem ekonomi digital nasional.

[TOS]



Berita Lainnya