Opini
Sudahkah Rumusan “Living Law” dalam RKUHP Sesuai dengan Realitas Masyarakat Indonesia?
Oleh: Lisa Aprilia Gusreyna (Mahasiswa Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman)
Pembaruan hukum, termasuk salah satunya hukum pidana adalah keniscayaan karena kebutuhan akan keadilan masyarakat yang terus menerus berubah tentu harus bisa diakomodasi. Namun, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sudah akan disahkan di DPR, masih terdapat pasal-pasal yang dipersoalkan kalangan masyarakat sipil karena dikhawatirkan menimbulkan dampak kriminalisasi secara berlebihan. Beberapa lembaga hukum melakukan kajian terhadap pasal-pasal penting RKUHP dan menyuarakannya.
Opini ini berfokus pada salah satu masalah krusial, yaitu digunakannya rumusan living law (hukum yang hidup), yang dianggap penanda bahwasanya RKUHP sebagai karya besar bangsa Indonesia dan dekolonisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama. Namun, muncul pertanyaan menarik, apakah RKUHP merumuskan living law sudah memadai dan mengakomodasi realitas masyarakat yang terus berubah, apalagi di masa globalisasi hukum seperti saat ini?
Seandainya living law disamakan begitu saja dengan hukum adat, justru di situlah letak permasalahannya. Hukum adat bukanlah hukum yang membeku, melainkan mengalami pertemuan dengan hukum-hukum lain, bertransformasi melahirkan hukum ”hibrida” yang selalu baru. Hukum adat bahkan menyebar jauh seiring berpindahnya warga adat pendukungnya ke wilayah tanpa batas dan membentuk komunitas baru. Mereka mengonstruksi identitas ”bikulturalisme” di tempat baru. Tetapi di satu sisi, tetap mengaktifkan nilai dan hukum adat lama, terutama terkait peristiwa daur hidup: kelahiran, perkawinan, kematian, pewarisan, bahkan hubungan kepemilikan sumber daya alam di kampung asal. Di sisi lain, mereka juga faktanya mengadopsi beragam nilai, hukum, dan gaya hidup tempat tinggal baru.
Jadi, tidak mudah mengidentifikasi atau membuat pemetaan hukum adat di seluruh wilayah Nusantara yang luas, apalagi dengan perspektif romantisisme adat lama. Van Vollenhoven yang dikenal sebagai Bapak Hukum Adat Indonesia pernah membuat peta masyarakat hukum adat dengan membagi Hindia-Belanda ke dalam 19 wilayah adat. Namun, peta itu dikritik sebagai hasil imajinasi dan rekaan belaka dikarenkan lebih didasarkan pada bahan cerita mahasiswa Indonesia yang belajar ke Leiden di masa itu. Hukum adat jauh lebih kompleks dari yang dikodifikasikannya. Apalagi, di masa sekarang, upaya merekodifikasi justru akan mereduksi hukum adat.
Living Law
Bagaimanapun posisinya, living law bukan sekadar istilah biasa, melainkan merupakan konsep utama yang dipelajari secara histori dalam berbagai percabangan ilmu hukum, seperti salah satunya Antropologi Hukum. Living law esensinya adalah hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat. Dalam studi pluralisme hukum dipahami bahwa hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat.
Dalam realitas keseharian terdapat hukum adat, hukum agama, kebiasaan, atau hibridasi di antaranya yang sama efektif keberlakuannya dalam relasi antarwarga. Hukum negara dengan supremasinya memang paling kuat daya ikatnya. Begitu seseorang diindikasikan melanggar hukum, polisi (sebagai representasi negara) bisa segera menangkapnya. Namun, hukum negara sangat amat jarang ditemui dalam keseharian kecuali perjumpaan dengan soal administratif kependudukan, transaksi perdata, atau pelanggaran pidana. Hukum yang paling lekat dengan keseharian justru hukum lain di luar negara.
Dapat dipandang, living law tidak identik dengan rumusan teks hukum secara normatif, baik hukum negara, adat, agama, maupun norma hukum tidak tertulis. Teks hukum selalu berisi norma ideal, cita-cita melindungi masyarakat dari kejahatan, keserakahan, dan mendistribusi keadilan. Namun, selalu ada jurang antara rumusan ideal dan praktik hukum dalam masyarakat. Tidak semua orang patuh hukum, ada saja orang melanggar hukum. Jadi, manakah the living law itu?
Hukum yang sudah mengalami ujian dalam kasus sengketa adalah ketika pelanggaran hukum diselesaikan di pengadilan atau komunitas adat atau agama. Di situlah pasal atau normal ideal mengalami ujian melalui perdebatan hakim dan para pihak. Kemudian, lahirlah pertimbangan (ratio decendendi) dan putusan hakim. Living law itu sebenarnya adalah putusan hakim atau otoritas dalam komunitas, hasil ujian terhadap teks hukum, dan inilah hukum yang sungguh akan ditaati, nyata berlaku dalam masyarakat.
Pluralisme Hukum
Semua sistem hukum saling bertemu satu sama lain sehingga terjadi saling pengaruh dan adopsi, dan dengan cara itulah hukum berubah sepanjang masa. Hukum adat bertemu hukum agama menjadi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah di Sumatera Barat, atau nama berbeda di wilayah lain. Hukum adat bertemu hukum negara dalam banyak putusan hakim pengadilan negeri terkait waris, seperti di Sumatera Barat (Benda-Beckmann, F& K, 2021). Pertemuan hukum agama dan hukum negara dapat diidentifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam, pegangan hakim Pengadilan Agama sejak 1991.
Pengertian pluralisme hukum bukan hanya sekadar koeksistensi di antara berbagai sistem hukum dalam suatu bidang atau arena sosial tertentu, melainkan juga terjadinya pertemuan, saling adopsi, antarsistem hukum. Di masa globalisasi sekarang, kompleksitas pertemuan antarhukum bertambah karena pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional, terutama di bidang hak asasi manusia. Delegasi berbagai bangsa menyuarakan problem kemanusiaan negara masing-masing di PBB dan bertujuan memiliki perlindungan hukum bersama. Setelah menjadi instrumen hukum internasional, lalu diratifikasi oleh negara-negara, atau diadopsi sebagian isinya dalam hukum nasional tertentu. Karena pertemuan antarsistem hukum itulah, hukum selalu bergerak sehingga setiap sistem hukum tidak bisa dipandang sebagai entitas dengan batas jelas dan terpisah dari hukum-hukum lain.
Kemudian pertanyaanya selanjutnya adalah, siapa aktor penggerak hukum dari berbagai arah menuju ke berbagai arah? Manusia yang bermigrasi karena berbagai alasan, seperti diplomat, ekspatriat, ilmuwan, aktivis kemanusiaan, pekerja badan internasional, pekerja industri multinasional, juga pengguna internet yang saling bertukar pengetahuan dan pengalaman antarwilayah atau negara.
Tidak kalah pentingnya, jika living law diidentikkan dengan hukum adat, harus diingat bahwasanya dari perspektif kemanusiaan perempuan, masih hidup hukum adat yang tidak sejalan dengan perspektif kemanusiaan. Di antaranya hari ini masih berlangsung praktik ”kawin tangkap” di Nusa Tenggara Timur, praktik kawin anak karena alasan kemiskinan dan budaya, penyelesaian kasus pemerkosaan dengan mengawinkan korban (anak dan perempuan) dengan pelaku di banyak wilayah, perkelahian antarkampung dalam konflik agraria, atau persekusi terhadap orang yang tidak disukai atas nama adat. Apabila norma adat semacam ini dijadikan acuan dalam RKUHP atau peraturan turunannya, nanti akan ada (calon) korban kriminalisasi.
Epilog
Memuliakan hukum adat semestinya dilakukan justru dengan memuliakan masyarakat adat secara substansial dan mengakui keberadaannya. NKRI bukan satu-satunya nasion. Di dalamnya terdapat nasion-nasion kecil berbasis kesukubangsaan dan sebagiannya memiliki agama kepercayaannya sendiri. Pengakuan adalah paling mendasar, termasuk tidak memaksa mereka mendaftarkan diri seperti organisasi biasa, dan mengakui kesaksian mereka di pengadilan meski tidak disumpah karena kitab suci agama resmi yang disediakan hanya ada enam.
Di antara mereka banyak yang kehilangan ruang hidup berupa tanah, hutan, kebun, sumber air, dan makanan. Bukti kepemilikan komunal kalah kedudukannya di mata hukum dan hakim, dibandingkan sertifikasi formal. Perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap petani yang menuntut hak hidupnya adalah kisah-kisah memilukan di negeri ini.
Sertifikat palsu didapat dari cara kekerasan dan penipuan dalam konflik agraria telah meminggirkan kedudukan masyarakat adat dalam kurun panjang (Ikhsan 2015, Lund2021). Kehilangan ruang hidup berpotensi memiskinkan mereka, menyebabkan perempuan adat terlempar dari kampungnya menjadi buruh migran dengan pendidikan dan keterampilan minim, menjadi korban kawin anak dan terjebak dalam perdagangan orang, kemelaratan atau bahkan kematian karena melahirkan di usia anak.
Formalisasi hukum adat dalam RKUHP bukanlah solusi esensial dalam memanusiakan warga masyarakat adat. Juga, upaya memetakan dan mengidentifikasi siapa masyarakat adat di Indonesia bukan perkara mudah karena identitas masyarakat adat dan hukumnya tidak tunggal dan seragam. Perkembangan dan perubahan hukum adat serta masyarakat adat tidak bisa ditahan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram “Kaltimtoday.co”, caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.