Mahulu
Tagih Janji Pemkab Mahulu Terkait Pengesahan Hutan Adat di Long Isun, Masyarakat Turun Gunung Jumpai Ketua DPRD Kaltim
Kaltimtoday.co, Samarinda - Berada jauh di daerah pedalaman kerap membuat masyarakatnya selalu terkucilkan, dengan pelbagai macam kepentingan industri maupun politik negeri ini. Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Long Isun, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) dua tahun terakhir ini. Sejak 2018 silam, masyarakat di kampung ini hanya mendapatkan iming janji dari pemerintahnya, jika hutan kampung adat mereka yang rencana akan disahkan untuk keperluan dan kepentingan masyarakat, justru sampai saat ini tak pernah terealisasi.
Informasi dihimpun, hutan seluas lebih dari 80 ribu hektare ini sebagiannya masuk dan dikuasai sebagai konsesi PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT). Meski sangat luas, akan tetapi masyarakat hanya menuntut dan menginginkan 13 ribu hektare di antaranya saja. Perjuangan terus disuarakan. Namun dukungan guna mendapatkan hak mereka belum juga dipenuhi para elit. Padahal, pada Februari 2018 lalu, sudah dilakukan penandatanganan perjanjian antara masyarakat, Pemerintah Kabupaten Mahulu, Ketua DPRD Mahulu, serta pihak perusahaan PT KBT.
Agar konflik tersebut dapat segera diselesaikan. Empat kesepakatan dihasilkan dari pertemuan tersebut. Namun, perjanjian itu hingga saat ini tidak membuahkan hasil apapun. Pemkab dan DPRD Mahulu pun tidak menetapkan hutan tersebut menjadi hutan adat. Alhasil, konflik antara masyarakat Long Isun dengan perusahaan terus berlangsung hingga saat ini.
Masyarakat tidak ingin, hutan tersebut rusak akibat aktivitas PT KBT, karena sebagian besar dari mereka masih sangat bergantung dengan hasil hutan, seperti berkebun, berladang dan berburu serta mencari tangkapan sungai di dalamnya. Penolakan konsesi penambangan kayu oleh perusahaan dikhawatirkan, akan membabat habis hutan dan merusak seluruh ekosistem di dalamnya.
Didampingi Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, sebagian masyarakat Long Isun yang mewakili, tiba di Samarinda. Selain melakukan jumpa pers, mereka pun direncanakan akan bertemu dengan Ketua DPRD Kaltim guna melakukan pembahasan ini lebih lanjut. Koalisi Kemanusiaan tersebut terdiri dari WALHI Kaltim, Perkumpulan Nurani Perempuan, FH POKJA 30 dan Jaringan Advokat Lingkungan (JAL). Usulan mereka nantinya, akan diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014.
Aturan tersebut tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, ditambah peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Nomor 1/2015 tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kaltim.
Diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor 7/2018 tentang Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga Adat. Serta Keputusan Bupati Mahulu nomor 800.05.140.436.1/K.185d/2017 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Mahulu.
"Bahkan regulasinya untuk memperkuat hal ini sudah ada. Tapi sampai saat ini belum ada putusannya," kata Direktur Pokja 30 Buyung Marajo, kepada awak media, di Kafe D’Bagios, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda, Rabu (5/2/2020).
Dia menyebut, masyarakat Adat Kampung Long Isun terus berupaya untuk mendapatkan pengakuan. Karena bagi masyarakat, hutan, tanah dan sungai bukan hanya sebagai ibu dari kehidupan suku mereka yang terbiasa tempat berburu, berladang dan meramu.
Menjaga dan merawatnya adalah bentuk tanggung jawab mereka secara turun temurun. Jika hutan punah, mereka semua begitu paham dengan konsekuensinya. Terlebih, identitas dan entitas masyarakat adat Dayak sendiri otomatis akan turut tergerus. Terutama bagi Suku Dayak Bahau Umaaq Suling di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu.
“Kami ingin pemerintah bisa memberikan pengakuannya kepada Masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun,” imbuhnya.
Pada kesempatan sama, seorang warga Desa Long Isun bernama Kristina Yeq Lawing menuturkan kegelisahannya. Mamak Yeq-sapaan akrabnya-menuturkan, hal tersebut dalam bahasa daerah Dayak Bahau. Ketakutan akan kepunahan hutan semakin menjadi dalam benaknya, terlebih selama dua tahun perjuangan, belum membuahkan hasil apapun. Turut menambahkan, putranya Theodorus Tekwan Ajat (44) ditahan pada 2014 lalu lantaran dituduh memeras dan merampas dengan kekerasan.
“Kami sayang dan ingin menjaga hutan kami. Bahkan anak kandung saya yang sempat berjuang dan mempertahankannya, justru berujung pidana," keluhnya.
Perjalanan kampung Long Isun sangat jauh. Mereka ingin melindungi kekayaan adat mereka. Dengan tegas menyatakan, ingin menagih proposal politik lima tahun lalu kepada Pemkab Mahulu. Untuk itu, Senin (10/2/2020), warga Long Isun akan bertandang ke DPRD Kaltim. Guna meminta kejelasan mengenai Perda Nomor 1/2015.
“Di mana ucapan lima tahun lalu untuk mengesahkan hutan adat ini," imbuhnya.
Selain berurusan dengan pihak perusahaan, konflik sosial pun turut terjadi di dalamnya. Yakni, soal batas hutan wilayah adat antar desa adat.
"Kalau rusak satu pasti rusak semuanya," pungkasnya.
[JRO | RWT]