Opini

Tambang Batu Bara Bukan Solusi bagi Lingkungan Hidup

Kaltim Today
18 Januari 2021 15:43
Tambang Batu Bara Bukan Solusi bagi Lingkungan Hidup
Syahrul Ramadhan

Oleh: Syahrul Ramadhan (Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)

Pertambangan batu bara salah satu komoditi yang memberikan pemasukan besar terhadap pendapatan daerah dan devisa negara. Bahkan pertambangan batu bara juga menjadi penopang hidup masyarakat daerah dan mampu mensejahterakan masyarakat. Sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi; “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam artian sumber daya alam yang terdapat di Indonesia harus benar-benar diberikan kepada rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan, yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka dalam pengelolahan sumber daya alam sudah dipastikan harus adanya kepentingan rakyat yang dapat terpenuhi dengan baik. 

Namun dalam kenyataannya, pengelolahan sumber daya alam di sektor pertambangan batu bara masih belum memberikan dampak yang baik terhadap kehidupan masyarakat. Walaupun dari sisi ekonomi mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), membuka lapangan pekerjaan, dan mampu memberikan pemasukan ekonomi yang tinggi bagi negara. Tetapi proses pengelolahan tambang batu bara tidak memihak kepada masyarakat. Karena yang merasakan kenikmatan dan keuntungan dari adanya tambang batu bara hanya segelitintir orang saja. Sehingga masyarakat yang berada di kawasan pertambangan hanya bisa merasakan dampak negatif yang ditimbulkan dari bekas lubang tambang batu bara. 

Permasalahan tambang batu bara merupakan masalah serius bagi kondisi lingkungan hidup. Sebab dengan banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh pemerintah terhadap perusahaan tambang batu bara, maka semakin besar juga kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Sebagai contoh Provinsi Kaltim yang memiliki kekayaaan alam yang berlimpah, salah satunya batu bara. Dengan banyaknya perizinan tambang batu bara yang telah diterbitkan pemerintah daerah maka pengalihan fungsi lahan juga akan masif untuk terus dirusak. Ketika melihat data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur pada tahun 2017, IUP yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah mencapai 1.404. Sedangkan pemerintah pusat menerbitkan 30 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) di wilayah Kaltim.

Dengan banyaknya perizinan yang telah diterbitkan oleh pemerintah, maka pengerukan sumber daya alam batu bara akan semakin luas. Alhasil dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan yaitu penebangan hutan secara liar, tanah longsor dan banjir. Dampak yang ditimbulkan memiliki hubungan yang erat dengan banyaknya lubang tambang yang berada di Kaltim. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaltim pada 2018 memiliki lubang tambang sebanyak 1.735. Dampak negatif dengan banyaknya lubang tambang batu bara merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakan karena lingkungan hidup menjadi sasaran utama. Bahkan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia kedepannya.

Dengan banyaknya hutan yang dialih fungsingkan menjadi lahan pertambangan sehingga kawasan yang menjadi tempat resapan air ketika hujan semakin berkurang. Inilah salah satu penyebab banjir. Misalkan di Kota Samarinda sering sekali dihadapkan dengan fenomena banjir yang terus terjadi di beberapa tahun lalu hingga saat ini. Bahkan catatan Jatam tentang Kota Samarinda menunjukan 70 % luas daratan sudah dikapling untuk kepentingan tambang batu bara, sehingga ancaman bagi lingkungan hidup akan semakin terancam.

Selain itu galian bekas lubang tambang batu bara yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya pertanggung jawaban dari pihak perusahaan akan menjadi dampak terhadap kehidupan masyarakat. Karena bekas lubang tambang batu bara di Kaltim sudah banyak memakan korban jiwa. Jatam Kaltim mencatat, dari tahun 2011-2020 ada 39 korban jiwa yang meninggal dunia di bekas galian lubang tambang yang belum direklamasi. Hal ini dikarenakan tidak tegasnya pemerintah daerah untuk menuntut perusahaan tambang batu bara agar melakukan reklamasi pasca tambang. Maka lubang tambang akan menjadi dampak bagi masyarakat yang berada di kawasan tersebut. 

Kemudian Undang-Undang (UU) No 3/2020 merupakan perubahan dari UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). UU Minerba baru muncul dengan dalih supaya bisa mengatasi permasalahan pertambangan minerba yang belum bisa diselesaikan dalam UU Minerba yang lama. Tetapi isi dari UU Minerba yang baru belum bisa menjawab persoalan lingkungan hidup. Sebab di pasal 169A yang berbunyi “Kontrak Karya (KK) dan PKP2B di berikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian setelah memenuhi persyratan”. Dengan melihat pasal 169A dalam UU Minerba yang baru hanya memberikan keuntungan bagi oligarki tambang supaya bisa mengeksploitasi sumberdaya alam secara terus-menerus. Sehingga masyarakat hanya mendapatkan dampak negatif dari kegiatan pertambangan.

Kerusakan lingkungan hidup akan terus terjadi dengan adanya eksploitasi yang dilakukan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Tanpa melihat dampak yang ditimbulkan terhadap lingkugan hidup kedepanya, sehingga kondisi Kaltim dengan jumlah pertambangan batu bara yang begitu banyak.  Maka UU Minerba bukan menjadi solusi terhadap kondisi lingkungan hidup di Kaltim, tetapi menjadi ancaman terhadap lingkungan hidup kedepannya.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya