Kutim
Tuntut Ganti Rugi Lahan Sawit, Warga Long Bentuk Blokir Jalan
Kaltimtoday.co, Sangatta - Merasa dirugikan oleh PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) dan PT Hamparan Perkasa Mandiri, masyarakat adat Dayak Desa Long Bentuq pun turun ke jalan melakukan unjuk rasa. Namun, apa yang dilakukan masyarakat adat Dayak Desa Long Bentuq itu sangat disayangkan oleh Camat Busang, Kutai Timur (Kutim).
Camat Busang ,Impung Anyeq menyebutkan, aksi yang dilakukan dengan pemortalan di KM 16, justru menjadikan masyarakat menjadi korban. Truk pengangkut buah segar mereka tidak bisa lewat, sehingga penjualan terhambat. Akibatnya, buah tandan segar (TBS) pun membusuk sehingga merugikan masyarakat
“Meski saya juga Dayak, tetapi menyayangkan unjuk rasa tersebut. Sangat mengganggu. Buah sawit bisa busuk, tidak bisa dijual. Masyarakat juga yang akhirnya merasakan dampak ekonomi dari aksi tersebut,” kata Impung kepada media, Selasa (2/1/2021).
Impung mengatakan, unjuk rasa serupa dengan persoalan yang sama, pernah terjadi pada 2015. Saat itu, masyarakat adat Long Bentuq juga menuntut ganti rugi atas tanah adat. Ketika itu, Pemkab Kutim memfasilitasi pertemuan antara PT SAWA dan masyarakat adat. Hanya saja, masyarakat adat cenderung memaksakan kehendak dan tidak mematuhi hasil fasilitasi tersebut.
Bahkan, mereka juga terkesan mengabaikan Surat Keputusan Bupati Kutim Nomor 130/K 905/2015 tentang Penetapan Batas Administrasi antara Desa Long Bentuq, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutim.
Itu sebabnya, Impung mempertanyakan, ketika kali ini masyarakat adat Long Bentuq kembali berunjuk rasa. Padahal, SK tersebut sampai sekarang masih berlaku.
“Ini yang harus dipertanyakan. Apakah mereka memiliki legalitas tanah adat tersebut? Kalau punya bukti hukum lengkap, tidak masalah. Harus diingat, kita hidup bernegara dimana yang berlaku adalah hukum positif,” tegasnya.
Seperti diketahui, dalam aksinya masyarakat adat Long Bentuq juga menuntut sebesar Rp 15 Miliar. Padahal, sebelum 2015 perusahaan sudah melakukan ganti rugi kepada pemilik lahan dengan persetujuan Kepala Adat Dayak setempat. Hanya saja, setelah itu terjadi perluasan wilayah dimana sebagian wilayah Long Pejeng menjadi wilayah Desa Long Bentuq.
“Perusahaan sebelumnya sudah membayar ganti rugi kepada pemiliknya. Tidak mungkin perusahaan melakukan pembayaran dua kali, karena harus diaudit,” lanjut Impung.
Hal lain yang menjadi sorotan, karena dalam aksinya masyarakat adat juga sambil membawa senjata tajam.
“Buat apa bawa mandau? Itu kan sudah tanda hukum rimba. Apalagi Rp 15 Miliar kan tidak kecil. Ini diduga sudah ada unsur pemaksaan,” pungkasnya.
[El | NON]