Politik
Visi Misi dan Program Kandidat di Pilkada Samarinda Dinilai Sekadar Mencari Popularitas
Kaltimtoday.co, Samarinda - Tahapan pilkada di Samarinda sudah dimulai. Paslon sudah memasuki kegiatan kampanye. Pilkada tahun ini jadi perhatian semua orang. Selain penuh tantangan karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, para penyelenggara dan pasangan calon (paslon) punya pekerjaan rumah yang berat demi menyukseskan pilkada serentak mendatang. Apalagi potensi politik uang, kampanye hitam, dan golongan putih (golput) diprediksi masih akan tetap menghiasi pesta demokrasi tersebut.
Kampanye biasanya menjadi ajang bagi paslon untuk makin mengakrabkan diri dengan masyarakat. Mengenalkan program unggulan hingga visi-misinya ketika terpilih. Beragam isu-isu seksi di Pilkada Samarinda nampak mencuat di ketiga paslon. Tentu saja berkaitan dengan polemik yang melekat dengan Samarinda. Sebut saja seperti banjir, minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia, kejahatan, bahkan Covid-19.
Paslon dituntut harus terampil dan punya kemampuan atau kecakapan agar mampu menjemput suatu jabatan di pemerintahan. Permasalahan kota mesti mereka selesaikan. Agar segera menduduki kursi kepemimpinan teranyar di Kota Tepian.
Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman, Luthfi Wahyudi menyatakan antara ketiga paslon di Samarinda masing-masing punya program unggulan. Ada yang terlihat nyata dan ada pula yang tidak realistis. Dalam hal ini, tidak realistis yang dimaksud oleh Luthfi adalah paslon selalu menawarkan program dalam bentuk nilai uang. Luthfi berpendapat, hal tersebut tak terlalu mendidik dan sebuah tawaran yang sangat pragmatis. Terutama terkait dengan apa yang sudah dipaparkan paslon di baliho atau billboard-nya sebelum kampanye berlangsung. Kecuali untuk meningkatkan pendapatan daerah sekian persen, itu beda cerita.
"Apakah itu kemudian bisa disambung dengan penjelasan-penjelasan yang bisa sampai ke masyarakat atau tidak kan menjadi hal yang harus dilakukan oleh mereka. Kalau tidak, hanya menjadi dongeng menjelang tidur. Orang tidak terlalu yakin kalau cerita itu benar," ungkap Luthfi.
Luthfi berpendapat, kalau terus-terusan dalam nominal uang maka seolah-olah pilkada hanyalah arena distribusi sumber daya yang pragmatis pada masyarakat. Seandainya itu yang diterjemahkan oleh paslon, akan sangat menyedihkan dan memprihatinkan sekali. Seharusnya paslon bisa lebih cerdas. Namun, Luthfi juga menyampaikan bahwa memungkinkan pula para paslon ingin populis. Sehingga setiap kebijakannya seolah-olah harus pro rakyat.
"Misalkan, masyarakat lebih suka jika diberi uang. Maka, cara yang relatif cantik untuk membungkus itu tetapi tetap memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat, janji-janji tadi ya memang dalam bentuk-bentuk yang pragmatis itu," lanjutnya.
Paling mengkhawatirkan ketika menyampaikan penjelasan visi-misi dan program harus disertai 'buah tangan.' Lebih miris lagi ketika penjelasan tersebut sebenarnya tak masuk ke dalam pikiran. Melainkan seberapa banyak yang diberi. Maka akan menjadi dua hal yang berbeda antara menjelaskan visi-misi serta bentuk program yang akan dilakukan dan 'buah tangan' yang dibawakan.
Tak kalah menariknya lagi soal penanganan banjir. Mengingat banjir sebagai permasalahan utama Samarinda, maka para paslon berlomba-lomba untuk mampu mengatasinya. Misalnya sebagai contoh, ada penawaran untuk mengurangi banjir di 50 titik. Bakal ada pertanyaan kritis yang muncul ke permukaan mengenai masalah tersebut.
Apalagi pada masa pandemi ini akan agak menyulitkan paslon untuk menjelaskannya pada masyarakat. Kecuali intensitas para paslon lebih tinggi, tiap program dan visi-misi lebih didetailkan lagi. Misalnya untuk mencapai visi itu harus dengan misi seperti apa. Program itu harus diterjemahkan. Bagi Luthfi, jangan sekadar kalimat-kalimat indah yang tak bersentuhan dengan bumi.
Namun Luthfi meyakini bahwa kini masyarakat sudah memiliki pengetahuan dan kecerdasan alamiah. Bahwa dari pilkada ke pilkada, masyarakat sudah memahami mana yang benar-benar nyata atau hanya berbentuk janji semata. Kecerdasan alamiah itu kemudian juga mesti disadari oleh para paslon dan tim suksesnya. Sebab kalau tidak, mereka akan terkejut ketika melihat hasil pilkada nanti.
Menurut pengamatan Luthfi untuk pilkada di Samarinda dan berdasarkan lingkungan sekitarnya, dia melihat bahwa masyarakat masih belum begitu tertarik dengan rencana yang ingin dibawa oleh paslon. Mungkin akan berbeda ketika situasinya sudah menjelang pencoblosan. Jika diasumsikan dengan situasi pandemi yang kian meningkat saat ini dan tidak ada kebijakan untuk menunda pilkada, Luthfi meyakini bahwa ketertarikan masyarakat terhadap pilkada pun berpotensi menurun.
[YMD | TOS]