Nasional
AJI Desak Media Stop Diskriminasi, Sebut Pemberitaan Sister Hong Lombok Tebalkan Stigma
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti belasan media online yang menghakimi minoritas gender dan seksual. AJI ingatkan media wajib menghormati hak privasi dan menjauhi clickbait sensasional.
Kaltimtoday.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak sejumlah media massa agar tidak diskriminatif dalam memberitakan individu dengan ragam identitas gender dan seksual. Pemberitaan yang diskriminatif dikhawatirkan semakin menebalkan stigma, kebencian, dan memicu kekerasan.
AJI Indonesia memantau sejumlah pemberitaan media daring tentang kasus Sister Hong Lombok yang viral belakangan ini. Pemberitaan itu dinilai cenderung diskriminatif terhadap orang dengan ragam orientasi seksual dan identitas gender.
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida mengatakan pemberitaan yang menghubungkan orientasi seksual dengan penyimpangan tidak menghormati keberagaman.
“Pemberitaan seperti itu semakin mempertebal stigma terhadap kelompok minoritas gender dan seksual yang berujung pada perlakuan diskriminatif,” kata Nany Afrida.
AJI melihat pemberitaan itu berpotensi meningkatkan ancaman Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terhadap LGBTIQ di Indonesia. Media massa dinilai mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang dikeluarkan Dewan Pers.
Sebagian media massa menggunakan kutipan narasumber dan judul yang berisi narasi kebencian, sensasional, clickbaitdengan judul bombastis, dan menyerang kelompok minoritas berbasis identitas gender.
Pemberitaan juga menyinggung orientasi seksual Sister Hong Lombok, yang semestinya bersifat privat dan tidak berhubungan dengan kepentingan publik.
AJI mencatat adanya belasan pemberitaan media daring yang cenderung menghakimi dan tidak melakukan konfirmasi. Sebagian media hanya menyadur informasi di media sosial dan menggunakan komentar warganet dengan akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai kode etik jurnalistik.
AJI mengingatkan beberapa pasal Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang diabaikan. Pasal 9 KEJ berbunyi wartawan wajib menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Selain itu, Pasal 3 KEJ mewajibkan wartawan menguji informasi dan memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Pasal 8 KEJ juga melarang wartawan menulis berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, dan bahasa.
Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani, mengatakan pemberitaan yang tidak menghormati keberagaman identitas gender bisa memicu ujaran kebencian, diskriminasi, dan kekerasan.
“Sangat berbahaya bila pemerintah dan masyarakat menggunakannya sebagai rujukan,” kata dia.
AJI mendorong jurnalis menghasilkan karya jurnalistik yang memperhatikan keadilan dan kesetaraan bagi semua kelompok. Dengan begitu, jurnalis bisa membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Masyarakat yang menemukan pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik bisa melapor ke Dewan Pers melalui situs web dewanpers.or.id.
[TOS]
Related Posts
- Bupati Kukar Makan Malam dengan Mantan PM Singapura, Bahas Kunci Utama Kemajuan Daerah
- Anggaran Terbatas, Pemprov Kaltim Tetap Optimis Masuk 3 Besar PON 2028
- IKN Jadi Arena Lari Trail Nasional, Basuki Hadimuljono Janji Dukung Kejuaraan Berikutnya
- Menyikapi Raperda Minuman Beralkohol: Dilema PAD dan Dampak Sosial
- Mahakam: Sungai yang Menyimpan Masa Depan Samarinda







