Opini

Persoalan Komunikasi Kebijakan di Program Gratispol ASN Eselon II

Kaltim Today
19 Desember 2025 07:53
Persoalan Komunikasi Kebijakan di Program Gratispol ASN Eselon II

Oleh: Andi Muhammad Abdi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda

BEBERAPA waktu lalu, kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang memberikan fasilitas pendidikan gratis melalui program Gratispol bagi ASN Eselon II menjadi perbincangan publik. Percakapan ini berkembang cepat, terutama di media sosial, dan memunculkan respons yang cenderung kritis. Situasi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya dinilai dari niat dan manfaatnya, tetapi juga dari bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan serta dipahami oleh masyarakat.

Respons publik terhadap kebijakan ini salah satunya tercermin dalam poling yang dilakukan media Kaltim Today. Hasilnya menunjukkan 93 persen responden menyatakan tidak setuju. Dalam kerangka komunikasi kebijakan, angka ini tidak dapat dibaca secara sederhana sebagai penolakan terhadap tujuan pemerintah. Angka tersebut harus dipahami sebagai sinyal adanya persoalan dalam proses penyampaian pesan dan penerimaan informasi kebijakan oleh publik.

Dalam komunikasi kebijakan, kualitas informasi sangat menentukan pembentukan persepsi. Publik menilai kebijakan berdasarkan pesan yang mereka terima di ruang publik. Ketika informasi yang diterima tidak utuh, penilaian yang muncul pun cenderung parsial. Hal inilah yang terlihat dalam polemik Gratispol.

Pada fase awal pengumuman Gratispol khusus ini, pesan yang paling dominan adalah sasaran penerima manfaat, yaitu ASN Eselon II. Sementara itu, pesan pendukung seperti sifat kebijakan yang bertahap, tujuan jangka panjang peningkatan kualitas birokrasi, serta rencana perluasan kepada ASN di bawahnya tidak terdistribusi secara luas dan serempak. Ketidakseimbangan ini membuat publik menangkap kebijakan hanya dari satu sisi.

Ketika informasi kebijakan diterima secara terpotong, publik akan menafsirkan kebijakan tersebut menggunakan referensi nilai yang sudah mereka miliki. Dalam isu pendidikan gratis, kerangka nilai yang paling kuat adalah keadilan sosial dan pemerataan kesempatan. Karena itu, ketika ASN Eselon II yang berada pada lapisan atas struktur birokrasi menjadi penerima awal, kebijakan ini dengan cepat dipersepsikan sebagai kebijakan elitis.

Pemaknaan semacam ini bukan sesuatu yang mengherankan. Persepsi publik terbentuk bukan hanya oleh isi kebijakan, melainkan juga oleh simbol yang melekat padanya. Setiap kebijakan membawa pesan simbolik tentang siapa yang diprioritaskan pemerintah. Ketika program pendidikan gratis dimulai dari kelompok elite, pesan simbolik yang muncul adalah bergesernya kebijakan dari semangat pemerataan.

Kondisi ini sejalan dengan teori framing Robert Entman yang menekankan bahwa makna kebijakan ditentukan oleh aspek apa yang ditonjolkan dalam komunikasi publik. Ketika yang menonjol adalah penerima awal, sementara konteks tahapan dan rasionalitas kebijakan tidak dikomunikasikan secara kuat, bingkai ketimpangan menjadi dominan. Hal ini terjadi bukan karena kebijakan itu pada dasarnya timpang, melainkan karena pesan yang diterima publik belum mencerminkan keseluruhan maksud kebijakan.

Kritik publik juga dipengaruhi oleh persepsi terhadap kondisi sosial-ekonomi ASN Eselon II. Kelompok ini dipandang memiliki posisi, akses, dan stabilitas ekonomi yang relatif mapan. Dalam persepsi publik, pemberian pendidikan gratis kepada kelompok yang sudah mapan sulit dibaca sebagai bentuk pemerataan. Istilah “pendidikan gratis” secara alamiah dipahami sebagai keberpihakan negara kepada mereka yang lebih membutuhkan.

Meski sebagian kritik terdengar sinis dan emosional, banyak pula respons publik yang bersifat rasional dan proporsional. Secara prinsip, publik tidak menolak pendidikan bagi ASN. Yang dipersoalkan adalah urutan sasaran kebijakan. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa pendidikan gratis tidak lebih dahulu diarahkan kepada ASN Eselon III, IV, pegawai fungsional, atau ASN muda yang masih memiliki masa pengabdian panjang.

Pertanyaan ini berkaitan erat dengan pesan investasi kebijakan. Dalam narasi kebijakan publik, pendidikan selalu diposisikan sebagai investasi jangka panjang. Pesan ini akan lebih mudah diterima jika diarahkan kepada kelompok yang memiliki potensi kontribusi jangka panjang lebih besar. ASN Eselon II, dalam banyak kasus, berada pada fase akhir karier. Ketika mereka menjadi penerima awal, pesan investasi kebijakan menjadi kurang efektif untuk dikomunikasikan.

Pemerintah daerah sebenarnya telah memberikan klarifikasi. Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Kaltim menyampaikan bahwa Gratispol khusus ASN tidak dirancang secara eksklusif hanya untuk Eselon II. ASN di bawah jenjang tersebut juga dijanjikan akan memperoleh kesempatan yang sama pada tahap berikutnya. Klarifikasi ini merupakan upaya untuk menambal kekurangan informasi agar program lebih mudah diterima publik.

Namun, efektivitas klarifikasi sangat ditentukan oleh waktu dan jangkauannya. Klarifikasi yang muncul setelah persepsi publik terbentuk sering kali menghadapi hambatan psikologis. Kesan awal cenderung lebih melekat dibandingkan penjelasan lanjutan. Akibatnya, pesan korektif membutuhkan energi komunikasi yang jauh lebih besar untuk mengubah persepsi yang sudah terbangun.

Dari sudut pandang komunikasi kebijakan, pandangan bahwa ASN Eselon II sebaiknya tidak menjadi prioritas awal memiliki dasar rasional. Pertimbangan ini bukan bentuk penolakan terhadap kelompok tersebut, melainkan berkaitan dengan efektivitas pesan dan orientasi jangka panjang kebijakan. Jika ASN Eselon II tetap diakomodasi, akan lebih komunikatif jika hal itu dilakukan setelah kelompok ASN yang lebih strategis terpenuhi dan kapasitas anggaran daerah benar-benar siap.

Pada akhirnya, hasil poling dengan tingkat ketidaksetujuan tinggi seharusnya dibaca sebagai sinyal evaluasi komunikasi kebijakan. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan pemerintah dan pesan yang diterima publik. Gratispol tetap memiliki potensi besar sebagai instrumen peningkatan kualitas ASN di Kalimantan Timur. Potensi tersebut akan lebih optimal jika kebijakan dikomunikasikan secara utuh, konsisten, dan bersenyawa dengan logika maupun ekspektasi publik. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya