Opini
Membaca Kehendak di Balik Pesan: Ketika Lingkungan Diceritakan oleh Gubernur
Oleh: Ekmal Muhammad Firyal (Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman)
Permasalahan lingkungan di Kalimantan Timur masih menjadi topik yang belum terselesaikan. Beragam konflik yang berkaitan dengan isu lingkungan mulai dari banjir, aktivitas pertambangan, hingga kerusakan kawasan hutan saling berkesinambungan dan membentuk mata rantai persoalan yang kompleks. Penyelesaian hukum yang menggantung, lemahnya penegakan regulasi, serta absennya tindakan tegas dan jawaban yang jelas dari pemangku kebijakan memperparah situasi ini.
Baru-baru ini, media lokal Kalimantan Timur (kaltim) memberitakan dan menampilkan video tanggapan Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, terkait keterkaitan pertambangan dan bencana banjir. Pernyataan tersebut menuai kontroversi karena sebagian masyarakat menilai apa yang disampaikan tidak sejalan dengan kondisi realita yang mereka alami di lapangan. Orang nomor satu di kaltim mengklaim bahwa kerusakan hutan masih berada pada angka yang sangat kecil sehingga klaim tersebut menjadi kontroversial dalam perbincangan hangat publik.
Lebih lanjut, kita awali dengan pertanyaan mendasar, apa yang sebenarnya diinginkan dan menjadi visi Gubernur Kaltim dalam memandang persoalan lingkungan hidup di kaltim ini?
Ketika kita belajar ilmu komunikasi dan melakukan kajian dengan ilmu tersebut yang merupakan bagian dari rumpun humaniora, kita dapat melakukan dugaan keinginan gubernur kaltim melalui analisis bahasa, wacana, dan rasionalitas komunikasi. Melalui pendekatan Teori Wacana Teun A. van Dijk dan Theory of Communicative Action Jurgen Habermas, kita dapat menelusuri bagaimana relasi kuasa bekerja dalam bahasa, bagaimana realitas dibingkai, serta sejauh mana komunikasi politik pemerintah membuka ruang dialog yang rasional dan emansipatoris bagi publik.
Baik. Kita akan mengubah angle secara substantif, bukan sekadar sampul bahasa. Fokusnya sekarang bukan lagi menilai pernyataan gubernur benar atau tidak, tetapi membaca apa yang sebenarnya dikehendaki Gubernur Kalimantan Timur dari cara ia berbicara dan itu dilakukan secara sadar, dengan van Dijk dan Habermas hadir sebagai alat menelaah, bukan pajangan teori saja jadinya.
Permasalahan lingkungan di Kaltim bukan lagi sekadar isu ekologis, melainkan juga persoalan cara kekuasaan memaknai dan menceritakan realitas. Banjir yang berulang, aktivitas pertambangan yang masif, serta kerusakan kawasan hutan telah lama menjadi pengalaman biasa untuk masyarakat Kaltim. Namun, pengalaman tersebut sering kali tidak hadir secara setara dalam pernyataan resmi pemerintah.
Kontroversi yang muncul dari pernyataan Gubernur, Rudy Mas’ud yang menyebut kondisi hutan masih aman dan tingkat kerusakan sangat kecil menjadi titik masuk yang penting untuk bertanya lebih jauh, apa sebenarnya yang ingin dicapai gubernur melalui cara penyampaiannya itu? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan data atau bantahan faktual, tetapi perlu dibaca dari sudut lain.
Dalam analisis wacana kritis Teun A. van Dijk, bahasa dipahami sebagai praktik sosial yang selalu terhubung dengan kekuasaan. Pernyataan elite politik jarang netral, ia bekerja untuk membentuk persepsi publik tentang siapa yang rasional, siapa yang berlebihan, dan bagaimana suatu masalah seharusnya dipahami.
Jika dibaca dari sudut ini, pernyataan gubernur yang menekankan angka kecil dan kondisi “aman” menunjukkan satu kehendak utama, menjaga stabilitas makna. Bahasa tersebut berfungsi untuk memastikan bahwa isu lingkungan tidak berkembang menjadi krisis politik yang mengancam legitimasi pemerintahan. Dengan menampilkan diri sebagai pihak yang berbasis data dan tenang, gubernur memposisikan pemerintah sebagai aktor yang terkendali, sementara keresahan publik secara implisit ditempatkan sebagai reaksi yang perlu diredam.
Ini bukan soal niat buruk kepada rakyat, melainkan strategi wacana. Dalam istilah van Dijk, terdapat upaya positive self-presentation. Pemerintah tampil sebagai pengelola rasional, sementara dampak yang dirasakan warga tidak diberi bobot yang sama dalam narasi resmi.
Jika kita cermati lebih dalam, cara penyampaian ini mengindikasikan bahwa gubernur tidak sedang membuka ruang perdebatan, melainkan mengunci arah percakapan. Isu lingkungan dibingkai sebagai persoalan teknis yang sudah dalam kendali, bukan sebagai masalah struktural yang membutuhkan evaluasi kebijakan secara mendalam.
Dalam ilmu komunikasi, ini penting diperhatikan, yang ingin dicapai bukan pemahaman bersama, tetapi kepastian naratif. Pemerintah ingin memastikan bahwa publik memahami isu lingkungan dalam batas yang telah ditentukan tidak melebar ke pertanyaan tentang pertanggungjawaban politik, relasi dengan industri tambang, atau kegagalan tata kelola lingkungan.
Jurgen Habermas membedakan komunikasi yang bertujuan mencapai saling pengertian dengan komunikasi yang bersifat strategis. Dalam konteks ini, pernyataan gubernur lebih mendekati komunikasi strategis. Bahasa digunakan untuk mencapai efek tertentu menenangkan situasi, menjaga legitimasi bukan untuk membuka dialog kritis dengan masyarakat.
Jika komunikasi benar-benar diarahkan pada saling pengertian, maka pengalaman warga yang terdampak banjir akan diperlakukan sebagai bagian sah dari pengetahuan publik. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pengalaman tersebut tidak menjadi dasar utama komunikasi, melainkan ditempatkan di pinggir, kalah oleh klaim resmi yang bersifat sepihak.
Dari sini, kita bisa membaca kehendak yang lebih dalam pemerintah ingin didengar, bukan mendengar. Komunikasi berjalan satu arah, dan kritik publik diperlakukan sebagai distraksi, bukan sebagai kontribusi dalam gagasan rasional.
Komunikasi berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk simbolik. Cara seseorang berbicara mengandung nilai, kepentingan, dan pandangan dunia. Maka, membaca pernyataan gubernur bukan hanya soal isi pesan yang disampaikan, tetapi juga soal apa yang ingin dipertahankan dan apa yang ingin dihindari.
Dari cara isu lingkungan dipresentasikan, terlihat bahwa kehendak utama bukanlah mengakui krisis secara terbuka, melainkan menjaga citra pengelolaan yang stabil dan terkendali. Bahasa yang dipilih berfungsi sebagai peredam, bukan pemantik diskusi. Ini menjelaskan mengapa banyak warga merasa pernyataan tersebut “tidak nyambung” dengan realitas mereka karena memang tujuan komunikasinya berbeda.
Di sinilah perbedaan antara kepemimpinan ekologis dan manajemen persepsi menjadi jelas. Kepemimpinan ekologis menuntut keberanian untuk mengakui kompleksitas dan konflik kepentingan. Sebaliknya, manajemen persepsi berfokus pada bagaimana masalah terlihat, bukan bagaimana masalah diselesaikan.
Cara gubernur berbicara menunjukkan kecenderungan yang kedua. Keinginan yang terbaca bukan untuk mengundang partisipasi publik, melainkan untuk memastikan bahwa isu lingkungan tetap berada dalam koridor yang aman secara politik.
Melalui pendekatan ini, kita dapat memahami bahwa pernyataan Gubernur Kalimantan Timur bukan sekadar respons informatif. Ia adalah tindakan simbolik yang mencerminkan kehendak politik tertentu, menjaga stabilitas, mengendalikan narasi, dan membatasi ruang tafsir publik atas krisis lingkungan.
Teun A. van Dijk membantu kita melihat bagaimana bahasa bekerja sebagai alat kuasa, sementara Jurgen Habermas mengingatkan bahwa komunikasi kehilangan nilai emansipatorisnya ketika tidak diarahkan pada saling pengertian. Jika komunikasi politik terus bergerak ke arah pengendalian makna, bukan dialog, maka gap antara pemerintah dan masyarakat akan semakin krisis.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan hanya apa yang dikatakan gubernur, tetapi apa yang ingin ia capai dengan cara ia mengatakan itu. Membaca kehendak dibalik pesan, apakah komunikasi pemerintah akan bergerak menuju keterbukaan dan keberanian mengakui krisis, atau justru menguatkan budaya penyangkalan yang membuat lingkungan terus memburuk dalam diam. Publik berhak menunggu jawaban.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Dorong Digitalisasi Berkelanjutan, Yayasan Mitra Hijau Gelar Pelatihan Digital Marketing untuk 42 Pelaku UMKM Kaltim
- Program Gratispol untuk ASN Pemprov Kaltim Masih Dibuka, Sementara Khusus Eselon II
- DPRD Kaltim Soroti Maraknya Kendaraan Plat Luar Daerah yang Rugikan PAD
- DPRD Kaltim Wanti-Wanti Proyek Infrastruktur Terancam Pemotongan Anggaran 2026
- Sengketa Lahan Viral di Kubar Berujung Tersangka, Polres Tegaskan Tak Ada Kriminalisasi








