Nasional
Aktivis Tolak Biofuel Berbasis Sawit dan Kedelai dari Kerangka Net-Zero

Kaltimtoday.co - Organisasi lingkungan global mendesak International Maritime Organisation (IMO) untuk mengecualikan biofuel yang dinilai merusak lingkungan dari kerangka Net-Zero sektor pelayaran global.
Seruan ini datang dari Biofuelwatch, Forest Watch Indonesia (FWI), dan Global Forest Coalition, di tengah diskusi penting mengenai insentif energi bersih dalam kerangka IMO.
Pekan lalu, Komite Perlindungan Lingkungan Laut (MEPC ES.2) memutuskan menunda adopsi kerangka Net-Zero hingga 2026. Namun, diskusi teknis mengenai rincian energi bersih masih berlangsung pada 20–24 Oktober 2025.
Aktivis menekankan bahaya memasukkan biofuel berbasis tanaman, seperti sawit dan kedelai, sebagai alternatif "hijau" pengganti bahan bakar fosil.
Ancaman Deforestasi dan Land Grabbing
Mereka memperingatkan bahwa emisi Indirect Land Use Change (ILUC) dari biofuel berbasis tanaman justru menghilangkan manfaat iklim yang diklaim. Hal ini memicu hilangnya hutan, kerawanan pangan, serta perampasan lahan (land grabbing).
Bahkan, biofuel yang berasal dari kedelai dan sawit berpotensi menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada bahan bakar fosil.
Jana Uemura, Climate Campaigner di Global Forest Coalition, mengatakan bahwa permintaan baru untuk biofuel akan memicu ketidaksetaraan dan perampasan lahan.
“Di Amerika Latin, dorongan untuk biofuel berbasis kedelai telah mempercepat deforestasi dan mengusir komunitas dari tanah mereka,” ujarnya.
Senada, Anggi Putra Prayoga, Forest Campaigner dari FWI, menyoroti kasus di Indonesia yang terus melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit untuk biofuel terus mendorong deforestasi, bahkan di hutan konservasi.
“Menolak biofuel dalam Kerangka Net-Zero berarti melindungi sisa hutan tropis dunia—penyerap karbon dan pusat keanekaragaman hayati yang sangat penting,” tegas Anggi.
Masalah Biofuel Limbah dan Potensi Penipuan
Selain biofuel berbasis tanaman, aktivis juga menyoroti biofuel yang berasal dari limbah dan residu, seperti minyak jelantah (used cooking oil - UCO).
Menurut mereka, UCO memiliki ketersediaan dan skala yang terbatas. Pasokan minyak jelantah global saat ini hanya dapat memenuhi sekitar 5% kebutuhan energi pelayaran.
Keterbatasan ini dikhawatirkan akan mendorong sektor pelayaran beralih ke jalur compliance termurah berikutnya, yaitu biofuel berbasis tanaman yang memiliki risiko ILUC tinggi.
Biofuel dari UCO dan turunan sawit lainnya, seperti POME dan PFAD, juga telah dikaitkan dengan risiko penipuan(fraud), audit yang lemah, dan berpotensi meningkatkan penggunaan sawit tidak berkelanjutan di sektor lain.
Desakan ke Pemerintah Anggota IMO
Pax Butchart, Biofuel Campaigner di Biofuelwatch, mendesak semua pemerintah anggota IMO untuk mengambil sikap tegas menolak biofuel dalam kerangka Net-Zero.
"Ilmu pengetahuan jelas: biofuel berbasis tanaman dan limbah tidak dapat memberikan pengurangan emisi yang nyata," kata Pax.
IMO didorong untuk mengejar alternatif yang benar-benar berkelanjutan, termasuk peningkatan efisiensi energi, propulsi berbantuan angin, dan pengurangan permintaan transportasi maritim dalam perdagangan internasional.
Langkah ini dianggap sebagai peluang bersejarah bagi pemerintah untuk mengarahkan sektor pelayaran menuju solusi nol-emisi yang benar-benar bersih.
[TOS]
Related Posts
- Prabowo: Uang Korupsi Rp 13 T Bisa Bangun 8.000 Sekolah dan 600 Kampung Nelayan!
- Badai Fengshen di Filipina Picu Cuaca Ekstrem di Sejumlah Wilayah Indonesia, Termasuk Kaltim
- BMKG Kaltim Keluarkan Peringatan Dini Curah Hujan Tinggi per Tanggal 20-22 Oktober 2025
- Sudah 10 Orang Tahanan Kabur dari Rutan Polsek Samarinda Kota Berhasil Ditangkap, Sistem Pengamanan Akan Dievaluasi
- Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Survei Tunjukkan Kepuasan Publik Capai 83%