Opini
Arah Konstitusional Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
Oleh: I Putu Gede Indra Wismaya (Mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang)
Berbagai macam aksi demonstrasi yang dilakukan di beberapa daerah guna menolak atas Pengesahan RUU Cipta Kerja Menjadi UU, pemerintah melalui Presiden dengan cepat merespon dengan pernyataan Pers Undang-Undang Cipta Kerja. Yang perlu diingat, presiden meggunakan kalimat yaitu Undang-Undang bukan lagi Rancangan Undag-Undang, maka dengan demikian ada beberapa hal yang perlu dicatat dan perlu dikomentari.
Menelisik terkait frasa “Pernyataan pers Undang-Undang Cipta Kerja”, mengapa pemerintah dalam hal ini presiden tidak menggunakan kalimat “pernyataan Pers RUU Cita Kerja”, bukankah secara legal formiil RUU itu baru sah menjadi Undang-Undang setelah melewati proses pengesahan, penomoran, hingga diundangkan di dalam lembaran negara? Ya, sebab kesepakatan bulat saat paripurna DPR RI itu memiliki konsekuensi hukum bahwasannya, RUU telah selesai dibahas dan disepakati, tinggal mendapat tanda tangan presiden dan kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang.
Jika presiden tidak menandatangani maka sesuai dengan isi Pasal 73 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12/2011 “Dalam hal ini RUU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak ditanda tangani oleh presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disahkan menjadi UU dan wajib diundangkan". Namun jika dilihat arah sikap politik presiden dalam keterangan pers menggunakan kalimat “Undang-Undang Cipta Kerja” maka secara tidak langsung jika melihat menggunakan kacamata politik hukum maka presiden telah menunjukkan kehendaknya untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja Menjadi UU.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja berlangsung luas di beberapa wilayah Indonesia karena ada kesalahan informasi dan berita palsu. Dalam hal ini, seharusnya presiden melihat keresahan yang terjadi pada masyarakat, tuntutan-tuntutan yang menjadi dasar setiap aksi demonstrasi, dengan hal itulah menjadikan informasi yang seharusnya ditanggapi lebih lanjut oleh pemerintah sebagai bahan analisis dan evaluasi terkait pasal mana saja yang dirasa bermasalah bahasa hukumnya (inkonstitusional) dalam muatan isi UU Cipta Kerja.
Presiden Jokowi pun meminta bagi kalangan di masyarakat indonesia yang tidak puas dengan isi Omnibus Law UU Cipta Kerja agar melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mengapa harus melempar kesalahan ini ke lembaga yudikatif MK? Sampai di sini semakin terlihat bahwasanya Presiden memandang UU tersebut telah memiliki muatan materi yang telah sesuai dengan konstitusi dan telah melewati prosedur pembuatan yang benar, sehingga presiden mempersilahkan bagi rakyat atau organisasi apapun jika merasa keberatan, mempersilahkan untuk mengajukan judicial review ke MK. Tapi amat disayangkan, lembaga yudikatif ini sudah kehilangan public trust, masyarakat menilai ada kepentingan elit di dalamnya, kemungkinan? Untuk MK menguji UU ini sehingga dalam politik hukum akan kecil kemungkinan untuk MK menguji UU ini dengan fairness.
Kemudian secara materil ada banyak pasal yang terindikasi bermasalah (inskontitusianal), mengapa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak mengambil pilihan konstitusional lainnya untuk menguji UU Cipta Kerja semisal legislative review sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12/2011 ataupun mengeluarkan Perpu seperti yang dilakukan oleh Presiden SBY saat membatalkan UU yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Lebih bijaknya presiden dalam melihat persoalan ini tida menutup diri untuk melihat, meneliti dan meninjau kembali tuntutan masyarakat terkait pasal-pasal apa saja yang dianggap bermasalah.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co