Opini
Membangun Keluarga yang Menginspirasi
Oleh: Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag
Pada 15 ayat terakhir dari Q.S al-Furqan, Allah menyebutkan sifat-sifat dan kriteria hambaNya, sekaligus memberi gelar kehormatan dengan sebutan ibadu-r-Rahmân; hamba-hamba Dzat yang Maha Pengasih. Mendapat pengakuan langsung dari Allah sebagai hambaNya merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, karena dalam tingkatan kedekatan kepada Khâliq, berkedudukan sebagai seorang hamba Allah merupakan grade tertinggi bagi manusia biasa.
Rasulullah sendiri di samping sebagai rasul beliau juga bangga dengan kehambaannya kepadaNya; `abduhû wa rasûluhû. Dan pada bagian paling akhir dari sifat dan karakter tersebut, Allah menegaskan bahwa `ibâdu-r-Rahmân itu adalah hamba-hamba yang telah mempunyai proyeksi masa depan membangun sebuah keluarga yang ideal. Tekad dan harapan untuk mewujudkannya diungkapkan secara berkelanjutan dalam sebuah do`a munajat: Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a`yun wa-j-`alnâ li-l-muttaqîna imâman; Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata, dan jadikanlah kami sebagai imam (panutan) bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. al-Furqan [25]: 74).
Memiliki pasangan yang baik merupakan dambaan setiap manusia. Tetapi paradigma baik bagi setiap individu bisa berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang mengedepankan pertimbangan inner beauty yang terimplementasikan dalam perilaku dan ketaatan dalam menjalankan agama, tetapi banyak juga yang mempertimbangkan kebaikan eksternal dalam wujud wajah cantik dan kaya dengan status sosial yang jelas.
Dalam perspektif naluri kemanusiaan memang banyak yang mengedepankan kebaikan lahiriyah sebagai kriteria pasangan hidupnya, ini manusiawi dan Rasulullah saw juga mengangkat fenomena ini dalam sebuah ungkapan yang sudah sangat populer: tunkahu-l-mar`atu li `arbain; li jamâlihâ, wa li mâliha, wa li hasabihâ, wa li dînihâ. (wanita itu dinikahi karena (pertmbangan) kecantikan wajahnya, dan harta kekayaannya, dan kedudukan, serta agamanya).
Sebenarnya muatan hadis ini tidak sedang berbicara tentang kewajiban mendapatkan pasangan dengan memperhatikan skala prioritas sesuai urutan yang tertera. Tetapi memperhatikan konteksnya ungkapan nabi tersebut sedang mengangkat fenomena sosial yang berkembang pada masa itu, (dan bahkan fenomena sosial itu berlanjut sampai sekarang).
Fenomena yang berusaha diangkat di dalam hadis itu adalah kecenderungan masyarakat yang lebih mengedepankan kriteria lahiriyah dalam menentukan pasangan dari pada kriteria agama. Tetapi faktanya ketika hadits ini disampaikan dalam rangka memberi bekal bagi pengantin dengan format mauidzah nikah banyak yang salah menginterpretasikan hadits ini dengan menyatakannya bahwa kriteria pasangan dengan skala prioritas yang berurutan sebagaimanan tekstualitas hadits merupaka sebuah sunnah syar`iyyah dan kewajban agama. Padahal konteksnya seperti yang telah diuraikan di atas adalah fenomena yang berkembang di masyarakat dan bukan sebagai tuntutan agama.
Penekanan pesan prophetic ini sebenarnya ada pada bagian akhir dari hadits tersebut: fa-dhfar bi dzâti-d-dîni taribat yadâka; maka beruntunglah orang-orang yang memiliki pasangan yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hidupnya. Agama harusnya menjadi prioritas utama bagi setiap individu dalam menentukan pasangan, bukan hanya laki-laki yang mencari istri, tetapi pihak perempuan yang direpresantasikan oleh bapak sebagai wali nikah harus mempertimbangkan akhlak dan agama dalam hal menerima atau menolak lamaran calon pendamping hidup anaknya.
Dalam sebuah hadits diungkapkan, kalau ada laki-laki yang datang melamar perempuan dengan kualifikasi bagus akhlaq dan tertib agamanya, maka bapak sebagai wali perempuan diwajibkan menerima lamaran tersebut dan tidak boleh menolaknya, karena nabi memberikan isyarat akan terjadinya kerusakan di muka bumi dan fitnah yang nyata menimpa keluarga itu ketika menolak yang berkualifikasi berakhlaq karimah dan beragama dengan mempertimbangan kemapanan duniawi, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Abu Daud.
Salah satu kesalahan mendasar dalam membangun keluarga adalah ketika seorang laki-laki sebagai calon pemimpin rumah tangga tidak memperhatikan teo-spiritualitas calon ibu bagi putra putinya, begitu pula pihak perempuan yang direpresantisakan pencarian jodohnya oleh bapaknya sebagai wali karena dalam menentukan pasangan putrinya lebih berdasarkan kepada kriteria duniawi, meskipun dalam perspektif Q.S. an-Nisa’ [4] ayat 34, laki-laki yang berposisi sebagai suami tetap menjadi faktor utama dalam menentukan arah kiblat masa depan keluarga; ar-rijâlu qawwâmûna `alâ-n-nisâ`.
Allah menyebutnya dengan istilah qawwâmun yang dalam tinjauan kebahasaan berasal dari kata dasar qâma yang memiliki arti berdiri tegak. Dari kata dasar ini dikembangkan menjadi sebuah ungkapan yang mempunyai arti harga dan nilai; yaitu qîmah. Juga dikembangkan menjadi kata qiwâm yang merujuk kepada makna lurus dan tepat. Dengan mengacu kepada rangkaian pengembangan kebahasaan tersebut, maka laki-laki sebagai suami bertanggung jawab terhadap masa depan keluarganya dalam menegakkan nilai-nilai teo-spiritual dan teo-sosial, serta meluruskan orientasi hidup anggota keluarganya.
Ketika dambaan mendapatkan pasangan yang baik dengan kualifikasi ketaatan dalam beragama dan keanggunan akhlaq sudah dikabulkan Allah, harapan berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah lahirnya putra putri menjadi keturunan yang baik (dzrriyatan thayyibatan) sehingga sikap dan semua perilakunya sedap dipandang mata dan menyejukkan hati dan mata yang memandang.
Qurrata a`yun menjadi sebuah terminologi qur`ani untuk menyatakan anak keturunan yang baik (dan juga istri yang sholehah) menurut perspektif Q.S. al-Furqan ini. Istrinya Fir`aun juga pernah berdalih demikian; bahwa bayi ini akan menajadi Qurrata `ainin dalam keluarga istana sebagai upaya menghalangi Fir`aun membunuh Musa kecil (Q.S. al-Qashash [28] ayat 9). Imam ar-Razi dalam tafsirnya menyatakan bahwa memahami kebaikan anak dan istri dengan paradigma qur`ani Qurratu a`yun itu harus diukur dengan standar ketaatberagamaan bukan dengan standar keterlimpahan materi dan kemapaman status sosial.
Hal ini disebabkan karena spirit untaian do`a yang dikumandangkan ketika bermunajat kepada Allah memohon anugerah istri dan anak yang baik, mengandung harapan yang kuat agar kelak mereka (anak keturunan dan istri tersebut) mampu membersamainya dalam menjalani proses kehidupan dunia sekaligus menjadi penjamin mutu kepribadian dan pengendali spiritual dalam mengejawantahkan nilai-nilai agama dalam hidupnya sebagai wujud ketakwaan kepada Allah dan upaya bersama menuju Surga yang dijanjikan oleh Allah bagi hambanya yang menumbuhkembangkan nilai-nilai agama dengan istiqamah. Inilah proyeksi keluarga masa depan dalam perspektif ayat 70 dari surat az-Zukhruf [43]: udkhulu-l-jannata antum wa azwâjukum tuhbarûn (masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan).
Buah mangga jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Perumpamaan ini merupakan sebuah kebenaran yang disepakati karena dibangun di atas landasan empiris, yang pesan moralnya bisa dibawah kepada ranah pendidikan keluarga; artinya bahwa kartakter dan perilaku anak tidak akan jauh berbeda dari karakter dan perilaku kedua orangtuanya.
Kalau menggunakan paradigma tanah dan tumbuhan, maka orang tua adalah tanah dan anak-keturunan merupakan tumbuhan yang akan tumbuh di atasnya, kalau tanahnya baik, maka tanaman-tanaman akan tumbuh subur dengan seizin Allah dan mendatangkan banyak manfaat bagi manusia, tetapi tanah yang tidak baik, tidak akan menumbuhkan tanaman, kalau pun ada tanaman maka akan tumbuh dengan merana, di samping tanaman yang mampu bertahan hidup dan tumbuh di atasnya tidak banyak memberi manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia (Q.S. al-A`raf [7]: 58).
Nabi Zakaria pernah merasa khawatir terhadap terputusnya generasi, maka kehadiran Yahya adalah anugerah Allah yang paling ditunggu karena akan diproyeksikan sebagai penjaga keberlangsungan tradisi-tradisi baik yang sudah diperjuangkan oleh bapaknya.
Suami, istri dan anak merupakan tiga unsur inti di dalam sebuah keluarga. Kalau masing-masing mampu menjadikan dirinya sebagai Qurrata a`yunin bagi yang lain, maka yang demikian itu sungguh sebuah kebahagiaan yang tdk terhingga.dan kebahagiaan seseorang akan menjadi sempurna, kalau kehidupan pribadi dan keluarganya mampu menginspirasi pribadi dan keluarga yang lain dalam melakukan transformasi menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Inilah inti dari makna penutup do`a orang-orang dengan kriteria hamba Allah: wa-j-`alnâ li-l-muttaqîna imâman (jadikanlah kami sebagai panutan bagi orang-orang yang bertaqwa).
Doa adalah intinya ibadah, dan dilihat dari perspektif ayat ini, sangat tidak tepat kalau kata imam diartikan menggunakan pendekatan tafsir politik kekuasaan dan doa ini diartikan dengan permohonan menjadi seorang pemimpin atau pimpinan. Ayat ini berbicara tentang keteladanan sebuah keluarga yang dibangun di atas landasan keimanan dan diwujudkan dalam bentuk taat beragam dan akhlaq mulia, yang secara kultural potret pribadi dan keluarga yang semacam ini mendapat pengakuan sosial sebagai panutan yang menginspirasi terjadinya perubahan menuju kesalehan individu dan kesalehan sosial (muttaqîn). Dan sebaik-baik hamba adalah mereka yang paling bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia yang lain, sedangkan menginspirasi orang lain bertransformasi menuju kebaikan merupakan salah satu peran yang mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Dalam konteks membentuk keluarga sakinah tidak cukup dengan kekuatan materi dan upaya-upaya yang bersifat lahiriyah saja. Karena ketika kita yakin bahwa pasangan, jodoh dan pendamping hidup merupakan ketentuan mutlak dan pilihan dari Allah untuk hambanya dan karena anak keturunan juga merupakan amanah yang dibebankan kepada manusia, maka jalan utama mendapatkan yang terbaik adalah berdoa dan bermunajat kepadaNya. Berdoa merupakan senjata utama orang-orang yang beriman.
Doa untuk mendapatkan pasangan dan keturunan yang qurrata a`yun di dalam ayat ini merupakan narasi terbaik yang disebutkan di dalam al-Quran, tidak hanya teruntuk yang belum berkeluarga dan belum dikaruniai keturunan, tetapi yang sudah beranak pinak juga masih sangat layak untuk memperbanyak doa semacam ini dengan harapan Allah membenahi keadaan yang sudah terjadi menuju kebaikan yang dimaksud.
Narasi doa munajat tentang proyeksi keluarga masa depan yang diposisikan menjadi penutup bagi keseluruhan karakter dan sifat hamba Allah di dalam surat ini mengandung pesan teo-sosiokultural bahwa tingkat kebahagiaan seorang hamba yang hanyut dalam khusyuknya ibadah tidak akan sempurna kalau tidak mampu menampilkan profil keluarga yang anggota keluarganya menjadi qurrata a`yun bagi yang lain. Kabulkanlah doa kami ya Rabb!(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co