Opini

Dari Kata ke Rasa: Evolusi Bahasa Gen Z

Kaltim Today
17 November 2025 08:34
Dari Kata ke Rasa: Evolusi Bahasa Gen Z
Penulis, Rahmawati Oktavia.

Oleh: Rahmawati Oktavia (UIN Raden Mas Said Surakarta)

PERNAHKAH Anda merasa bahwa dalam percakapan digital, jawaban “ya” terdengar datar, tetapi “iyaa” terasa lebih hangat, sementara “IYAA” terkesan seperti teriakan? Fenomena ini terjadi hampir setiap hari di ruang digital, terutama di kalangan Gen Z yang menjadikan pilihan huruf, panjang kata, hingga penggunaan huruf kapital sebagai penanda emosi nonverbal. Di balik kata-kata sederhana seperti “y”, “ya”, “iyaa”, atau tulisan “IYAA”, terdapat makna emosional yang kompleks. Seolah bahasa digital memiliki intonasi yang tidak terdengar, tetapi bisa dirasakan.

Dalam komunikasi tatap muka, ekspresi wajah, nada suara, dan gestur tubuh adalah unsur penting dalam menyampaikan makna. Namun, dalam komunikasi daring, seluruh ekspresi itu dipadatkan dalam bentuk teks. Linguistik digital menyebut fenomena ini sebagai paralinguistik digital, yakni cara pengguna bahasa menyampaikan emosi melalui visual tulisan. Perkembangan teknologi telah menggeser sebagian besar interaksi ke ruang digital. Semua bentuk emosi kini diterjemahkan melalui teks. Dari sinilah muncul gaya bahasa baru, tempat emosi disampaikan melalui bentuk tulisan, bukan lagi suara.

Secara psikologis, otak manusia cenderung mencari emosi di balik pesan. Ketika teks digital tidak menunjukkan keakraban, penerima pesan berusaha menafsirkan emosi secara pribadi. Itulah sebabnya kata “ya” sering dianggap dingin, seolah ada jarak emosional. Sementara “iyaa” menciptakan kesan ramah karena huruf berulang diinterpretasikan sebagai kehangatan. Dalam komunikasi digital, pengguna sering memperpanjang huruf, seperti pada kata “iyaa”, untuk menciptakan kesan keakraban atau antusiasme. Pengulangan huruf ini dipahami sebagai sinyal emosi positif; semakin panjang kata, semakin terasa akrab pula nada yang ingin disampaikan.

Sebaliknya, penulisan huruf kapital seperti “IYAA” sering dianggap agresif dan dikonotasikan sebagai bentuk kemarahan. Dalam norma netiket global, tulisan kapital identik dengan teriakan atau penekanan. Meskipun tidak semua capslockbermaksud marah, ada yang sekadar untuk menekankan urgensi, Gen Z tetap menangkapnya seolah-olah orang yang mengetik pesan itu sedang membentak lawan bicara. Laporan Status Literasi Digital Indonesia 2022 dari Kominfo dan Katadata Insight Center menunjukkan Gen Z sangat memperhatikan kenyamanan psikologis dalam percakapan daring.

Berangkat dari temuan tersebut, terlihat bahwa generasi Z mempunyai sensitivitas tinggi terhadap bentuk komunikasi yang berpotensi memicu tekanan psikologis, termasuk penggunaan huruf kapital penuh. Generasi muda mengidentifikasi gaya penulisan agresif seperti capslock berlebihan sebagai bentuk ekspresi yang mengganggu kenyamanan emosional di ruang digital. Hal ini membuktikan bahwa generasi digital tidak hanya membaca kata, tetapi juga merasakan emosi yang tersirat dari bentuk visual tulisan. Capslock dipersepsi bukan sebagai bentuk tulisan biasa, tetapi ancaman terhadap rasa aman psikologis (emotional safety) dalam komunikasi daring.

Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa digital telah berkembang menjadi sistem komunikasi baru dengan struktur makna tersendiri. Bahasa kini bukan hanya sebagai sarana informasi, tetapi juga pengalaman emosional. Pergeseran ini adalah bagian dari evolusi bahasa yang menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di ruang digital. Gen Z menciptakan bentuk kreativitas linguistik untuk menggantikan ekspresi nonverbal dalam komunikasi teks. Pengulangan huruf dan kapitalisasi berfungsi sebagai sinyal emosional versi digital, yang memperlihatkan bahwa bahasa kini memadukan fungsi linguistik dan psikologis dalam menyampaikan emosi.

Generasi yang tumbuh di internet tidak lagi membangun identitas melalui interaksi tatap muka, melainkan melalui teks dan visual yang mereka tampilkan secara terus-menerus. Hal ini sejalan dengan temuan Unde dan Azis (2018) yang menunjukkan bahwa remaja menggunakan media sosial sebagai ruang untuk membentuk dan menegaskan identitas diri mereka di hadapan publik digital. Identitas emosi mereka tidak diungkapkan melalui suara atau wajah, tetapi melalui tulisan. Itulah sebabnya penambahan huruf, tanda baca, dan kapitalisasi menjadi sangat penting.

Bahaya muncul ketika generasi lain salah memaknai pesan-pesan ini. Banyak orang tua atau generasi sebelumnya merasa heran mengapa Gen Z marah hanya karena membaca pesan dengan huruf kapital. Ketegangan lintas generasi ini menunjukkan perlunya literasi digital, bukan hanya teknologi, tetapi juga literasi emosional dalam membaca bahasa digital. Media dan pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mengakui kenyataan ini, bukan menganggapnya sebagai penyimpangan bahasa. Hal ini menunjukkan pesan penting bahwa bahasa bukan hanya alat menyampaikan pikiran, tetapi juga perasaan. Gen Z telah mengajarkan bahwa satu huruf saja bisa mengubah makna, dan satu kapital bisa mengubah suasana hati.

Perubahan bahasa digital membuktikan bahwa evolusi bahasa tidak pernah berhenti. Variasi bentuk seperti “ya”, “iyaa”, atau “IYAA” bukan hanya sekadar gaya tulisan, melainkan wujud kecerdasan emosional dalam berbahasa yang muncul dari kebutuhan komunikasi di ruang digital. Gen Z memperluas fungsi bahasa agar mampu menghadirkan kembali kehangatan, intonasi, dan ekspresi yang hilang ke dalam bentuk teks. Fenomena kebahasaan ini tidak dapat dipandang sebagai degradasi bahasa, tetapi sebagai bagian dari sejarah baru perkembangan komunikasi manusia. Memahami bahasa Gen Z berarti memahami bagaimana manusia masa kini membangun koneksi emosional dalam dunia digital. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya