Opini
Denda Rp50 Juta di Kukar, Kawasan Tanpa Rokok dan Krisis Keteladanan Pejabat
Oleh: Riyawan S.Hut, Pengamat Sosial
DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang siap menerapkan sanksi denda hingga Rp50 juta bagi pelanggar. Langkah ini merupakan peningkatan dari Peraturan Bupati Nomor 22 Tahun 2022, yang dinilai memiliki kekuatan hukum terbatas. Jika Raperda ini disahkan, Kukar bisa menjadi daerah yang paling tegas dalam pengendalian rokok di Kalimantan Timur. Tujuannya jelas: melindungi masyarakat, terutama anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan dari bahaya asap rokok di ruang publik.
Kondisi nasional menunjukkan data yang mengkhawatirkan. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat perokok laki-laki tertinggi di Asia. Dalam 10 tahun terakhir, perokok usia sekolah 15–19 tahun meningkat dua kali lipat. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah perokok laki-laki bahkan naik empat kali lipat. Statistik terbaru mencatat sekitar 28% penduduk usia 15 tahun ke atas merupakan perokok aktif, dengan persentase perokok pria mencapai 73%. Anak-anak usia 10–18 tahun pun tak luput, dengan prevalensi mencapai 7,4%. Kebiasaan merokok dipicu oleh berbagai faktor seperti minimnya edukasi, contoh buruk di lingkungan keluarga, pengaruh teman, serta masifnya promosi dan iklan rokok. Karena itu, pengendalian regulatif dinilai perlu diperkuat.
Meski aturan keras, penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa tantangan utamanya meliputi rendahnya kesadaran masyarakat yang masih menganggap merokok di tempat umum bukan masalah besar, bahkan ancaman denda Rp50 juta belum tentu menimbulkan efek jera jika tidak dibarengi edukasi dan pengawasan. Penegakan hukum juga tidak mudah, sebab Satpol PP atau instansi teknis masih menghadapi kendala konsistensi aparat dalam melakukan penindakan di lapangan. Tantangan ini diperparah oleh pengaruh iklan rokok yang tetap mudah ditemui di luar KTR dan memengaruhi minat, serta budaya merokok yang telah mengakar dan membutuhkan waktu lama untuk diubah.
Fakta di lapangan menunjukkan, diduga masih ada oknum pejabat, baik dari eksekutif maupun legislatif, yang merokok di ruang rapat ber-AC. Situasi ini tentu mengurangi kenyamanan peserta rapat lain yang tidak merokok. Kondisi tersebut wajar menimbulkan pertanyaan: "Jika pihak yang membuat aturan belum sepenuhnya konsisten, siapa yang nantinya akan memastikan penerapan dan sanksi berjalan efektif?" Harapannya, penyusunan Raperda tidak hanya menyerap anggaran, tetapi juga dibarengi komitmen dan keteladanan dari para pemangku kebijakan. Tanpa hal tersebut, aturan yang sudah dibuat berpotensi tidak mendapatkan manfaat optimal.
Pemerintah memahami bahwa kebiasaan merokok tidak bisa hilang secara instan. Solusi yang realistis adalah menyediakan Tempat Khusus Merokok (TKM), sebagaimana diatur dalam Perbup 22/2022. Beberapa ketentuan ruang khusus ini meliputi: lokasinya harus terpisah dari fasilitas utama, memiliki ventilasi atau penyedot udara, tidak berada di area sensitif seperti sekolah atau fasilitas kesehatan, memiliki papan penanda lokasi, serta terjaga kebersihannya. Pendekatan ini memungkinkan perokok tetap punya ruang legal tanpa mengganggu kenyamanan dan kesehatan orang lain. Selain itu, konsep solusi juga mencakup penyediaan tenaga ahli atau terapis yang siap membantu warga yang ingin berhenti merokok, suatu pendekatan yang lebih manusiawi dan jangka panjang.
Agar aturan ini tidak sekadar keras di atas kertas, beberapa langkah implementasi dapat ditempuh. Pemerintah wajib menyediakan TKM di gedung publik besar seperti mal, terminal, kantor pelayanan, dan destinasi wisata. Fasilitas skala kecil seperti kelurahan atau desa dapat menyiapkan zona merokok outdoor yang proporsional dan jauh dari area larangan. Pengawasan harus mengedepankan edukasi dan sosialisasi, bukan semata represif, dengan penguatan peran Satgas KTR untuk memberikan informasi, bukan hanya penindakan. Langkah penting lainnya adalah mengedukasi masyarakat bahwa ruang merokok bukan sanksi, tetapi penataan ruang publik yang lebih sehat dan tertib.
Raperda KTR memang bukan tanpa tantangan, namun jika diterapkan dengan pendekatan realistis, konsisten, dan memberi teladan dari pucuk pimpinan, Kukar berpeluang menjadi daerah percontohan dalam menciptakan ruang publik yang lebih sehat dan harmoni. Keberhasilan regulasi bukan hanya soal denda besar, tetapi bagaimana semua pihak—pemerintah, penegak aturan, hingga warga—memandang bahwa ruang publik sehat adalah milik bersama dan harus dijaga bersama pula. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co








