Kaltim

Diskriminasi Halangi Asa Nabila untuk Bekerja, UU Disabilitas Tak Dijalankan

Kaltim Today
25 Mei 2022 10:50
Diskriminasi Halangi Asa Nabila untuk Bekerja, UU Disabilitas Tak Dijalankan
Nabila mengajar Bahasa Isyarat kepada staf kantor di pemerintahan. (Dok Pribadi)

Bagi Nabila, orang Tuli, menjadi pekerja seperti orang non-disabilitas masih sebatas angan-angan. Lebih dari seratus kali ditolak saat melamar pekerjaan. Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda) di Kaltim tentang disabilitas, tak mampu menjamin Nabila mendapatkan kesempatan yang setara dengan orang non-disabilitas dalam mengakses pekerjaan.

Kaltimtoday.co - Dua perempuan terlihat mulai memainkan tangan dan jemarinya. Dalam hening, mereka berdialog dengan isyarat tertentu dan makna khusus di setiap gerakannya.

Nabila dan Ade Irma Suryani, sedang saling memahami gestur satu sama lain. Irma merupakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) menerjemahkan melalui suara kepada media ini, tentang kisah yang disampaikan Nabila.

Bulan tengah menunjukkan rupa, Nabila menceritakan bagaimana dirinya ditolak ratusan kali oleh perusahaan. Bukan sekali atau dua kali, lebih kurang 164 kali ia melamar pekerjaan, namun hasilnya nihil.

Alih-alih mendapatkan jawaban manis atas diterimanya ia bekerja, penolakan justru dihadapinya sejak awal ia melamar kerja.

Seringkali dia mendapatkan pernyataan “Maaf ya, pekerjaan ini ditujukan untuk orang yang bisa mendengar, sehingga tidak cocok dan tidak sesuai dengan karakteristik Anda".

Kalimat serupa lainnya adalah “Maaf, belum ada akses bekerja untuk pekerja disabilitas di kantor tersebut,” papar Nabila yang diterjemahkan oleh Rima.

Ia ingat betul, suatu ketika saat melamar kerja Nabila pernah menerima kalimat “Oh, Tuli! Kalau begitu enggak bisa kerja”. Untaian kalimat yang dituturkan penyedia pekerjaan itu dianggap memberi label bahwa orang Tuli tidak mampu bekerja. Padahal, orang Tuli punya bakat dan kemampuan yang beragam.

Menurut Nabila, hal ini memperlihatkan bahwa para penyedia lapangan kerja cenderung tidak mengerti, bagaimana cara untuk menerima dan mempekerjakan pekerja disabilitas. Padahal saat bekerja, orang tuli bisa memakai medium komunikasi yang sangat beragam.

Nabila mengajar Bahasa Isyarat kepada staf kantor di pemerintahan. (Dok Pribadi)
Nabila mengajar Bahasa Isyarat kepada staf kantor di pemerintahan. (Dok Pribadi)

Perempuan yang berdomisili di Balikpapan itu meyakini bahwa hal ini terjadi karena belum terbukanya pikiran orang-orang, dan belum adanya penerimaan terhadap orang dengan disabilitas. Hal itulah yang menghambat orang-orang Tuli dalam mendapatkan haknya, terutama dalam hal akses bekerja.

Keinginan untuk diterima pada pekerjaan formal sangat membenak di dada Nabila. Namun apa daya, dia harus menerima kenyataan tak tersedianya lapangan kerja. Kini dia berkegiatan membagikan ilmu dengan mengajar bahasa isyarat.

“Bapak ibu sudah mendukung untuk bekerja, namun dari aksesnya enggak ada sama sekali,” tutur Rima menerjemahkan Bahasa isyarat Nabila.

Perempuan berkacamata itu berharap, lingkungan sekitar dan dunia kerja lebih ramah terhadap orang dengan disabilitas. Menerima seseorang bekerja seharusnya bukan berdasarkan kondisi fisik, melainkan karena kemampuannya.

Lebih lanjut, Nabila ingin pemerintah dan pelaku usaha mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai pemenuhan hak-hak disabilitas dalam akses bekerja. Terutama pada penerapan kuota kerja yang juga ada pada Perda Kaltim Nomor 1 Tahun 2018, tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Nabila ingin pemerintah mengajak orang dengan disabilitas untuk berdiskusi, mengenai kebutuhan mereka, utamanya dalam hal akses pekerjaan.

“Undang-undang jangan menjadi omong kosong, jangan cuma ditulis dan implementasinya tidak ada. Jangan sampai Undang-undang menjadi formalitas saja,” tegas Nabila sebagaimana diterjemahkan Rima.

Komunitas berupaya mengadvokasi 

Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kaltim, Uraiyanti mengatakan, orang dengan disabilitas sulit mendapatkan pekerjaan.

“Pemerintah melirik disabilitas perempuan (dalam hal akses bekerja) itu masih sulit. Nah, saat ini – itu yang kita usahakan untuk memperlihatkan bahwa ini loh disabilitas mampu, disabilitas bisa,” tuturnya, saat ditemui, Sabtu (26/3/2022).

Urai-demikian dia biasa disapa-juga meyakini bahwa pihaknya turut membantu dan mengawal perempuan disabilitas yang ingin mengakses pekerjaan. Nantinya dia akan melakukan kerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja, untuk mencari perusahaan yang memberi peluang kerja bagi orang dengan disabilitas.

Ia juga akan melakukan advokasi ke instansi terkait demi menjamin pemenuhan hak-hak disabilitas utamanya dalam akses pekerjaan. “Kita akan mengawali ke pemerintah provinsi bersama PPDI bareng-bareng.”

Tak hanya itu, Urai juga akan segera menangani secara cepat jika dirinya mendapat aduan-aduan jika ada perempuan disabilitas yang mendapatkan penolakan kerja.

Meski demikian, Urai berharap para pemberi lapangan kerja bisa menerima tenaga kerja dari kalangan disabilitas dan tidak membeda-bedakan kemampuan disabilitas dengan non-disabilitas.

“Ke depannya mungkin para pemangku kebijakan atau pengusaha, dapat menyesuaikan peluang untuk bekerja terhadap teman-teman disabilitas. Sekarang pemahaman terhadap teman-teman disabilitas di masyarakat sudah mulai terbuka,” katanya.

Senada, Ketua Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim Ani Juwariyah, juga turut mengawal pemenuhan hak disabilitas utamanya dalam hal ketenagakerjaan.

“Tidak hanya di dunia kerja saja, secara umum diakui atau tidak diakui memang seperti itu adanya. Memang pekerjaan PPDI itu mengadvokasi pihak-pihak terkait, dengan pemenuhan hak-hak disabilitas,” tuturnya saat ditemui di Aula H. Asrab Bulkis Dinas Sosial Kaltim.

Menurut Ani, ada beberapa faktor yang membuat akses bekerja disabilitas terhambat. Faktor pertama adalah belum adanya kesadaran masyarakat non-disabilitas. Faktor kedua, ketidaktahuan bahwa kesempatan disabilitas itu sudah terbuka.

“Saya selalu sampaikan bahwa kemampuan perempuan itu bisa sama bisa lebih. Bahkan kalau perempuan harus tiga kali lipat,” pungkas Ani.

Dikonfirmasi kembali pada Selasa (24/5), Ani juga berucap jika perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Kaltim, utamanya dalam hal akses bekerja masih sangat kurang. Dibuktikan dari data yang diperoleh pada 2021 sebanyak 60 orang penyandang disabilitas melaporkan ke PPDI telah mendapatkan pekerjaan di wilayah Samarinda.

Namun hingga 2022, kenaikannya pekerja disabilitas tidak signifikan. “Untuk 2021/2022 ini ada (kenaikan) tetapi belum signifikan. Tetapi saya baru mendengar satu orang (bertambah),” jelasnya.

Meski begitu, angka tersebut dinilai Ani masih sangat minim, terlebih yang diterima hanya sebatas Pegawai Tidak Tetap Bulanan (PTTB) atau non-PNS. Mengingat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD wajib mempekerjakan sedikitnya 2 persen tenaga kerja disabilitas.

Ani mengaku jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik 2019, dengan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebanyak 8.184, idealnya terdapat 160 penyintas disabilitas yang seharusnya bekerja di wilayah Samarinda berdasarkan UU.

Pemerintah mana yang akan bertanggung jawab?

Momok permasalahan mengenai pemenuhan hak-hak disabilitas dalam hal akses bekerja, bukan baru-baru ini saja terjadi di Kaltim. Apa yang dialami Nabila menjadi gambaran bahwa aplikasi Undang-undang dan Perda tentang disabilitas tak dijalankan. Bagaimana peran pemerintah untuk memperbaiki kondisi tersebut?

Untuk menemukan jawabannya, media ini menemui Kepala Seksi Rehabilitasi Disabilitas Dinsos Kaltim, Fuad, pada Selasa (19/4/2022).

Fuad mengatakan bahwa permasalahan disabilitas ini tidak hanya menjadi perhatian di Dinsos Kaltim, tetapi juga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim. Menurut dia upaya yang dilakukan akan berjalan beriringan mengawal kebutuhan disabilitas.

Ditanya mengenai upaya apa yang telah dilakukan untuk mengawal masyarakat disabilitas untuk mengakses pekerjaan bersama Disnakertrans, Fuad menjawab bahwa semua instansi memiliki tugas masing-masing.

“Nanti kita tetap memantau dan menerima laporan. Kita sesuaikan dengan program-program kita, misalnya kewenangan di provInsi maupun daerah kabupaten kota. Nah, kita fokus pada kewenangan kita di pemenuhan untuk teman-teman disabilitas yang di dalam panti. Tapi semua sesuai Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)-nya,” terangnya.

Demi memperjelas koordinasi Dinsos dan Disnakertrans Kaltim demi mengawal akses bekerja bagi disabilitas di Kaltim, media ini kemudian menghubungi Kepala Seksi Bina Tenaga Kerja dan Perluasan Lapangan Kerja Disnakertrans Kaltim, Ridhuan, pada Jumat (23/4/2022). Sayangnya, ia tak banyak berkomentar mengenai masalah ini.

“Kalau dari saya, data (akses bekerja) untuk penyandang disabilitas masih minim sekali,” pungkasnya saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.

Pernyataan tersebut seakan menjadi gambaran bahwa belum mampu mendorong pelaksanaan UU dan Perda Disabilitas kepada Nabila dan orang-orang dengan disabilitas.

Saat ini, Nabila terus berupaya mencari keadilan dari implementasi UU yang berkaitan terhadap pemenuhan hak disabilitas yang seharusnya diterapkan pemerintah.

“Saya berharap agar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas itu dapat diterapkan,” tutup Nabila.

***

Liputan ditulis Muhammad Razil Fauzan untuk diterbitkan di Kaltimtoday.co. Tulisan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Related Posts


Berita Lainnya