Kaltim
Pintu Masuk Kekerasan Seksual Pada Perempuan Itu Bernama Pernikahan Anak
Pernikahan anak memang masif terjadi di Indonesia. Namun, hal itu tampaknya bukan menjadi persoalan serius untuk ditangani, padahal itu menjadi pintu masuk kekerasan seksual. Jurnalis Kaltimtoday.co, Yasmin Medina Anggia Putri berkesempatan merekam sejumlah kejadian pernikahan anak di Samarinda, Kalimantan Timur, lewat pernyataan para narasumber yang ditemuinya, dan berupaya mencari solusi jurnalisme lewat tulisan berikut ini:
Trigger Warning: Kisah dalam tulisan ini bisa memicu trauma bagi korban pelecehan seksual. Kebijakan pembaca diharapkan.
SORE itu, seorang perempuan mengendarai kendaraan roda duanya memasuki areal parkir sebuah kafe. Penampilannya sederhana, hijab instan hitam, blus hijau tosca, dan celana panjang berwarna senada dengan hijabnya.
Dia tak sendiri. Setelah melepas helm dan turun dari motor, ia meraih tangan gadis kecil dan membawanya masuk ke dalam kafe. Gadis dengan hijab abu-abu terlihat malu dan sesekali bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Perempuan itu bernama Anis. Gadis yang bersamanya adalah putri bungsu yang kini menginjak usia 7 tahun. Anis adalah satu di antara korban pernikahan anak. Ia menikah saat usianya baru 16 tahun. Kelahiran 1989 ini berusaha tenang saat mengisahkan masa lalunya.
Anis menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. Dia mengaku hubungannya dengan suami kala itu, berkaitan dengan utang piutang keluarga.
"Ibuku punya utang dengan dia (suami). Mereka sudah kenal dari lama. Ayah dan ibuku itu tertutup. Kemudian ayah juga tidak menafkahi secara materil. Jadi untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya ibuku mengutang," kata Anis saat ditemui pada Kamis (19/3/2021).
Kenangan itu membawa Anis pada momen saat ia duduk di bangku SMA. Pria yang memberi utang ke ibunya kerap datang ke rumah untuk menagih. Seringkali Anis yang harus berhadapan dengan pria itu. Sebab ibunya justru menghilang entah ke mana, karena tak sanggup membayar.
"Akhirnya dia kasih nomor hapenya ke aku. Kalau aku pulang sekolah, dia minta aku untuk menelepon. Enggak paham juga kenapa aku mau menelepon. Dari situ mulai terjebak," lanjutnya.
Tindakannya kala itu membawa Anis terjebak dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Apalagi ia tidak dekat dengan kedua orang tuanya. Anis pun merasa takut untuk bercerita tentang hubungannya dengan pria yang memberi utang pada ibunya.
"Aku enggak berani cerita ke orangtua. Aku biasanya pulang sekolah jam 5 sore. Lanjut bimbel jam 8 malam. Setelah itu, aku enggak pernah pulang lagi. Akhirnya bohong ke orangtua. Serba salah, terjebak dalam situasi," jelas Anis dengan nada menyesal.
Bahkan Anis menduga, ada semacam magic atau tindakan metafisika yang dibawa oleh pria itu untuk dirinya. Bantuan orang pintar dan pemuka agama sudah dicoba. Namun, gagal.
"Sudah enggak masuk akal," tambahnya singkat.
Alhasil, hubungan itu terus berlanjut hingga pada momen Anis dibawa kabur. Sebelum melanjutkan kisahnya, Anis lagi-lagi menarik napas dalam. Agaknya bercerita kembali tentang kenangan itu membuat dadanya tertimpa benda berat, sesak.
Anis mengaku dijemput paksa di sekolah, setidaknya itu pengakuannya pada Saya. Sembari menghela napas kembali, ia kemudian berusaha merangkai memori pilu itu. Ternyata di masa kelam itu, sempat terjadi tarik-menarik antara wakil kepala sekolah dan pria itu, karena mengaku sebagai orangtua Anis.
Karena masih remaja, Anis kala itu tak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya kosong dan pasrah. Bahkan, kejadian penjemputan paksa itu membuat masyarakat sekitar, heboh.
Pernikahan akhirnya terjadi dengan jarak usia yang terpaut jauh. Kala itu, suaminya berusia 40 tahun. Sementara Anis harus rela melepas seragam putih abu-abunya menjelang ujian akhir di kelas 12. Ia putus sekolah.
Anis mengandung anak pertamanya. Anak perempuan itu lahir pada 2006. Bersama suami, dia bermukim di kediaman yang jauh dari pusat Kota Kediri, Jawa Timur. Anis sama sekali tak diberi kebebasan. Selama suaminya bekerja, waktunya dia habiskan di rumah sepi itu.
"Pokoknya aku dikunci di rumah itu. Enggak ada televisi juga. Cuma ada lampu. Aku enggak diizinkan pergi keluar. Tapi setelah aku hamil besar, tetap dibawa untuk periksa ke dokter. Saat itulah aku bisa ke luar rumah dan interaksi dengan tetangga," bebernya.
Setahun kemudian, orangtua Anis mengetahui kejadian itu dan menjemput paksa Anis dan anak sulungnya. Anehnya, Anis sempat marah dan tak terima karena ingin kembali ke pelukan suaminya.
"Aku terpisah 2 bulan sama dia itu ya seperti orang gila. Tiap hari menangisi dia dan terus mencari. Magic-nya memang kuat. Saat itu, dihilangkan pun enggak mempan," ungkap Anis sembari menundukkan kepalanya.
Alhasil, Anis memutuskan kabur sembari membawa anaknya. Menyusul suaminya dari Kediri ke Balikpapan.
"Aku menikah dini bukan karena kemauan. Di situ letak kesalahanku. Sampai di Balikpapan, aku ikut dia (suami) karena kerja. Kemudian aku hamil anak kedua," lanjutnya.
Kehidupan Anis dan keluarga kecilnya sempat membaik setelah kelahiran anak kedua. Namun suaminya kembali berulah dan kabur ke Kota Tepian bersama 2 anaknya pada 2012. Sedangkan dia seorang diri di Balikpapan dan ditolong beberapa orang.
Tiga tahun kemudian, mereka kembali hidup bersama. Namun, masalah baru justru mencuat. Anis mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia dituduh berselingkuh oleh suaminya. Padahal, pergerakannya sangat dibatasi. Hanya diizinkan ke pasar dan suami meminta Anis untuk membawa serta anak-anaknya.
"Bagaimana caranya mau selingkuh kalau begitu?" ujar Anis dengan pertanyaan retoris.
Selain kekerasan fisik, Anis juga diminta mengembalikan seluruh barang yang pernah dipakainya selama hidup bersama si suami. Termasuk sehelai pakaian yang membalut tubuhnya, saat pemukulan itu terjadi.
“Aku betulan telanjang. Aku itu enggak punya baju buat jalan. Seumur-umur aku enggak pernah dibelikan baju. Cuma daster doang. Jadi kulepas itu daster. Cuma pakai bra,” jelas Anis dengan menahan marah.
Anis pun melaporkan pemukulan itu ke pihak berwajib. Namun ia tak bisa menyerahkan surat-surat pernikahan dan KTP-nya karena semua ada di tangan sang suami.
“Jadi saat dipukul itu enggak ada bukti. Cuma kartu Jamkesda saja yang aku pegang dan sempat divisum. Saat mau buat laporan, polisinya bilang kalau kasus seperti ini ujung-ujungnya dicabut. Akhirnya dikasih waktu 10 hari untuk proses,” bebernya.
Kekerasan yang Anis terima, berlangsung berkali-kali. Meski ia sempat berhasil pergi bersama anaknya, namun entah dengan cara apa, suaminya selalu bisa menemukan Anis.
"Saat aku tinggal di indekos itu, entah mengapa suamiku ini pulang tiba-tiba. Aku kembali dituduh selingkuh, ponselku diambil," kenang Anis.
Berkali-kali dia menyebutkan hidupnya berantakan. Berkali-kali pindah tempat tinggal. Pada momen itulah, Anis merasa tak tahan dengan kondisi yang dihadapi. Hingga akhirnya pada 2018 Anis bisa bercerai dari suaminya.
Sayangnya, pilu terus menghampiri Anis. Pada 2019 awal, mantan suaminya dibebaskan dari penjara. Saat bebas, ia membawa anak sulung mereka, Nezz (bukan nama sebenarnya). Kala itu Nezz yang duduk di kelas 6 SD memilih ikut sang ayah karena tergiur dengan berbagai fasilitas yang diiming-imingi ayahnya. Namun hal mengejutkan justru kembali menampar hidup Anis.
"Baru terbongkar bahwa anak sulungku ditiduri mantan suami sejak keluar dari penjara selama 1 tahun. Aduh, enggak habis pikir. Mau digimanakan ya gimana, stres pokoknya," ungkap Anis dengan nada pasrah dan menghela napas.
Mengetahui itu, Anis mengaku teramat sangat hancur. Kini, mantan suaminya mendekam di penjara. Ia divonis 14 tahun akibat perbuatannya pada Nezz.
Anis meneguk segelas minuman yang ada di hadapannya. Ia berusaha melanjutkan cerita dengan tenang meski napasnya sudah mulai memburu. Saya memahami posisinya dan tak memaksanya bercerita lebih panjang lagi. Namun setengah memaksa, Anis mengaku harus menceritakan kisahnya agar korban kekerasan seksual di luar sana berani bersuara.
“Setelah kejadian itu, aku melihat Nezz bersikap aneh. Dia sering kabur dari rumah. Belakangan aku tahu kalau dia ternyata terjerumus ke kegiatan prostitusi. Aku tidak marah, aku memeluk dia, aku merangkul dia. Hidup sudah telanjur, ya dijalani. Kalau nasi sudah jadi bubur, ya cari ayamnya. Jangan dibuang. Prinsip hidupku begitu," lirihnya.
Pernikahan Anak dan Kesehatan Mental
Tidak hanya membuka pintu pada kasus-kasus kekerasan seksual, pernikahan anak juga punya banyak implikasi yang mungkin terjadi. Salah satunya adalah kesiapan mental anak untuk menghadapi dunia pernikahan.
Umnaf (bukan nama sebenarnya) adalah salah satunya. Ia menikah saat usianya baru 14 tahun. Berbeda dengan Anis, Umnaf bukanlah korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun menikah saat berusia sangat muda membuat ia mengalami beberapa kondisi gangguan mental akibat ketidaksiapan mental dan organ reproduksi.
Saya bertemu Umnaf di sebuah kedai di pusat Kota Samarinda. Umnaf terlihat anggun dengan gamis berwarna hitam dan cadar berwarna senada. Saat bertemu, Saya hanya dapat menatap mata teduhnya.
Suaranya halus terdengar saat menyapa, jari-jarinya terlihat mungil ketika menyatukan telapak tangan, bermaksud memberi salam.
Umnaf kini berusia 18 tahun dan memiliki 2 anak perempuan berusia 2 tahun dan 4 bulan. Sedangkan suaminya berusia 23 tahun.
Pernikahan Umnaf mendapat dukungan dari ayahnya. Kala itu sebenarnya Umnaf masih punya keinginan untuk melanjutkan sekolah.
"Ayah bilang, enggak apa-apa menikah. Nanti sekolahnya tetap lanjut, bukan berhenti. Saat itu ayah kenal calon suami, jadi beliau merestui," kata Umnaf mengawali cerita.
Keduanya menjalani proses ta’aruf dan nadzor. Di mana perempuan memperlihatkan wajahnya ke pria dan mengungkapkan komitmen. Pada 2018, keduanya resmi menikah. Saat itu, Umnaf terpaksa menikah siri karena belum memiliki KTP.
“Ibu penginnya aku fokus sekolah. Tapi ayahku menjamin kalau semuanya akan baik-baik saja. Akhirnya aku meyakinkan ibu juga,” ungkap anak pertama dari 7 bersaudara itu.
Di usia pernikahan yang ke-8 bulan, Umnaf mengandung anak pertama. Dari sisi kesehatan, dia mengaku tak pernah mengeluhkan apapun selama mengandung. Namun saat mengandung anak kedua, Umnaf mulai merasa tak nyaman.
“Hamil anak kedua, aku pendarahan. Tapi karena faktor enggak minum vitamin, hemoglobinku rendah, dan jarak kelahirannya dekat dengan anak pertama,” lanjut Umnaf.
Tak main-main, gangguan psikis yang dialami Umnaf hingga menyakiti diri sendiri. Kebingungan, kesedihan, bercampur menjadi stres, yang akhrinya mendorong ia menjambak rambut sendiri dan sering menangis.
Tindakan itu sebagai ungkapan kekecewaannya karena merasa tak berdaya dan tak bisa memberi apapun ke suaminya. Baby blues juga pernah dialami Umnaf. Untuk melawannya, Ia kerap kali ingin menyakiti diri sendiri.
“Setelah melahirkan anak kedua, aku pendarahan. Ibaratnya nyawa sudah di ujung. Hilang kesadaran. Kalau aku, kadang darah itu keluar, kadang tidak. Tapi suatu hari, darahnya banyak sekali. Aku teriak,” cerita Umnaf.
Akhirnya dia memutuskan untuk konsultasi daring dengan psikiater, hingga didiagnosa mengalami anxiety atau kecemasan. Psikiater pun menanyakan keluhan. Benar saja, diagnosa psikiater menyatakan bahwa Umnaf mengalami gangguan kecemasan akibat ia kerap menangis, jantung berdebar tak seperti detak normal, dan keringat dingin.
“Baru-baru ini aku bisa keluar rumah dan sosialisasi dengan orang lain. Aku merasa enggak bisa apa-apa. Sampai ingin pisah dengan suami. Aku sempat minta dia nikah dengan orang lain saja,” ujarnya.
Anxiety atau kecemasan itu dialami Umnaf selama 3 bulan. Saat ini ia mengaku kondisinya jauh lebih baik. Dia berbagi kisah dengan orang-orang yang juga mengalami anxiety. Dari situlah dia belajar mengontrol diri.
“Sebagian keluarga mengira aku stres mengurus anak. Padahal enggak. Aku stres dengan diriku sendiri. Aku merasa enggak berguna,” katanya.
Sebulan sejak melahirkan, hemoglobin Umnaf tak pernah normal. Ia sampai harus ditransfusi darah sebanyak 2 kantong untuk mendapat hemoglobin normal. Kini ia mengaku kondisi kesehatannya terus membaik.
“Sekarang aku sudah bisa mengerjakan pekerjaan di rumah. Meski aku menikah muda, tapi aku tetap ingin melanjutkan pendidikan. Aku rencana mau kuliah juga,” ujarnya.
Sejauh ini, ia menilai suaminya sebagai pribadi yang pengertian. Turut membantunya merawat anak-anak pascamelahirkan. Ia tak dibiarkan mengerjakan pekerjaan rumah saat kondisinya kurang sehat.
“Menikah itu memang harus siapkan mental. Stres itu pasti dirasakan. Terutama stres ke diri sendiri karena merasa enggak sempurna di hadapan pasangan. Itu yang aku rasakan,” ungkapnya.
Risiko Pernikahan Anak
Pernikahan anak menjadi salah satu pelanggaran hak anak yang masih banyak terjadi Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (KPPA), menyebut Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan pernikahan anak tertinggi di ASEAN.
Menurut data Badan Pusat Statistik, perkawinan anak berusia 17 tahun ke bawah paling tinggi ditemukan di Kalimantan Selatan, yakni sebesar 27,82 persen.
Penyebab pernikahan akan disebabkan oleh banyak faktor. Biasanya berkaitan keluarga, sosial, dan agama. Tak jarang, posisi anak terkesan lemah karena dianggap tak berdaya dan menjadi korban. Setidaknya itu yang disampaikan Kepala Program Studi (Kaprodi) Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Lisda Sofia.
Tak berdaya yang dimaksud Lisda, bisa karena anak memang tak mau menikah, atau secara kognitif, anak tidak paham terkait risiko apa yang akan dihadapi. Sehingga memilih untuk mengiyakan. Lazimnya, ketika memutuskan menikah maka harus dibarengi dengan kematangan emosi.
Secara psikologis, Lisda menyampaikan seseorang yang menikah di bawah usia 19 tahun memang belum bisa dikatakan memiliki kematangan yang optimal untuk menjalani pernikahan, sebab terhitung masih remaja dan perkembangan psikologisnya masih berjalan sampai usia 20 tahun.
"Mungkin didukung secara finansial dan dukungan sosialnya bagus. Jika demikian, konflik-konflik akan terminimalisasi. Sehingga ujian untuk kematangan emosinya pun akan lebih sedikit. Logikanya seperti itu, tapi tidak bisa digeneralisasi tiap orang," ungkap Lisda saat ditemui pada Jumat (26/3/2021).
Kematangan emosi seseorang tak sekadar dinilai dari sisi usia saja. Situasi dan kondisinya harus dilihat. Kematangan tersebut erat hubungannya dengan keharmonisan rumah tangga. Umumnya, karakteristik usia remaja itu masih ingin mencari jati diri, bersosialisasi, atau mengikuti tren.
"Dengan kondisi perkembangan yang seperti itu secara keilmuan, yang bersangkutan diduga belum siap untuk menanggung tanggung jawab lebih. Sedangkan kebanyakan remaja masih ingin bebas," tambahnya.
Seandainya pernikahan anak sudah telanjur terjadi, ada beberapa hal yang bisa ditempuh agar seseorang bisa menjalani prosesnya dengan baik. Menurut Lisda, dukungan keluarga sangat krusial.
"Jika anak belum siap menanggung tanggung jawab yang besar. Idealnya kan semua harus ditanggung sendiri. Tapi dia belum bisa. Keluarga harus membantu mulai finansial, mengurus anak, hingga rumahnya. Jadi meminimalisasi depresi atau baby blues," ungkap pendiri Biro Psikologi Perfecta Psyche itu.
Mayoritas korban pernikahan anak juga mengalami Baby blues. Ini merupakan gangguan suasana hati yang dialami oleh ibu setelah melahirkan. Ciri-cirinya bisa karena merasa tak berdaya, sedih berkepanjangan secara intens, hingga perasaan tidak bisa membahagiakan pasangan dan anak. Alhasil membuat si ibu tidak bisa makan, tidur, dan tak bisa beraktivitas normal.
"Pemicu baby blues itu berawal dari kecenderungan dalam dirinya. Ditambah dengan kelelahan. Penyebabnya banyak. Mulai trauma masa lalu sampai minimnya dukungan sosial. Contohnya kurang perhatian dari suami," beber Lisda.
Seseorang bisa dikatakan terkena baby blues jika dirasakan dalam kurun waktu 1 bulan lebih pascamelahirkan. Pertolongan dari profesional sangat dibutuhkan. Jika lambat ditangani, bukan tidak mungkin akan semakin parah. Namun ditegaskan Lisda, perlakuan dari profesional hanya penunjang. Utamanya tetap terletak di lingkungan sosial.
"Kalau sudah berlebihan sampai insomnia, selain dari psikolog berarti juga butuh bantuan psikiater. Gejala fisik yang dialami juga bisa seperti jantung berdebar dan keringat dingin," ungkap alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) itu.
Di sisi lain, perempuan yang usianya terlalu muda, biasanya rentan terhadap berbagai risiko komplikasi yang terjadi saat hamil atau melahirkan. Tak jarang kehamilan akibat pernikahan anak, memunculkan risiko tersebut. Sebab usia ibu yang dianggap belum siap mengandung dan kondisi rahim yang rentan.
Pandangan psikologi pun dikuatkan dari sisi medis. Satu di antara dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, dr Alia Shahnaz, SpOG mengatakan, organ reproduksi perempuan di bawah usia 19 tahun masih belum matang. Terutama leher rahim.
Ketidakmatangan organ ini tentu memicu potensi terjadinya kanker leher rahim di masa mendatang. Namun, kanker leher rahim itu berproses dan tak langsung terjadi. Alia menyebut, biasanya ada peluang waktu antara 10-20 tahun.
"Jadi kalau menikah muda dan melakukan hubungan seksual, akhirnya kondisi leher rahim yang masih sangat rentan membuat perempuan mudah terinfeksi oleh virus Human papillomavirus (HPV). Virus itu yang paling sering menyebabkan kanker leher rahim," ungkap Alia.
Sedangkan ketika kehamilan sudah terjadi, potensi keguguran dan kelahiran prematur sangat tinggi. Penyakit-penyakit dalam kehamilan juga bisa terjadi. Salah satunya preeklamsia yang ditandai dengan tekanan darah tinggi hingga terjadinya pendarahan saat kelahiran.
"Hal-hal itu terjadi karena organ-organ reproduksinya belum matang dan belum mampu. Proses persalinan juga bisa terhambat. Selain itu, kondisi mental juga berpengaruh karena belum siap," lanjut Alia.
Di dunia medis bidang kandungan, ada beberapa kategori yang bisa diberikan pada pasien. Mulai yang berisiko rendah, tinggi, hingga sangat tinggi. Misalnya, kehamilan di usia di bawah 19 tahun atau lebih dari 35 tahun dianggap berisiko tinggi seperti terjadi pendarahan saat persalinan, bayi lahir prematur, dan tekanan darah tinggi.
Sejauh ini, kehamilan dengan risiko tinggi dipengaruhi oleh faktor usia. Entah muda atau terlalu tua. Selain itu, jarak kehamilan yang kurang dari 2 tahun turut meningkatkan risiko.
"Biasanya sejak dalam kandungan, bisa terjadi kehamilan kurang bulan akhirnya lahir prematur. Bisa juga berat badan bayi rendah dan kurang setelah dilahirkan. Kebutuhan ibu selama hamil yang tak terpenuhi juga dikhawatirkan membuat bayi jadi stunting," ungkap Alia lagi.
Dari kaca mata kesehatan, Alia menyebut usia ideal bagi perempuan untuk hamil adalah di atas 20 tahun. Meski begitu, mempersiapkan kehamilan merupakan suatu keharusan.
Namun seandainya kehamilan sudah terjadi pada perempuan di bawah 19 tahun, maka calon ibu harus diberikan edukasi menyeluruh. Termasuk mendapat dukungan dari para keluarga untuk menerima kehadiran janin.
"Ada yang harus disiapkan seperti mental dan gizi yang akan dipenuhi. Contohnya mengonsumsi suplemen-suplemen untuk ibu hamil. Konsultasi sebelum menikah dan hamil juga perlu. Harus cari informasi sebanyak-banyaknya. Tidak boleh asal-asalan," beber alumnus Universitas Airlangga (Unair) itu.
Tren nikah muda yang memiliki banyak sekali persoalan ini pun seakan diamini Wakil Ketua Generasi Berencana (Genre) Indonesia Kaltim, Mahadewi Mustika Putri.
Perempuan yang akrab disapa Maha itu berujar, Genre kerap kali datang ke berbagai daerah untuk memberi edukasi tentang bahaya pernikahan anak. Genre sendiri diisi oleh orang-orang yang berasal dari Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). PIK-R tersebar di berbagai tempat. Mulai kampus, sekolah, hingga kelurahan.
Salah satu tugas dari Genre Kaltim adalah untuk memerangi pernikahan anak. Di Genre, ada istilah Triad Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Ini merupakan istilah untuk menggambarkan tiga risiko yang kerap dihadapi remaja, mulai pernikahan anak, seks sebelum menikah, dan narkoba.
"Kalau menurut Undang-Undang (UU) Nomor 16/2019 usia minimal untuk perempuan dan laki-laki menikah itu 19 tahun. Sedangkan dari BKKBN menganjurkan usia menikah untuk perempuan itu minimal 21 tahun dan laki-laki 25 tahun," beber Maha.
Batasan minimal usia itulah yang terus digaungkan pada remaja sekitar. Maha menyebut, ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi batasan itu. Salah satunya perihal fisik yang cenderung dialami perempuan. Sebab harus mengandung, melahirkan, menyusui, hingga mendidik anak.
Upaya preventif sudah digerakkan oleh Genre Kaltim. Pertama adalah penyuluhan. Yakni menyambangi langsung kelurahan atau sekolah yang belum pernah mendengar kehadiran PIK-R. Penyuluhan dilakukan di berbagai platform, mulai media sosial hingga luring. Di PIK-R juga akan mempelajari soal Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
"Program Genre juga harus didukung dengan Bina Keluarga Remaja (BKR). Maksudnya, kami membina keluarga yang memiliki remaja di dalamnya. Jadi targetnya adalah orangtua atau wali. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Remaja itu masih perlu bimbingan orangtua," ujarnya.
Agar sinkron dan berjalan maksimal, Genre menetapkan wadah edukasi bagi remaja di PIK-R dan para orangtua di BKR. Hal ini didasari oleh sebagian orangtua yang justru melancarkan aksi agar anaknya bisa menikah muda.
"Pernah ada yang bercerita kalau dia disuruh menikah agar tanggungan keluarga berkurang. Kami mendengar itu jadi sedih. Padahal, anak itu adalah investasi seumur hidup untuk orangtua," lanjut Maha.
Upaya preventif kedua adalah konseling. Genre Kaltim ingin agar para remaja bisa saling mencurahkan isi hatinya di PIK-R dengan teman sebaya. Sebab pihaknya memahami bahwa sebagian remaja justru tak begitu dekat dan sulit bercerita ke orangtuanya. Genre Kaltim tak ingin mereka salah tempat.
"Kami sediakan wadah dan itu terbuka untuk menerima curhatan-curhatan. Ada gedung Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) di Jalan Perjuangan Samarinda. Itu tempat remaja atau orangtua untuk konseling," jelas alumnus Universitas Widyagama Mahakam (UWGM) itu.
Di PIK-R, dikenal pula pendidik sebaya dan konselor sebaya. Keduanya sudah dilatih untuk menghadapi konseling, menjaga rahasia, dan memberi solusi untuk masalah yang masih simpel. Jika masalahnya terbilang kompleks, PIK-R akan mengarahkannya ke psikolog atau ke penyuluh-penyuluh Keluarga Berencana (KB) yang lain.
"Kadang ada yang bertanya. Mengapa sudah ada Genre dan PIK-R tapi risiko masalah remaja masih ada? Menurut kami, upaya yang ditempuh ini sudah optimal. Kami sudah mengimbau di seluruh daerah," ungkap Maha.
Menghimpun data dari BKKBN Kaltim, terhitung ada 300 PIK-R dan 63 BKR yang tersebar di Kaltim selama 2020 lalu.
Rinciannya untuk PIK-R di Samarinda ada 50, Bontang 29, Kutai Barat (Kubar) 16, Penajam Paser Utara (PPU) 36, Kutai Timur (Kutim) ada 27, Berau 37, Mahakam Ulu (Mahulu) 9, Balikpapan 55, Kutai Kartanegara (Kukar) 23, dan Paser 18.
Sedangkan untuk BKR di Samarinda ada 15, Bontang 10, Kubar 1, PPU 3, Kutim 1, Berau 5, Mahulu 1, Balikpapan 20, Kukar 3, dan Paser 4.
Tak habis di situ, Kepala Perwakilan BKKBN Kaltim, Edi Muin menyatakan hal serupa.
"Sejak dulu kami peduli dengan usia nikah. BKKBN terus menggaungkan betapa diperlukannya regulasi yang mengatur tentang usia anak yang semestinya ideal untuk menikah," ungkap Edi saat ditemui pada Rabu (31/3/2021).
Kata Edi, bahwa usia ideal menikah menurut BKKBN bagi perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.
Penetapan itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, pasangan yang menikah di usia muda memberi kontribusi terhadap penambahan angka perceraian.
Sebab, dipengaruhi oleh aspek kemapanan, kemampuan ekonomi, fisik, bahkan psikologis yang rendah. Sehingga pasangan muda belum siap menjadi ibu dan ayah.
"Dampak berikutnya yang ada pada pernikahan anak adalah anak yang lahir dari ibu berusia muda berpeluang stunting. Bisa juga ibu itu terkena penyakit kehamilan," lanjut Edi.
Menurut Edi, tak jarang pula terpaksa anak menikah karena pergaulan bebas dan merasa tak punya pilihan lain.
BKKBN Kaltim turut melibatkan Genre sebagai media remaja agar bisa mengakses pelayanan informasi terkait pentingnya PUP. Eksistensi PIK-R juga diharapkan bisa menjadi wadah di mana kalangan muda melakukan berbagai aktivitas positif.
BKKBN juga telah berkolaborasi dengan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk membekali pasangan yang ingin menikah dengan kursus calon pengantin (Catin). Selama ini, dispensasi menikah bagi mereka yang di bawah umur masih bisa dilakukan melalui Pengadilan Agama.
Sebagai informasi, berdasarkan rekapitulasi data perkara dispensasi kawin atau pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Samarinda, tercatat ada 3.501 total perkara yang terjadi sejak 2016 hingga 2020.
Rinciannya, pada 2016 tercatat ada 391 perkara dispensasi kawin. Angka ini naik pada 2017 yang mencapai 409 perkara. Tak berhenti di sana pada 2018 naik menjadi 476 dan 2019 sebanyak 638 dispensasi kawin. Namun kenaikan signifikan terjadi pada 2020 lalu yakni sebanyak 1.587 dispensasi. *
*
Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
[YMD | TOS]
Related Posts
- DPK Kaltim Ingatkan OPD Kelalaian Arsip Bisa Picu Kasus Hukum
- Budaya Pengarsipan Masih Jadi Tantangan Besar di OPD
- Fondasi Pemerintahan yang Bersih Dimulai dari Arsip yang Tertata
- Etika Pengelolaan Arsip Sebagai Tanggung Jawab Penting Bagi Pegawai OPD
- GPMB Kaltim dan DPK Raih Penghargaan Literasi Terbaik Nasional