Headline
Dukungan Partai Politik Bukan Jaminan, Kekuatan Figur Kunci Kemenangan
Kaltimtoday.co, Samarinda - “Ini bukan berarti mengabaikan dukungan partai. Partai tetap kami hormati bahkan terus membangun komunikasi. Pada kesempatan ini saya ingin maju independen karena semangatnya ingin membuka ruang bagi partisipasi publik."
Pernyataan tersebut dilontarkan Sarwono, Agustus 2019, menjelang deklarasinya sebagai bakal calon wakil wali kota di Pilkada Samarinda 2020. Alumnus Fakultas Pertanian di Universitas Mulawarman itu mantap maju di Pilkada Samarinda bersama Zairin Zain lewat jalur independen. Zairin-Sarwono masih kekeh maju tanpa dukungan partai politik. Setidaknya dari partai pemilik kursi di DPRD Samarinda.
Untuk mensukseskan perjuangannya, Zairin-Sarwono menggelar deklarasi akbar dengan jalan sehat. Dari deklarasi ini, Zairin-Sarwono mendapat dukungan luas dari masyarakat. Terbukti, selama 5 bulan, Zairin-Sarwono berhasil mendapat 69.712 dukungan warga untuk maju melalui jalur perseorangan.
Hasil jerih payah Zairin-Sarwono itu diserahkannya ke KPU Samarinda, Kamis (20/2/2020). Keduanya menjadi pasangan pertama dari 3 pasang calon perseorangan yang menyerahkan bukti dukungan minimal ke KPU Samarinda. Selain Zairin-Sarwono, ada dua pasangan calon yang menyerahkan bukti dukungan ke KPU Samarinda, mereka adalah Parawansa-Markus dan Siti Qomariah-Ansharullah.
Untuk memastikan berlaga di Pilkada Samarinda, tiga pasang calon perseorangan itu harus melalui tahapan verifikasi bukti dukungan. Verifikasi administrasi dan faktual. Keduanya baru dinyatakan lolos atau tidak pada Mei mendatang.
Pilkada Samarinda tahun ini terbilang unik. Berbeda dengan 4 tahun sebelumnya. Dominasi Jaang-Nusyirwan membuat calon lain ciut. Sehingga hanya dua pasang calon yang berlaga.
Nah, pergulatan merebut kursi pimpinan di Balai Kota Samarinda tahun ini bakal tersaji dengan seru. Selain karena Jaang tidak kembali maju-sudah 20 tahun menjabat di Balai Kota, juga karena tidak ada petahana yang begitu mendominasi. Wakil Wali Kota Samarinda Barkati saat ini dinilai tidak cukup kuat untuk menang di Pilkada Samarinda. Sehingga banyak calon yang berani bertarung.
Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman Luthfi Wahyudi menyatakan, kunci kemenangan di pilkada ditentukan dari kekuatan sosok tokoh atau figur yang bersaing. 80 persen, pertarungan di pilkada ditentukan figur. Berbeda dengan pemilihan legislatif (pileg), yang lebih ditentukan latar belakang partai.
Rita Widyasari-Edi Damansyah, sebut Luthfi, layak menjadi contoh nyata calon independen berhasil meraih kemenangan besar dari Pilkada Kutai Kartanegara. Rita-Edi meski maju melalui jalur perseorangan alias independen, memiliki elektabilitas yang jauh lebih besar dibanding kandidat lain. Sosok Rita begitu populer dan disukai. Sehingga partai politik ciut. Tidak punya kekuatan untuk melawan dominasi Rita. Ujungnya bahkan memberi dukungan.
"Maka dengan menggunakan prinsip pragmatis oportunismenya itu, partai politik dalam tanda kutip dapat muka dengan memberikan pilihan politiknya dengan cara mendukung calon independen, memang agak lucu," paparnya.
Selain itu, secara kelembagaan sebuah partai politik bisa saja mendukung pasangan calon tertentu. Tapi realitanya belum tentu masyarakat akan memberikan dukungannya kepada calon tersebut. Kenapa? Karena tidak ada loyalitas konstan di dalam pilkada. Tidak ada relasi antara partai politik dengan pilihan massa pendukungnya dalam pilkada. Karena kerap kali terjadi para pemilih menyukai partainya, namun tidak demikian dengan kandidat yang akan diusung.
"Mayoritas di Kaltim itu Golkar dan PDIP, tapi saat di Pilgub 2018 lalu justru yang menang dari partai menengah. Ini karena masa pemilih partai berbeda pilihan politiknya ketika pilkada," urainya.
Dengan adanya tiga pasangan calon yang menyerahkan bukti dukungan ke KPU Samarinda melalui jalur independen saat ini, tidak menutup kemungkinan kalau semakin mendekati hari pencoblosan nanti, partai politik akan bergerak mendekati salah satu di antaranya. Dengan catatan, apabila pasangan calon tertentu ini pada tingkat elektabilitas semakin meroket saat mendekati hari pencoblosan.
Akan tetapi, menurutnya, ada juga momen di mana partai secara kelembagaan mengusung calon tertentu meski tidak memiliki peluang menang.
"Tetap diusung karena calon punya uang banyak," tegasnya.
Memiliki amunisi besar dalam hal finansial, bisa saja menjadi faktor sebuah partai politik mengusung kandidat. Meski tidak akan memenangkan pilkada, namun partai politik tersebut akan tetap memenangkan kepentingannya dari calon yang akan diusungnya tersebut.
"Sampai titik darah penghabisan pun akan dicalonkan, walaupun sebenarnya dia tahu akan kalah. Ada contohnya, saya tidak hanya sekadar menyampaikan tidak berdasar, ada analisa," katanya.
"Kenapa masih didukung, ternyata ujung-ujungnya dapat sesuatu. Saya kira beda tipis lah realistis dengan oportunis itu," tutupnya.
[JRO | TOS]