Opini
Empati dan Profesionalitas di Ruang Panti Sosial
Oleh: Yunita Embong Bulan (Mahasiswi Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda)
TIDAK ada ruang belajar yang lebih jujur daripada tempat yang mempertemukan kita dengan manusia yang sedang berupaya bangkit dari luka batin. Saat mendengar kata panti sosial, sebagian orang mungkin membayangkan tempat penampungan bagi mereka yang terlantar. Namun, bagi saya panti sosial lebih dari sekadar tempat perlindungan; ia adalah ruang belajar kehidupan yang sesungguhnya, tempat empati dan kesadaran sosial ditempa dengan nyata.
Sebagai mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) yang berkesempatan menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Panti Sosial Perlindungan Anak ‘Dharma’ Kota Samarinda, saya menyaksikan langsung bagaimana lembaga ini menjadi "rumah sementara" bagi anak-anak korban kekerasan fisik, psikis, maupun penelantaran. Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi seorang konselor tidak cukup hanya menguasai teori kuliah. Seorang konselor sejati harus memiliki komitmen profesionalitas yang kuat, mulai dari empati hingga kesabaran tanpa batas.
Empati sering disebut sebagai inti dari profesi konseling. Namun, empati sejati tidak lahir dari ruang kuliah atau teori psikologi semata. Ia tumbuh melalui perjumpaan nyata dengan manusia yang sedang berjuang menghadapi pergolakan dan luka batin. Anak-anak di panti sosial banyak mengajarkan hal tersebut. Dihadapan mereka, saya belajar menahan diri dari penilaian dan fokus pada mendengarkan dengan tulus. Saya masih ingat ketika beberapa anak bercerita dengan suara pelan dan badan gemetar tentang ketakutan-ketakutan mereka. Saat itu, saya tidak memberikan nasihat apa pun, hanya mendengarkan. Tak lama setelah selesai, mereka memeluk saya. Bagi mahasiswa BKI, pengalaman ini sangat penting untuk membentuk pondasi empati. Di sinilah nilai-nilai kasih sayang (rahmah) dan kemanusiaan menemukan wujudnya. Mendengarkan dengan hati seringkali jauh lebih menyembuhkan daripada memberikan nasihat secara langsung.
Selain empati, PKL ini juga menguji sejauh mana mahasiswa bisa bersikap profesional. Di panti sosial, mahasiswa tidak cukup hanya belajar tentang penerapan teknik konseling, tetapi juga perlu belajar lebih dalam mengenai etika, tanggung jawab, dan kerja kolaboratif. Kami harus mampu menjaga kerahasiaan cerita anak-anak, menghormati peraturan lembaga, dan berkoordinasi dengan pekerja sosial, psikolog, serta pengasuh. Tantangan nyatanya adalah bagaimana bersikap tegas tapi tetap hangat, berjarak tapi tetap peduli.
Dari hal tersebut, saya menyadari bahwa profesionalitas tidak semata menyangkut kemampuan teknis. Lebih dari itu, profesionalitas juga mencakup integritas dan konsistensi nilai. Di lingkungan sosial yang rentan, satu ucapan atau sikap yang tidak bijaksana bisa melukai anak-anak yang sedang berproses untuk pulih. Maka, menjadi profesional berarti juga belajar untuk bertanggung jawab atas setiap kata dan tindakan.
Kritik dan Solusi untuk Lembaga Sosial
Namun, di balik pembelajaran berharga, saya juga menemukan kenyataan yang masih memerlukan perhatian serius: keterbatasan jumlah tenaga profesional di panti sosial. Sebagian besar kegiatan pendampingan anak dilakukan oleh pegawai dengan beban kerja yang sangat tinggi. Psikolog, konselor, atau pekerja sosial profesional jumlahnya masih sangat terbatas. Akibatnya, proses pendampingan emosional bagi anak-anak belum bisa dilakukan secara optimal. Padahal, anak korban kekerasan membutuhkan dukungan psikososial yang terstruktur. Apabila kekurangan tenaga profesional ini dibiarkan, anak-anak berisiko mengalami penundaan pemulihan bahkan trauma berulang.
Pemerintah daerah dan lembaga sosial hendaknya mulai memprioritaskan penambahan tenaga profesional di bidang konseling dan psikologi di panti-panti sosial. Selain itu, kerja sama dengan perguruan tinggi dapat diperkuat. Program magang mahasiswa dengan latar belakang keilmuan tersebut harus diarahkan agar mahasiswa dapat membantu aspek administratif sekaligus benar-benar dilibatkan dalam proses pendampingan dan asesmen psikososial. Langkah ini merupakan investasi untuk mempersiapkan tenaga profesional yang kompeten di kemudian hari.
Tema besar PKL yang diusung UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda tahun 2025, yakni “PKL Sebagai Media Pembentukan Sarjana yang Tangguh dan Profesional”, terasa sangat relevan dengan kondisi lapangan. Ketangguhan di sini mengajarkan saya untuk mampu bertahan dalam tekanan sekaligus memupuk kemampuan memahami kondisi orang lain tanpa kehilangan arah diri. Berhadapan dengan anak-anak yang pernah mengalami kekerasan membuat saya belajar arti keteguhan hati dan pentingnya berpikir kritis terhadap sistem sosial yang belum ideal.
PKL di panti sosial kali ini telah membuka mata saya sebagai calon sarjana Bimbingan dan Konseling Islam. Dari sana, saya belajar bahwa empati dan profesionalitas tidak bisa diajarkan, tetapi harus dialami. Dan melalui pengalaman itu, muncul kesadaran baru bahwa sistem sosial kita masih membutuhkan lebih banyak tenaga profesional yang bekerja dengan hati dan kompetensi.
Semoga ke depannya lembaga-lembaga sosial di Samarinda dan Kalimantan Timur semakin diperkuat dengan kehadiran para konselor, psikolog, dan pekerja sosial profesional. Karena pada akhirnya, mendidik manusia berarti membangun peradaban yang berempati. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- IKN Jadi Venue Lari Trail Internasional, Peserta dari Jepang Puji Alam Nusantara
- Kritik Pedas XR Kaltim untuk COP30 di Brasil: Proyek Transisi Energi Indonesia Gagal Hentikan 'Kecanduan Batu Bara'
- Tanda Tanya Kematian Pemandu Lagu di THM Samarinda: Diduga Overdosis, Pengelola Tutupi Kasus?
- AJI Desak Media Stop Diskriminasi, Sebut Pemberitaan Sister Hong Lombok Tebalkan Stigma
- OJK Naikkan Syarat Free Float IPO Jadi 10%, Bertahap Sampai 25 Persen








