Gaya Hidup

Kasus Pemerkosaan Dokter di RSHS dan Dugaan Penyalahgunaan Obat Bius, Ini Penjelasan Pakar

Kaltim Today
18 April 2025 12:09
Kasus Pemerkosaan Dokter di RSHS dan Dugaan Penyalahgunaan Obat Bius, Ini Penjelasan Pakar
PAP, PPDS Anestesi pelaku kasus pemerkosaan di RSHS, Bandung. (Beritasatu.com/Aep Sopandi)

Kaltimtoday.co - Kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi, Priguna Anugerah Pratama (PAP), di RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung terus menjadi sorotan publik. Salah satu hal yang memperparah kasus ini adalah dugaan penggunaan obat bius yang disuntikkan kepada korban sebelum terjadinya kekerasan seksual.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, menyampaikan bahwa korban masih mengalami efek samping dari obat yang diberikan oleh pelaku. “Korban masih pusing, telinganya berdenging. Masih ada efek dari obat bius yang dimasukkan ke tubuhnya,” kata Surawan dalam keterangannya di Mapolda Jabar, Kamis (17/4/2025).

Dugaan pelanggaran tidak hanya menyangkut kode etik profesi, tetapi juga menyentuh aspek serius terkait pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) penggunaan obat bius, yang notabene masuk dalam kategori obat narkotik dan sangat diawasi penggunaannya.

Ketua Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, dr. Reza Sudjud, dalam konferensi pers menyatakan bahwa berdasarkan SOP rumah sakit, obat-obatan bius jenis narkotik hanya boleh diakses dan digunakan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

“Yang berwenang mengambil dan menggunakan obat jenis ini hanya DPJP. Setelah digunakan pun, sisa obatnya wajib dikembalikan ke depo farmasi,” tegas dr. Reza, dikutip dari Berita Satu.

Menurutnya, kejanggalan terjadi karena seorang PPDS seperti PAP tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengakses obat bius secara mandiri, apalagi menggunakannya di luar prosedur medis yang sah. Ia pun menyayangkan terjadinya pelanggaran berat ini dan menyebut kemungkinan pelaku memperoleh obat tidak hanya dari lingkungan RSHS.

“Bisa jadi ada pelanggaran SOP di internal, atau mungkin juga obat tersebut bukan dari rumah sakit. Saya pun belum bisa memastikan,” tambahnya.

Kasus ini membuka kembali perbincangan penting mengenai pengawasan distribusi dan penggunaan obat bius di fasilitas kesehatan, termasuk penguatan sistem pengendalian farmasi rumah sakit. Selain melibatkan otoritas medis, aspek farmasi juga turut menjadi bagian yang perlu diaudit menyeluruh.

Organisasi seperti Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) terus mendorong peningkatan kepatuhan terhadap regulasi penggunaan obat-obatan yang masuk kategori khusus seperti narkotik. Melalui laman pafikabupatenkepulauanmeranti.org, masyarakat dapat memperoleh edukasi terkait tata kelola obat, peran farmasis, serta perlindungan terhadap pasien.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa penyalahgunaan wewenang dalam dunia medis tidak hanya mencederai etika profesi, tetapi juga berdampak langsung pada keselamatan dan martabat pasien. Diperlukan ketegasan hukum, pembenahan sistem, serta kolaborasi antara tenaga medis dan farmasi agar peristiwa serupa tidak kembali terulang.

[TOS]



Berita Lainnya