Internasional

Kisah Inspiratif, Wanita di Australia Ini Jadi Lulusan Sarjana Pertama yang Hidup dengan Down Syndrom

Kaltim Today
05 Januari 2022 15:32
Kisah Inspiratif, Wanita di Australia Ini Jadi Lulusan Sarjana Pertama yang Hidup dengan Down Syndrom
Rachel High. (Sumber: suara.com).

Kaltimtoday.co, Australia - Mengenali kelebihan dan kelemahan diri adalah kunci kesuksesan. Hidup dengan semangat dan percaya atas kemampuan yang dimiliki adalah kunci menaklukan ketakutan. Inilah yang dirasakan Rachel High, pria di Australia yang telah merayakan kelulusan sarjananya tahun ini.

Rachel merupakan orang pertama yang hidup dengan down syndrom dan lulus dengan gelar di Flinders University, Adelaide.

 "Ini membuatku  merasa luar biasa," ucap Rachel, sembari merenungkan 10 tahun kerja kerasnya. 

Dia menjelaskan, keberhasilan ini tak lepas dari perjuangannya untuk  mengikuti setiap pelajaran di kelas dan mendalami kemampuannya saat melakukan penelitian.

 "Saya tumbuh dewasa pada masa-masa kuliah, lalu berpikir inilah jalan saya. Saya yakin, universitas akan memperluas pemikiran dan perspektif saya di bidang seni teater dan bidang pertunjukan," jelasnya.

Mengalami isolasi sosial

Lebih dari sepuluh tahun lalu, Rachel bergabung dengan program 'Up The Hill' untuk mengikuti kursus. 

Kemudian,  wanita  berusia 44 tahun itu memperoleh nilai yang cukup untuk kuliah di program Bachelor of Arts, setara dengan S1. Dia mengambil jurusan drama & studi film. 

Sekarang, dengan ijazah di tangannya, dia mengaku sangat bahagia  dan bangga lantaran berhasil melalui "perjalanan panjang". 

Tapi perjalanannya tidaklah mudah, lantaran terdapat beberapa momen yg membuatnya nyaris menyerah pada awal masa studinya. 

 "Terus terang, aku  gugup dan sedikit takut lantaran saya tidak tahu apa yang akan terjadi di universitas," katanya. 

 "Ada satu orang, sebut saja inisialnya, 'H', saat proses perkuliahan dia tidak pernah ingin saya berada di kelompoknya.Hal ini membuat saya sangat sedih. Hingga sempat berfikir, ‘mengapa aku disini?'," tuturnya.

Ibu Rachel, Miriam High berkata, isolasi sosial yg dialami anaknya sempat jadi penghalang utama pada awal masa kuliah. 

"Tidak ada mentor, tidak ada yang menyapanya di gerbang kampus dan membawanya ke ruang kelas, tidak ada yang berbagi pengalaman dengannya dan itu membuatnya sangat merasa diasingkan, sehingga awalnya dia tidak ingin melanjutkan studi," tutur Miriam. 

 "Bukan pembelajaran yang menjadi masalah, akan tetapi isolasi sosial yang dia alami. Itu semua karena mereka melihatnya sebagai penyandang disabilitas intelektual yang tidak cocok di dunia perkuliahan." 

'Banyak air mata' waktu kuliah

Miriam & suaminya, John, lalu mencari sahabat  bayaran yang mampu membantu Rachel. Sementara, pihak universitas juga menawarkan mentor pada tengah-tengah masa studi Rachel. 

 "Saya menerima beberapa sahabat melalui mentor, sahabat-sahabat mereka juga. Saya seorang peneliti, inilah yang membuat saya  terus maju dan mencari sahabat dengan cara saya sendiri," ucap Rachel dengan optimis.

Rachel High (tengah) dengan ibunya Miriam High dan ayahnya John High saat upacara kelulusannya. (Sumber: suara.com).
Rachel High (tengah) dengan ibunya Miriam High dan ayahnya John High saat upacara kelulusannya. (Sumber: suara.com).

Miriam berkata pengalaman kuliah putrinya sama seperti mahasiswa lain yang juga mengalami hal baik dan buruk yang menguras air mata.

 "Tapi dia memiliki tekad yang kuat dan berhasil melakukan banyak hal," kata Miriam. 

 "Kami selalu mendampinginya saat belajar. Membantunya memahami setiap informasi yang dia dapatkan saat belajar di kelas. Kami berdiskusi untuk menemukan apa saja yang bisa dan harus dia lakukan untuk menuntaskan tugasnya,”

Universitas diminta tingkatkan akses

Peneliti keragaman & inklusi di Australia, Sally Robinson merupakan dosen pembimbing penelitian akhir Rachel yg berjudul 'Graduating University as a Woman with Down Syndrome: Reflecting on My Education' (Lulus Universitas sebagai Perempuan dengan Down Syndrome: Sebuah Refleksi Pendidikan yang Saya Jalani). 

 Makalah ini diterbitkan pada jurnal 'peer-review' bulan lalu. 

"Ini merupakan proyek yg sangat ambisius dan  kami sangat  perlu menggali lebih dalam," ucap Profesor Robinson. 

"Saya sangat yakin karyanya akan bermanfaat, makalah akademis yang telah dilihat oleh rekan sejawat merupakan bukti empiris bahwa ini merupakan karya akademik berkualitas tinggi." 

Makalah ini terdiri berdasarkan tinjauan literatur yg meneliti pengalaman universitas berdasarkan orang-orang yang hidup dengan disabilitas intelektual dan autoetnografi yang membahas pengalaman Rachel sendiri. 

Profesor Robinson berkata, universitas masih harus jbi berusaha mendukung murid penyandang disabilitas intelektual dan kognitif untuk  mengakses pendidikan tinggi. 

 "Sudah waktunya kita melihat balik  bagaimana penyandang disabilitas intelektual mampu menerima dukungan universitas dan memikirkan masa depan mereka." 

Dia jua berkata, peningkatan akses harus serius dalam penyediaan donasi praktis, misalnya perpanjangan tenggat saat tugas, penyesuaian kurikulum, juga dalam perubahan perilaku masyarakat. 

"Kita wajib meningkatkan harapan mereka dalam meraih cita-cita. Kita harus yakin bahwa penyandang disabilitas intelektual juga mampu berhasil berpendidikan tinggi. Rachel telah menampakan pada kita betapa hal tadi mungkin terjadi," katanya. 

Mengubah Dunia

Rachel mengungkapkan kegembiraannya karena dalam satu dekade yang digunakannya untuk mendengar, membaca, menulis mampu menunjukan bahwa hidup dengan Down Syndrom tidak menghalanginya untuk terus belajar.

Dia berharap prestasinya akan sebagai bukti bahwa orang yg hayati menggunakan disabilitas intelektual bisa mengejar kesuksesan akademis, asalkan menggunakan dukungan yg tepat. 

"Mereka wajib  mengabaikan stereotip," katanya. 

 "Orang-orang seperti saya  wajib  mengabaikannya dan mau berkuliah untuk memberi mereka semua sebuah pengalaman hidup." 

 "Belajar di universitas benar-benar merubah dunia dan hidup saya," terang Rachel.

 

Rachel High. (Sumber: suara.com).
Rachel High. (Sumber: suara.com).

Ibu Rachel, Miriam mengaku bangga melihat keberhasilan putrinya. 

 "Semua menelpon kami dan berkata, 'bukankah ini merupakan hasil yang luar biasa?', dan memang itu hasilnya. Ini lebih dari apa yang pernah kami impikan sebelumnya," ucapnya haru.. 

 "Ketika Rachel lahir 44 tahun yg lalu, kami diberi tahu sebaiknya menempatkan dia di rumah sakit dan mempunyai anak lagi." 

Tapi kedua orang Rachel tidak melakukannya. 

"Inilah bayi kami, yang waktu itu orang-orang memiliki harapan yang minim untuknya. Namun kini, dia mampu mengubah dunia untuk orang lain karena prestasinya." pungkas Miriam.

[NON | SR]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

 



Berita Lainnya