Kaltim

Koalisi Kebebasan Berpendapat Minta Upaya Kriminalisasi ke BEM KM Unmul Dihentikan

Kaltim Today
10 November 2021 19:04
Koalisi Kebebasan Berpendapat Minta Upaya Kriminalisasi ke BEM KM Unmul Dihentikan
Presiden BEM KM Unmul Abdul Muhammad Rachim dilaporkan ke Polresta Samarinda karena mengkritik Wapres Ma'ruf Amin sebagai "Patung Istana Merdeka". (Istimewa)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Puluhan organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berpendapat mengecam upaya kriminalisasi terhadap BEM KM Unmul.

Mereka minta pihak yang melapor  ke polisi untuk mencabut laporannya. Karena laporan itu dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi yang dilindungi undang-undang.

Sikap Koalisi Kebebasan Berpendapat itu disampaikan kepada jurnalis, Kamis (10/11/2021) secara virtual. Sikap disampaikan Kepala Kantor LBH Samarinda Fathul Huda Wiyashadi dan Akademisi Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah.

Kepada awak media, Fathul Huda mengungkapkan, Polresta Samarinda melayangkan surat panggilan bernomor B/1808/XI/2021 ke BEM KM Unmul. Dalam surat itu, dasar pemanggilan berdasarkan laporan R/LI/457/XI/2021/RESKRIM, pada  2 November 2021 yang ditindaklanjuti Polresta Samarinda pada hari yang sama dengan menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Sp. Lidik/ 1785 / XI/2021. 

Laporan itu dibuat karena unggahan poster BEM KM Unmul di akun instagram terkait seruan aksi saat kunjungan Wapres Ma'ruf Amin ke Samarinda. Dalam posternya, BEM KM Unmul menyebut Ma'ruf Amin sebagai "Patung Istana Merdeka Datang ke Samarinda". 

Unggahan tersebut viral dan ramai diperbincangkan publik. Kemudian BEM KM Unmul dilaporkan ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan terhadap penguasa. 

Koalisi, sebut Fathul, sangat menyayangkan laporan dan pemanggilan polisi tersebut. Menurut koalisi, unggahan berupa seruan aksi yang dilakukan BEM KM Unmul dalam akun instagram tersebut bukan tindakan pencemaran nama baik, fitnah, ataupun penghinaan terhadap penguasa, melainkan sebuah seruan aksi yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan memanfaatkan momentum  kedatangan Wapres Ma'ruf Amin. 

Sikap dan cara BEM KM Unmul itu telah dijamin dalam konstitusi Pasal 28E Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dalam Ayat 3 dinyatakan pula “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Selain itu, Pasal 310 dan 311 KUHP serta 207 dan 208 KUHP yang dijadikan dasar hukum bagi pelapor untuk mempidanakan BEM KM Unmul dengan mendasarkan pada kalimat seruan aksi yang tertera pada poster unggahan akun instagram BEM KM Unmul merupakan dasar yang mengada-ada dan tidak logis.

"Laporan itu tidak memiliki basis teori yang tepat. Dalam ilmu bahasa, kalimat yang tertera di poster tersebut menggunakan bahasa yang memiliki makna satire," kata Fathul.

Adapun pengertian dari satire, dijelaskan Fathul, merupakan ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusiayang secara tidak langsung menuntut adanya perbaikan. Dalam satire sendiri terdapat banyak wacana yang terdiri dari ironi, sarkasme, serta sinisme hal mana banyak siratan yang harus dikupas oleh orang yang membacanya.

Koalisi Kebebasan Berpendapat juga mempertanyakan kapasitas pelapor.  Sebab,  apabila pihak pelapor adalah bukan pihak yang dirugikan, Wapres Ma'ruf Amin, telah jelas tidak memiliki legal standing. Namun sebaliknya, apabila pihak pelapor adalah pihak yang dirugikan, Wapres Ma'ruf Amin, dapat dipastikan pejabat publik yang bersangkutan adalah sosok anti terhadap kritik.

Selain itu, disebutkan Fathul, menurut Mahkamah konstitusi dalam pertimbangan putusannya Nomor 31/PUUXIII/2015 berkaitan dengan Pasal 310 dan 311, yang harusnya menjadi pelapor adalah pihak yang dirugikan. Begitu pula berlaku pada penghinaan terhadap penguasa dalam Pasal 207 dan 208 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak ada laporan dari penguasa yang dirugikan, hal ini berdasarkan putusan MK Nomor 013/-022/PUU-IV/2006.

"Atas dasar-dasar itu kami tegas mengecam upaya kriminalisasi terhadap  BEM KM Unmul. Kami juga minta pihak pelapor untuk mencabut laporannya ke polisi," ucap dia.

Pihaknya juga mendesak Polresta Samarinda untuk menghentikan proses 

penyelidikan terhadap BEM KM Unmul. Dan mengimbau seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersolidaritas dalam rangka melindungi hak kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Akademisi Fakultas Hukum Unmul Herdiansyah Hamzah dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan keprihatinan atas panggilan polisi ke BEM KM Unmul karena mengkritik Wapres Ma'ruf Amin.

Menurut pria yang akrab disapa Castro tersebut, kritik BEM KM Unmul merupakan kalimat metafor yang menunjukkan kecerdasan berbahasa seseorang. Dibuat agar pernyataan lebih efektif. Hal itu biasa disampaikan, apalagi oleh mahasiswa. 

Publik, menurut Castro, mestinya tidak perlu mempersoalkan diksi, tapi fokus terhadap substansi kritik tersebut. Bahkan harus direspon kekuasaan. 

Castro juga menilai ada paradoks di tubuh kepolisian. Selama ini urusan tambang ilegal yang dilaporkan warga, lambat direspon. Beda dengan laporan tuduhan penghinaan kepada penguasa, cepat diproses. 

"Polisi semacam pilah pilih kasus. Tergantung kepentingan kekuasaan. Kalau persoalan kekuasaan lebih cepat. Sebaliknya giliran kepentingan publik justru lambat," kata Castro. 

Tidak mengherankan, sebut Castro, jika The Economist Intelligence Unit (EUI), menyebut indeks demokrasi di Indonesia cenderung turun di era pemerintah Presiden Jokowi. 

Negara saat ini gagal memeberikan jaminan kebebasan berpendapat. Karena pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa justru dikriminalisasi. 

"Sangat tidak layak sama sekali pemanggilan polisi ke BEM KM Unmul. Pasal-pasal yang digunakan sangat banyak dan tidak sesuai. Ini jelas bentuk kriminalisasi terhadap mereka yang kritis terhadap penguasa," ucapnya. 

[TOS]



Berita Lainnya