Nasional

Korupsi Helikopter TNI AU, Bos PT DJM Rugikan Negara Rp 224 Miliar

Kaltim Today
25 Mei 2022 09:05
Korupsi Helikopter TNI AU, Bos PT DJM Rugikan Negara Rp 224 Miliar
KPK menahan Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri (PT. DJM), Jhon Irfan Kenway. (Suara.com/Welly Hidayat)

Kaltimtoday.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya melakukan penahanan terhadap Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri (PT DJM), Jhon Irfan Kenway.

Jhon Irfan merupakan tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Wesland atau AW-101 di TNI AU, pada Selasa (24/5/2022).

Jhon Irfan diketahui sudah terlebih dahulu berstatus tersangka. Penahanan terhadap John berdasarkan hasil penyidikan dengan memeriksa sebanyak 30 saksi.

"Menemukan adanya bukti permulaan yang cukup untuk kemudian meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan. KPK sebelumnya telah mengumumkan tersangka JIK (John Irfan Kenway)," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2022).

Firli menjelaskan, kontruski perkara hingga menjerat tersangka John. Berawal pada 2015, tersangka John merupakan direktur PT. DJM dan pengendali PT. KCG bersama Lorenzo Pariani sebagai pegawai perusahaan pengadaan helikopter AW menemui Mohammad Syafei (MS). Ketika itu, ia masih menjabat selaku Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.

"Dalam pertemuan tersebut, kemudian membahas di antaranya akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW 101 VIP / VVIP TNI AU," ucap Firli.

Lebih lanjut, peran tersangka John merupakan salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai US$56, 4 juta.

"Di mana harga pembelian yang disepakati John dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai US$39,3 juta (ekuivalen dengan Rp514,5 Miliar)," kata Firli.

Pada November 2015, kata Firli, panitia pengadaan helikopter AW 101 VIP / VVIP TNI AU mengundang tersangka John untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.

"Hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," ungkap Firli.

Kemudian pengadaan helikopter dilanjutkan pada 2016. Di mana nilai kontrak mencapai Rp738, 9 Miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.

Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan John dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan.

"Harga penawaran yang diajukan John masih sama dengan harga penawaran pada 2015 senilai US$56, 4 juta dan disetujui oleh PPK," kata Firli.

Apalagi, kata Firli, John juga diduga aktif melakukan komunikasi dan pembahasan dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) Fachri Adamy.

"Tersangka John diduga menyiapkan dan mengkondisikan 2 perusahaan miliknya mengikuti proses lelang ini dan disetujui oleh PPK," ujar Firli.

Di mana dalam proses pembayaran terhadap John diduga sudah dibayarkan 100 persen. Namun, faktanya adalah ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak.

"Di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," kata Firli.

Sehingga, dugaan kerugian negara pengadaan Helikopter yang dilakukan oleh tersangka John mencapai ratusan miliar.

"Tersangka John diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738, 9 miliar," ucapnya.

Untuk proses lebih lanjut, tersangka John akan dilakukan penahanan selama 20 hari pertama, terhitung sejak Selasa 24 Mei sampai 12 Juni 2022 di Rumah Tahanan KPK pada Gedung Merah Putih KPK.

Untuk proses lebih lanjut, tersangka John disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

[RWT | SR]



Berita Lainnya