Daerah
KPK Bongkar Kasus Suap IUP Kaltim, Pengamat Soroti Lemahnya Pengawasan dan Transparansi Pemerintah

Kaltimtoday.co, Samarinda - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus dugaan suap terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara di Kalimantan Timur. Kasus ini mendapat perhatian serius dari akademisi Universitas Mulawarman, Syaiful Bachtiar, yang menilai lemahnya pengawasan dan kurangnya transparansi pemerintah menjadi faktor utama terjadinya praktik korupsi di sektor pertambangan.
KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus tersebut, diantaranya Awang Faroek Ishak selaku Gubernur Kaltim Periode 2008-2018, Dayang Donna Walfiares selaku Ketua Kadin Kaltim sekaligus anak dari Awang Faroek Ishak, dan Rudy Ong Chandra selaku wiraswasta.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan dari perkara korupsi pemberian IUP kepada penyelenggara negara yang terjadi pada periode 2013–2018.
Kronologi berawal pada tahun 2014, Rudy Ong Chandra mengalami hambatan dalam upayanya memperpanjang enam Izin Usaha Pertambangan (IUP) miliknya di Kalimantan Timur. Untuk mengatasi kendala tersebut, Rudy meminta bantuan kepada Gubernur Kalimantan Timur saat itu, Awang Faroek Ishak. Menanggapi permintaan itu, Donna Faroek yang merupakan anak dari sang gubernur aktif menghubungi sejumlah pejabat Dinas ESDM Kaltim guna mengurus proses perpanjangan izin.
Pada Februari 2015, negosiasi antara Donna dan Rudy pun dimulai. Tawaran awal Rudy sebesar Rp1,5 miliar ditolak oleh Donna, yang kemudian meminta imbalan sebesar Rp3,5 miliar. Setelah tercapai kesepakatan, uang sebesar Rp3,5 miliar yang diserahkan dalam bentuk dolar Singapura disampaikan kepada Donna melalui dua orang perantara di sebuah hotel di Samarinda.
Tak lama setelah itu, dokumen perpanjangan IUP dikirimkan kepada Rudy melalui jasa pengasuh bayi yang dipercaya oleh keluarga Donna. Dalam perkara ini, Donna diduga berperan sebagai perantara sekaligus penerima suap, sementara Rudy ditetapkan sebagai pihak pemberi suap.
Syaiful menilai bahwa persoalan utama dalam kasus tersebut yakni lemahnya sistem dan manajemen, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan pertambangan batu bara.
"Banyak IUP baru maupun perpanjangan, tidak diberikan berdasarkan norma atau ketentuan yang berlaku. Ada pelanggaran terhadap peraturan saat IUP diterbitkan atau diperpanjang. Ini yang menjadi dasar munculnya kasus hukum seperti sekarang," pungkasnya.
Ia mengatakan, carut-marut pengelolaan IUP tersebut bukan hanya ketika kewenangan berada di daerah, tetapi bahkan setelah ditarik ke pusat pun masalahnya masih sama. Dalam praktik di lapangan, Syaiful menilai tidak banyak perubahan signifikan.
"Artinya, lemahnya kontrol manajemen terhadap penerbitan maupun perpanjangan IUP tetap terjadi. Bahkan, syarat-syarat administratif dan teknis untuk menerbitkan izin sering tidak konsisten dengan regulasi yang ada," imbuhnya.
Ia menambahkan, idealnya informasi terkait IUP tersebut bisa diakses secara terbuka, misalnya melalui situs resmi pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Terutama OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut.
"Transparansi ini penting, bukan hanya untuk akuntabilitas pemerintahan, tetapi juga agar masyarakat diberikan ruang untuk melakukan kontrol. Mereka berhak tahu siapa yang diberi izin, untuk apa, dan bagaimana prosesnya. Keterbukaan ini akan mempersempit ruang terjadinya penyimpangan dalam sektor pertambangan kita," tutupnya.
[RWT]
Related Posts
- Aliansi Bakwan Suarakan Penolakan Kenaikan PBB dan Persoalan Warga Balikpapan
- Pemprov Kaltim Usulkan Kenaikan Kontribusi CSR Tambang Jadi Rp10.000 per Ton Batu Bara
- Kasus Balita Cacingan di Sukabumi Viral, Obat Cacing Laris Diburu di Pasar Pramuka
- Spotify Naikkan Harga Langganan Bulanan untuk Danai Target 1 Miliar Pengguna
- Debut Starter La Liga Rashford di Barcelona: Flick Akui Puas