Opini

Menyalakan Lilin di Tengah Gelap: Refleksi Dies Natalis UNU Kaltim

Kaltim Today
28 Oktober 2025 12:53
Menyalakan Lilin di Tengah Gelap: Refleksi Dies Natalis UNU Kaltim

Oleh: Eko Ernada, Pendiri UNU Kalimantan Timur

Universitas bukanlah bangunan dari bata dan semen, tapi dari keyakinan bahwa ilmu adalah jalan panjang menuju kemanusiaan. Keyakinan itu yang sedang diuji di Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur. Di hari lahirnya yang kesekian, kampus ini belum tentu bisa berbangga dengan gedung megah, ratusan mahasiswa, atau fasilitas yang mentereng. Tapi barangkali, justru di situ letak kejujurannya — sebuah universitas yang masih belajar menjadi universitas.

Kita hidup di zaman ketika pendidikan tinggi telah menjadi pasar. Orang memilih kampus bukan karena panggilan ilmu, tapi karena prospek kerja, gengsi, atau fasilitas. Di tengah pusaran itu, UNU Kaltim hadir sebagai perahu kecil yang menolak ikut arus. Ia tidak lahir dari modal besar, melainkan dari niat kecil para kiai, dosen muda, dan aktivis NU yang percaya bahwa ilmu adalah bagian dari ibadah sosial. Bahwa universitas harus menjadi ruang pengabdian, bukan sekadar pabrik ijazah.

Namun kepercayaan itu diuji tiap hari. Dosen yang mengajar dengan gaji pas-pasan. Mahasiswa yang datang dengan semangat tinggi tapi terbentur biaya. Pengelola yang berjuang antara idealisme dan realitas administratif. Semua ini menjadikan perjalanan UNU Kaltim bukan kisah heroik, tapi kisah bertahan dengan martabat. Mungkin dari luar terlihat terseok, tapi dari dalam, ia sebenarnya sedang belajar berjalan dengan cara sendiri — pelan, tapi teguh.

Dalam konteks yang lebih luas, membangun universitas di bawah naungan Nahdlatul Ulama selalu menjadi tantangan historis. NU adalah organisasi dengan kekuatan sosial besar, tapi tidak selalu punya struktur kapital yang memadai. Membangun sekolah, rumah sakit, apalagi universitas, sering berarti mengandalkan gotong royong moral lebih dari sekadar modal material. Tapi justru di situlah ruhnya: universitas NU tidak berdiri karena uang, tapi karena niat menjaga akal waras di tengah zaman yang gaduh.

UNU Kaltim mungkin belum menembus peta besar pendidikan nasional, tapi setiap kelas yang tetap berlangsung, setiap mahasiswa yang masih berani bermimpi, adalah bentuk kecil dari keajaiban itu. Tidak ada keberlanjutan tanpa kesetiaan — dan kampus ini, dengan segala keterbatasannya, sedang mengajarkan arti kesetiaan pada cita-cita.

Tentu, refleksi ini tidak boleh berhenti di romantisme. Kita harus berani bertanya: mengapa universitas ini belum tumbuh cepat? Apakah kita masih terjebak dalam pola manajemen lama, ataukah kita takut bermimpi lebih besar? Mengaku terseok bukan kelemahan — justru tanda bahwa kita sadar diri. Dari kesadaran itulah pembaruan dimulai.

Di tengah gempuran digitalisasi dan komersialisasi pendidikan, UNU Kaltim punya peluang yang jarang dimiliki universitas lain: kebebasan untuk memulai dari nol dengan nilai-nilai sendiri. Ia bisa tumbuh sebagai kampus yang tidak kehilangan kemanusiaannya — tempat ilmu tidak menjauh dari moral, dan kecerdasan tidak tercerabut dari keikhlasan. Kalau mau jujur, inilah yang sedang hilang dari banyak universitas besar di negeri ini: jiwa yang sederhana, tapi punya arah.

Barangkali, tugas kita hari ini bukan meniru universitas mapan, tapi menjaga lilin kecil itu tetap menyala. Karena ilmu tidak selalu datang dari ruang besar dan pendingin ruangan, melainkan dari tekad yang tulus dan percakapan yang jujur. Mungkin dosen UNU Kaltim tidak semuanya bergelar profesor, tapi banyak di antara mereka yang memikul beban moral jauh lebih berat: membangun peradaban dari ruang kuliah yang sederhana.

Dies Natalis (28 Oktober) bukan sekadar perayaan ulang tahun, melainkan perenungan: apakah lilin yang kita nyalakan masih menyala, atau mulai padam dihembus angin birokrasi dan lelahnya idealisme? Jika masih ada satu cahaya, sekecil apa pun, itu sudah cukup. Karena dari satu cahaya, lahir ribuan pelita. Dari universitas kecil seperti ini, bisa tumbuh generasi yang tak hanya pintar, tapi juga benar — yang berani membela nilai di tengah kerumunan.

UNU Kaltim lahir bukan untuk bersaing dengan yang besar, tapi untuk memberi arti pada yang kecil. Untuk membuktikan bahwa pendidikan tidak harus glamor untuk bermakna. Untuk mengingatkan kita bahwa peradaban besar selalu berawal dari ruang-ruang kecil yang tulus.

Mungkin hari ini kita belum bisa menulis sejarah besar, tapi kita sedang menulis bab pertama dari cerita panjang tentang keikhlasan. Di tanah yang luas dan berdebu ini, UNU Kaltim menanam pohon pengetahuan. Ia belum tinggi, akarnya masih mencari arah, tapi selama kita mau menyirami dengan keyakinan, pohon itu akan tumbuh. Perlahan. Seperti cara Nahdlatul Ulama mengajarkan: yang penting bukan cepat, tapi istiqamah.

Karena membangun universitas NU di Kalimantan Timur bukan sekadar proyek pendidikan. Ia adalah ibadah panjang. Dan seperti semua ibadah, yang terpenting bukan hasilnya, melainkan kesetiaan untuk terus melakukannya — bahkan ketika dunia tidak melihat.

Selamat Dies Natalis ke-11 Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur!

Semoga kampus ini terus menyalakan cahaya keilmuan, menjadi rumah bagi semangat belajar, dan menumbuhkan generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga arif secara moral. Di usia yang ke-11 ini, semoga UNU Kaltim kian teguh menapaki jalan ilmu, iman, dan kemanusiaan.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp



Berita Lainnya