Opini
Merdeka Belajar 2020 Hanya Brand Saat Ini
Oleh : Najar Ruddin Nur R, S.Pd (Staff Hubungan Masyarakat PW KAMMI Kaltim Kaltara 2019/2021)
Bagaimana mungkin, 75 tahun Indonesia merdeka baru terbangun konsep merdeka belajar. Kita mengetahui bersama pra Kemerdekaan, Indonesia telah memiliki sebuah Taman Sekolah yang telah didirikan oleh Ki Hajar Dewantara yang menerapkan konsep “Merdeka Belajar”. Siswa pada saat itu bebas dalam belajar untuk mengembangkan setiap minat dan bakat. Misalnya, siswa bebas memilih permainan alat musik seperti gamelan dan alat musik lainnya.
Kutipan CNN Indonesia, Selasa, 14/07/2020 10:31 WIB, dituliskan bahwa “Merdeka Belajar” ini dipopulerkan oleh sebuah PT Sekolah Cikal Bakal yang telah diterapkan sejak tahun 2015 dengan mengadakan pelatihan guru. Tidak hanya itu, tahun 2016 telah diadakan temu guru nusantara, serta tahun 2017 telah menerbitkan buku Merdeka Belajar di Ruang Kelas. Pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab mengatakan, pihaknya membebaskan penggunaan slogan Merdeka Belajar untuk kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim serta menegaskan produk merdeka belajar tidak munggunakan royalty atau kompensasi kepada pemerintah.
Kekhawatiran masyarakat saat ini terhadap merdeka belajar sebagai sebuah “Merk Dagang atau Merk Jasa”. Dua hal ini sangat berbeda dalam sudut pandang pendidikan. Ketidakinginan pendidikan saat ini dikapitalisasi oleh sebuah perusahaan tersendiri. Tetapi hal itu terbantahkan oleh statement oleh Pendiri Sekolah Cikal Bakal.
Merdeka belajar di ruang kelas sebagaimana guru memiliki peran pembelajar yang bertugas mengembangkan potensi siswa di dalam kelas. Long live education atau utlu’ul ilmi illalahdi ilal Mahdi memaknai konsep belajar terus menerus sampai ke liang lahat. Guru-lah yang akan menjadi penggerak dalam kelas serta mengembangkan karakter siswa. Sekolah yang memiliki banyak program akan sangat mendukung konsep merdeka belajar ini. Ada 4 poin besar menjadi seorang guru dalam konsep merdeka belajar yaitu kemerdekaan, kolaborasi, kompetensi, dan karir.
Dalam tulisan Supri Harahap (Kasikur dan Penilaian SMP Disdik Kota Medan) dalam website merdekabelajar.com pada 25 Februari 2020, menjelaskan 4 poin di atas bahwa “Kemerdekaan” di sini artinya berkomitmen pada tujuan. Sedangkan “Kolaborasi, harus meyakinkan bahwa pengalaman bekerja dan belajar dari rekan sejawat merupakan pengalaman yang lebih penting daripada belajar dari seorang ahli yang selalu bersifat top down.Tentang “Karir”, semua profesi membutuhkan ini dengan penjenjangan dan pengembangan.
Dilansir dalam website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim dalam sebuah seminar web di Jakarta, Selasa (5/5) menjelaskan konsep merdeka belajar yang bertitik berat pada guru sebagaimana terkutip “guru tidak akan mungkin bisa digantikan teknologi".
"Teknologi adalah alat bantu guru meningkatkan potensi mereka dan mencari guru-guru penggerak terbaik serta memastikan mereka bisa menjadi pemimpin-pemimpin pembelajaran dalam sekolah-sekolah di seluruh Indonesia," tuturnya.
Dalam "Kebijakan Merdeka Belajar memberi kemerdekaan setiap unit pendidikan berinovasi. Konsep ini harus menyesuaikan kondisi di mana proses belajar mengajar berjalan, baik sisi budaya, kearifan lokal, sosio-ekonomi maupun infrastruktur," jelas Mendikbud. Perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan saat ini, kembali lagi kepada pemangku kebijakan setiap unit sekolah. Standar kualitas pendidikan tergantung Sumber Daya Manusia yang unggul di era digital saat ini, apalagi guru di Indonesia dilanda oleh Covid-19. Daring bukan menjadi solusi tapi menjadi pemicu untuk melompat jauh dari kualitas diri seorang guru, arrtinya apa? Guru belajar itu terus menerus bukan pada saat sertifikasi tapi belajar saat dalam kondisi apapun.
Guru memahami konsep ketuhanan sesuai dengan sila 1 dalam Pancasila. Mengajarkan pendidikan sila 1 ini menjadi pondasi dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Perbaikan selalu terus dilakukan oleh pemimpin di sektor pendidikan yang dilakukan pemerintah saat ini. Ini bukan salah menyalahkan program yang digaungkan oleh pemerintah, tapi ini bagian dari peningkatan program yang sudah ada.
Dilansir dalam SUARAISLAM.id yang ditulis oleh Puji Astutik, M.Pd.I. menegaskan bahwa, konsep “Merdeka Belajar” yaitu mewujudkan kemerdekaan belajar dapat ditempuh dengan memahamkan akan hubungan manusia dengan Tuhanya -al Khaliq. Dimana Allah SWT menghendaki manusia untuk belajar –menuntut ilmu- sebagaimana QS Al Alaq: 1-5 dan QS al Mujadillah: 11. Sehingga belajar adalah kewajiban sekaligus kebutuhan manusia. Pemahaman demikian inilah yang mendorong seseorang untuk belajar atas kesadarannya sendiri. Sehingga tidak ada keterpaksaan sekolah, tidak alergi juga tidak takut dengan ujian/ulangan/tes, karena ujian/ulangan merupakan bagian integral dari belajar itu sendiri, dan merupakan perkara alamiah yang dilakukan guru/lembaga/negara dalam mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
Sebenarnya brand “Merdeka Belajar” hanya sebuah brand yang digelindingkan oleh pemerintah sehingga elemen pendidikan ramai membicarakan. Merdeka Belajar hanya sebuah istilah saat ini saja dan kita mengetahui bersama bahwa Allah SWT menyebutkan dalam QS Al Jumuah ayat 2 bahwa Rasulullah Saw terlahir dari masyarakat yang buta huruf. Al-Qur’an sebagai mukjizat, maka Allah SWT menjadikan setiap ayat yang turun otomatis melekat pada diri Rasulullah Saw.
Melalui QS al ‘Alaq 1-5 tersebut Allah SWT meminta umat Nabi Muhammad untuk belajar –menuntut ilmu-. Allah SWT meminta manusia untuk membaca dan menjalankan kegiatan belajar mengajar. Melepaskan diri dari buta aksara. Menjadi orang-orang berilmu. Memiliki bekal ilmu dan iman dalam menjaga alam dan kehidupan. Mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Menjadi hamba Allah SWT dan membuktikan diri sebagai umat terbaik (QS. Ali Imran: 110).
Sejatinya merdeka belajar sudah ada sejak zaman kenabian dengan mewarisi semua pendidikan terdahulu. Modernisasi pendidikan pasti, tapi mengubah dasar (poin utama) itu tak mungkin. Ilmu itu dari tuhan, hambanya mengamalkan dan mengajarkannya. Keterkaitan di era sekarang ini diabad 21, ketuhanan dan keilmuan sangat erat kaitannya bahkan tak bisa dilepaskan. Setiap hamba akan menghambakannya kepada sang Pencipta. Semua agama mengajarkan demikian, jika ada yang menagajarkan menyimpang perlu dipertanyakan.
Merdeka Belajar hanya brand 2020 atau sebuah istilah baru dengan isi yang sama dengan konsep konstruktif. Mengembalikan marwah kaum intelektual artinya mengembalikan suatu bangsa pada peradaban. Indonesia mencoba mengimprovisasi dan mengkristalisasi nilai-nilai budi luhur terdahulu. Misalnya guru sebagai penggerak, itu sama saja diambil semangat penggerak perlawanan melawan penjajah.
Kebijakan saat ini terkait merdeka belajar perlu dorongan semua pihak dengan situasi yang sama dengan teknisi berbeda dan menarik. Kebebasan kaum intelektual itu adalah suatu hak tapi perlu pamong atau arahan dari seorang guru dimasa akan mendatang. Hal ini didukung dengan peluncuruan program “Kampus Merdeka”, setidaknya ada 4 poin yang tertuang dalam kutipan KOMPAS.com pada Sabtu 25 Januari 2020 yaitu Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi, Pembukaan Program Stdudi Baru, dan kemudahan menjadi PTN-BH.
[irp posts="17779" name="IHT (In House Training) sebagai Sarana Peningkatan Kompetensi yang Menarik bagi Guru di Sekolah "]
Sisi PTN/PTS telah didukung dengan program di atas, hanya saja konsep ini masih mental di kalangan dosen dan mahasiswa. Idealisasi perlu waktu serta pemahaman kembali pada konsep ini. Secara nyata, konsep “Kampus Merdeka” sudah terlaksana, hanya belum jelas. Membolehkan dosen atau mahasiswa belajar di luar juga bagian dari kampus merdeka. Tapi, pemerintah seharusnya memahami universitas yang menerapkan kebijakan “memeras” mahasiswa saat ini, seperti Sumbangan Pembangun Institusi (SPI).
Merdeka sih merdeka, tetapi tekadang kebijakan yang kurang tepat diakomodir oleh institusi. Pendidikan bukan memeras tapi memberikan pelayanan prima kepada siapapun. Unit pendidikan harus kreatif pada era digital saat ini, harus kolaborasi dalam mencari sumber daya dan sumber finansial. Jika kedua hal ini sama-sama kuat, Indonesia mampu menjadi contoh dalam menerapakn konsep merdeka belajar.
Oleh karena itu, brand “Merdeka Belajar” hanya sebuah merk jasa yang ditawarkan tapi menjaga dan merawatnya belum sampai ke daerah terdepan, tertinggal, dan terluar. Permasalahan pendidikan bukan di sebuah kota tapi permasalahan pendidikan saat ini ada di ujung kota. Apakah pemerintah sudah memikirkan di sisi ini? Agar konsep ini tidak parsial tapi kolektif.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co