Opini
Kekerasan Seksual Meneror Kala Pandemi, Butuh Solusi Sistemik
Oleh: Dewi Murni (Aktivis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan)
Adalah perkataan pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, yang kini berkisah tentang nasib malang kehidupan ‘baru’ manusia bersama Covid-19. Musibah yang datangnya bertubi-tubi, berturut-turut. Seabrek kisahnya sudah dituliskan di berbagai media. Mulai dari laman berita resmi yang mengisahkan pilunya nasib karyawan kena PHK, hingga dinding facebook emak-emak yang darah tinggi karena harus jadi guru amatiran bagi anaknya saat sekolah dari rumah. Belum ada jeda untuk bernafas lega, terkuak lagi fakta kekerasan seksual yang justru meningkat kala pandemi. Rasanya persis bagaikan hantaman tangga. Semakin sakit.
Ini bukan mengada-ngada. Berdasarkan sumber dari detik.com pada 10 Juli 2020 lalu, Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan COVID-19, dr. Reisa Broto Asmoro mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak masa pandemi virus Corona hingga angka 75 persen. Itupun berdasarkan data yang tercatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Komnas Perempuan. Pertanyaannya, apa kabar yang tidak tercatat?
Hal senada juga diungkapkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Melalui diskusi secara daring, Rabu, 8 Juli 2020, Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar menyampaikan bahwa, awalnya kekerasan seksual di 2018 ada 401 kasus lalu bertambah 100-an kasus pada 2019 hingga totalnya menjadi 507 kasus. Kendati demikian, lagi-lagi data tersebut belum seutuhnya, karena menurut Livia korban kerap tidak berani melapor maupun mengalami kesulitan hukum. Dan, Kalimantan Timur harus siap mengemban citra buruk sebagai calon ibu kota negara sebab ia masuk nominasi lima wilayah tertinggi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual (sumber medcom.id, 08/07/2020).
Semesta seolah ingin membenarkan pernyataan di atas, Balikpapan, gerbang Kalimantan Timur, memiliki kisahnya tersendiri. 23 Juni 2020 dini hari, gadis berumur 16 tahun, tak berdaya diperkosa pria berinisial R (42) dalam sebuah WC umum yang sepi di kawasan Terminal Balikpapan Permai. Kehormatannya seketika hancur di bilik WC berukuran sekira 1x1,5 meter persegi (sumber, tribunnews.com, 24/7/2020). Di sudut lain Balikpapan, ada oknum satpam mengaku agensi model menipu cewek cantik. Dia menyimpan banyak foto korban tanpa busana dengan menjanjikan bayaran 400 ribu perfoto. Malang, cewek cantik itu malah kena prank (sumber, jpnn.com, 20/7/2020).
Sebagai pemain panggung negara, pemerintah telah berkali-kali meredam teror ini. Tapi sayangnya jerih payahnya selama ini tidak pernah mencapai titik akar permasalahan. Hanya berkutat pada masalah cabang maupun teknis, tanpa pernah berpindah ke paradigma berpikir yang shahih. Hasilnya, suasana kian tak terkendali. Teror dimana-mana, kapan saja, malah tidak kenal masa pandemi.
Selama ini paradigma berpikir sekuler kapitalis menyelimuti sendi-sendi kehidupan dengan sistematis. Dipisahkannya perkara agama dan dunia menciptakan bangunan masyarakat yang rapuh imannya. Halal haram diabaikan. Standar kebahagiaan membelok ke arah duniawi (materi), bukan lagi ridha Ilahi. Kepuasan syahwat dan harta menjerumuskan hingga titik paling hina. Tapi, dalam sistem kapitalis sekuler kepuasan syahwat justru komoditi yang menguntungkan, diobral dalam bentuk ponografi. Penikmatnya jangan ditanya. Banyak. Di saat semua harus beraktivitas dari rumah, di saat itu setiap tangan berteman akrab dengan gadget. Lewat sentuhan jari, apapun bisa diakses termasuk situs pornografi. Bahkan, tanpa diinginkan sekalipun konten-konten pornografi kerap kali berlalu lalang di layar smartphone.
Pada sisi lain, sistem ekonomi berbasis sekuler kapitalis telah mendudukkan kepemilikan harta, kebutuhan umum, proses produksi, ditribusi dan konsumsi di tangan para pemilik modal. Bukan diurusi negara. Imbasnya jurang kemiskinan menganga lebar, lapangan pekerjaan sulit diakses dan jaminan kesejahteraan hanyalah untung-untungan. Bila sudah begini, menjadi pekerja seks komersial, model bikini dan sejenisnya, dianggap pintu rezeki yang menjanjikan. Meski pada akhirnya mereka jadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual.
Paradigma berpikir kapitalisme sekuler juga membentuk sistem sosial yang liberal. Pergaulan laki-laki dan perempuan dibebaskan atas nama HAM. Sistem hukum pun lembek. Tidak membuat pelaku jera. Karena bersumber dari hukum buatan manusia yang bisa ditawar-tawar dan tidak sesuai fitrah manusia.
Berangkat dari itu, untuk menjawab tuntas teror kekerasan seksual kita harus menginstal ulang paradigma berpikir dengan pandangan yang benar, yakni islam. Meletakkannya sebagai pijakan segala sistem kehidupan. Baik itu negara, masyarakat maupun individu/keluarga. Mulai dari penerapan sistem ekonomi misalnya, negara mengembalikan kepemilikan individu, umum dan negara kepada tempatnya dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Penerapan sistem pendidikan misalnya menjadikan akidah islam sebagai dasar segala ilmu dan staqofah. Penerapan sistem sosial misalnya perintah menutup aurat, larangan mendekati zina dan berkhalwat. Pengaturan media massa, misalnya menampilkan konten yang menumbuhkan ketaatan, melarang konten apa saja yang melanggar syariat. Semua itu ditegakkan dengan hukum-hukum islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Laa raiba fiihi. Tidak ada keraguan di dalamnya. Siapa saja yang berhukum kepadanya pasti selamat dan terselamatkan.
Oleh karena itu, maka dalam hal ini pemerintah adalah pemeran utama yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menginstal ulang pemikiran islam serta hukum-hukumnya secara sempurna dan sistemik. Sebab kelak dia akan ditanya Allah tentang rakyatnya yang diurusnya.
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim).
Wallaahu’alam bisshowab.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co