Opini

Napi Korupsi Diistimewakan, Haruskah Dikasihani?

Kaltim Today
08 Desember 2022 21:26
Napi Korupsi Diistimewakan, Haruskah Dikasihani?

Oleh: Coni

Korupsi sudah sangat mendarah daging di negara Indonesia yang tercinta ini, seakan-akan korupsi sudah menjadi budaya di negara ini. Karena sudah menjadi “budaya”, maka tidak heran jika kasus korupsi pasti akan dijumpai dari generasi ke generasi.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? karena jika telah diyakini sebagai “budaya”, otomatis perbuatan tersebut akan dilestarikan. Perbuatan korupsi dapat terlaksana, pasti faktor utamanya karenapunya kekuasaan dan dari kekuasaan tersebut dibumbui oleh kesempatan. Jika 2 faktor tersebut telah di depan mata, maka tinggal pengeksekusian dari penguasa yang tak berintegras dan dapat dipastikan korupsi akan terlaksana tanpa hambatan, begitulah ulah para “tikus berdasi” yang minim nurani sehingga mendzholimi rakyatnya sendiri.

Oleh karenanya, yang paling dikhawatirkan di negara tercinta kita bukan kekurangan orang pintar ataupun orang cerdas, namun negara kita kurang dengan orang yang berintegritas dan ikhlas.

Miris memang dengan kondisi negeri ini, di mana tindakan yang nyata-nyatanya merugikan banyak pihak terlebih pada negara justru mereka yang “dimanja”. Terbuktidari ditemukannya beberapa fasilitas yang membuat napi korupsi dapat merasakan kenyamanan meski sedang menjalankan hukuman.

Berbanding terbalik dengan pelaku pencuri kelas teri, padahal sama-sama pencuri tapi tingkat pencuri kelas teri merasakan nestapa melebihi para pencuri kelas kakap, dilihat dari nominalnya saja pencuri kelas kakap pasti mengambil yang bukan haknya dalam jumlah yang besar, maka yang seharusnya mendapatkan nestapa yang berat yaitu pencuri kelas kakap.

Namun dinegeri ini serba terbalik, terbukti saat Mata Najwa melakukan sidak ke lapas sukamiskin (penjara khusus tipikor), hasil dari kunjungannya membuat kita geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, karena kondisi di dalam penjara sangat berbeda dengan penjara pada umumnya, di antaranya terdapat fasilitas elektronik yang dibawa oleh napi korupsi, alat olahraga dibawa oleh beberapa napi dengan alasan supaya tetap sehat, selain itu juga disediakan kamar yang nyaman baik dari segi alas tidur berupa kasur yang tergolong cukup nyaman, lemari bahkan etalase untuk parabotan pribadi dan kamar mandi sesuai request (salah satunya kamar mandi dengan closet duduk karena alasan sakit dan lain sebagainya) dan tentunya napi tipikor dijatah dalam 1 kamar 1 orang penghuninya.

Selain itu team Mata Najwa menemukan ruangan khusus kerja untuk beberapa oknum dan tentunya dengan fasilitas yang lebih nyaman lagi, bahkan ditemukan di ruangan tersebut memiliki fasilitas berupa, AC, kursi empuk, meja kerja, kulkas kecil, TV dan bahkan HP dan masih banyak lagi barang yang tersedia dikamar para napi tipikor.

Melihat hal tersebut, tentu saja kondisi penjaranya jauh dari kata nestapa padahal kasusnya bersangkutan dengan “pidana” yang mana seharusnya napi korupsi merasakan nestapa yang lebih dari pada napi lainnya, karena napi selain tipikor merasakan betapa sesaknya bergerak karena dalam satu sel dengan ukuran yang terkadang tidak memenuhi kriteria diisi dengan puluhan orang, tanpa kasur dan kamar mandi hanya tersedia satu dalam setiap sel, itupun dapat dikatakan tidak layak huni karena selnya kelebihan kapasitas, selain itu di lapas umum juga tidak tersedia fasilitas serupa yang terdapat pada lapas tipikor.

Bahkan tidak hanya berhenti pada fasilitas yang disuguhkan, persoalan kasus korupsi bukannya ditindak lebih garang justru ditindak dengan kasih sayang, dimana bertepatan pada bulan Oktober 2021 MA (Mahkama Agung) mencabut sejumlah pasal dalam PP Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Dengan dicabutnya PP tersebut akan membuat para napi korupsi, narkoba dan teroris mudah untuk mendapatkan remisi. Bbenar saja, bertepatan pada 2022 tidak tanggung-tanggung sebanyak 421 napi korupsi mendapat remisi dan 4 di antaranya dinyatakan bebas, ditambah lagi di tahun ini juga telah disahkannya RKUHP menjadi KUHP oleh DPR RI (6 Desember 2022), yang menarik perhatian dalam naskah terbarunya KUHP pasal 603, 604, 605, dan 606 yang menjadi rujukan pemidanaan bagi napi korupsi nantinya, lagi-lagi pasal tersebut penuh kontroversial karena keempat pasal yang disahkan memberi keringanan hukuman bagi napi tipikor daripada pasal sebelumnya (pasal 2 ayat 1 dan 2 UU 20 Tahun 2001 “tentang Tipikor”).

pasal 2 menyebutkan “hukuman paling singkat pelaku tindak pidana korupsi yakni, empat tahun dan paling lama 20 tahun”, sedangkan keempat pasal yang baru disahkan menyebutkan “hukuman paling minimal atau singkat bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu dua tahun penjara. Sementara paling lama, 20 tahun penjara”, sangat tampak sekali keberpihakannya pada para koruptor, maka tidak heran banyak koruptor yang santai-santai saja meskipun didalam bui, karena hukumannya tidak setimpal dengan perbuatannya.

Terlebih lagi terkait dinyatakan bebas bersyaratnya Pinangki tepat di tahun ini dengan pertimbangan telah berkomitmen mengikuti program pembinaan yang telah diselenggarakan oleh UPT (Unit Pelaksana Teknis) dengan tertib, sungguh begitu mudahnya mendapatkan keringanan padahal saat di dalam bui sekalipun penanganan terkait pemberhentian tidak hormat Pinangki sangatlah lambat diproses, sehingga saat berada di bui Pinangki masih berstatus sebagai PNS dan tentunya masih menerima gaji, padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Namun hal tersebut justru berbanding terbalik dengan kasus yang sama namun pelakunya masyarakat kalangan bawah, salah satunya yaitu kasus nenek Asyani yang dilaporkan karena mengambil beberapa batang kayu jati, dalam kasus ini pengadilan sangat cepat sekali membuat keputusan, padahal posisi Asyani hanya lansia yang serabutan, seharusnya kasus tersebut diselesaikan terlebih dulu di antara kedua belah pihak melalui musyawarah bukan langsung melalui jalur pengadilan, yang lebih disayangkan yaitu hakim dengan cepat memutuskan Asyani bersalah dan memasukkan beliau ke dalam bui.

Begitulah implementasi hukum di negara ini, pertanyaannya jika yang mencuri uang negara “pencuri kelas kakap” diberi keringanan, lantas mengapa kasus yang menyeret rakyat kelas bawah tidak diberikan keringanan juga?

Bahkan tidak hanya pada prosesnya saja ketidakadilan para napi juga terlihat selama mereka mendekam dipenjara, olehkarenanya kesenjangan inilah yang membuat masyarakat menilai aparatur penegak hukum maupun lembaga hukum tidak mampu menjalankan amanah yang diberikan, dari peristiwa tersebut timbul petanyaan di benak kami apakah perlu para koruptor itu dikasihani? Jika pemerintah tidak bertindak tegas terhadap penjahat tikus berdasi, maka Indonesia akan terjerembap dalam kesengsaraan yang abadi.

Maka perlunya evaluasi yang dilakukan supaya negara kita sistem hukumnya dijalankan oleh oknum-oknum yang berintegritas, meskipun harapan tersebut probabilitas dilakukan oleh pemerintah sangatlah minim, namun sebagai masyarakat terlebih lagi generasi muda jangan hopeless dengan keadaan Indonesia saat ini, karena kita sebagai generasi muda yang nantinya menjadi penerus estafet kepemimpinan sudah selayaknya mengabdi untuk negara dan harus selalu optimis menggiring Indonesia menuju masyarakat anti korupsi.

Sekarang kita harus sadar ternyata Indonesia masih mempunyai harapan. Berdasarkan survei BPS pada 5 tahun terakhir, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan mendekati skala 5. Pada 2022 saja telah mencapai 3,93 di mana capaian tersebut menunjukkan masyarakat semakin sadar akan perilaku anti korupsi, maka dalam hal ini Indonesia masih punya kesempatan untuk membebaskan negeri ini dari korupsi olehkarenanya untuk menuntaskan hal tersebut kita harus mengambil peran supaya negara kita benar-benar terbebas dari “budaya korupsi”.

Jikalau memang belum mampu memperbaiki keseluruhan setidaknya kita punya peran untuk meminimalisir tindakan korupsi agar tidak terlaksana dengan mudah, namun yang menjadi masalah jika nantinya kita sebagai generasi muda tidak punya hasrat lagi untuk menuntaskan sistem yang bobrok ini, karena jika hal tersebut terjadi maka masyarakat Indonesia akan terus merasakan kesengsaraan, olehkarenanya jika bukan kita (generasi muda harapan masyarakat Indonesia) lantas siapa lagi yang akan memperbaiki sistem parasit di negeri tercinta ini?(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram “Kaltimtoday.co”, caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya