Politik

PPATK Ungkap Banyak Transaksi Mencurigakan Terkait Dana Kampanye Selama Masa Tenang Pemilu

Kaltim Today
11 Agustus 2023 19:54
PPATK Ungkap Banyak Transaksi Mencurigakan Terkait Dana Kampanye Selama Masa Tenang Pemilu
Kampanye tolak politik uang dilakukan KPK untuk menjaga integritas di Pemilu 2024. (Foto: Kominfo)

Kaltimtoday.co, Jakarta - Ancaman politik uang terhadap integritas pelaksanaan pemilihan umum telah menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak terkait. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan berbagai modus yang digunakan dalam praktik politik uang.

Politik uang, sebuah bayang-bayang gelap yang tak henti mengintai proses pemilihan umum. PPATK, sebagai garda terdepan dalam mendeteksi transaksi keuangan mencurigakan, telah merinci beberapa modus yang kerap dilakukan dalam politik uang.

Upaya pencegahan politik uang menjadi perhatian utama dalam persiapan pemilihan umum. Polri, dalam kerjasama dengan PPATK dan lembaga-lembaga terkait, akan membentuk Satuan Tugas Anti Politik Uang untuk mengatasi ancaman ini.

Dalam Forum Diskusi Sentra Penegakan Hukum Terpadu, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, mengungkapkan sejumlah temuan mencurigakan yang terindikasi sebagai praktik politik uang selama pemilihan umum 2019. Langkah-langkah antisipatif telah diambil untuk menghadapi pemilihan umum mendatang.

Salah satu temuan yang mengemuka adalah lonjakan permintaan pertukaran uang pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu selama periode masa tenang, yakni tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Wilayah Jakarta saja mencatat permintaan pertukaran uang mencapai angka fantastis, mencapai Rp113 miliar.

Transaksi-transaksi ini secara detail terekam dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para kontestan pemilu. Ironisnya, catatan transaksi RKDK selama masa kampanye justru mengalami penurunan dibandingkan dengan periode masa tenang. Fenomena ini menunjukkan paradoks bahwa saat kampanye mencapai puncaknya, transaksi keuangan terkait pemilu dalam RKDK malah menunjukkan stabilitas. Muncul dugaan bahwa penggunaan RKDK mungkin sekadar bentuk formalitas untuk mematuhi ketentuan hukum, sementara sumber pendanaan kampanye berasal dari jalur yang tak tercatat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan PPATK dari tahun 2013 hingga 2019, ditemukan bahwa uang hasil kejahatan lingkungan senilai Rp1 triliun mengalir ke dalam partai politik. Ivan juga menyoroti bahwa tak ada satu pun rekening peserta pemilihan umum yang benar-benar bebas dari paparan uang hasil kejahatan, atau setidaknya berpotensi terpapar.

Empat provinsi di Indonesia diidentifikasi sebagai wilayah berisiko tinggi terhadap aliran uang hasil kejahatan dalam rekening dana kampanye, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Modus politik uang lainnya yang diungkapkan oleh Ivan adalah penyaluran dana operasional pemilu melalui rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu. Sumbangan dana kampanye yang berasal dari badan usaha daerah dan pelaku bisnis yang memiliki indikasi terlibat dalam pencucian uang juga menjadi sorotan.

Riset PPATK mencatat bahwa laporan transaksi mencurigakan terkait pemilihan umum tertinggi terjadi di DKI Jakarta, dengan jumlah transaksi mencapai lebih dari Rp540 triliun, diikuti oleh Jawa Timur dengan jumlah lebih dari Rp367 triliun. Secara keseluruhan, total nilai transaksi mencurigakan di 34 provinsi mencapai angka mencengangkan, yaitu Rp1.147 triliun.

Ivan menyampaikan, "Pentilkan contoh saat pembukaan RKDK, transaksinya datar. Ketika masa kampanye tiba, transaksi mulai ramai dengan aliran dana yang signifikan. Puncak transaksi terjadi pada masa minggu tenang. Pertanyaannya, mengapa ada begitu banyak transaksi saat minggu tenang? Apa tujuan dari aliran dana tersebut?"

Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), mengungkapkan perlunya kerangka hukum pemilu yang demokratis untuk memastikan persaingan yang adil dan seimbang. Menurutnya, selama ini, kesenjangan antara realitas dan pelaporan resmi dana kampanye selalu menjadi persoalan saat pemilihan umum.

Titi mengamati bahwa uang semakin memiliki peran dominan dalam setiap pemilihan umum di Indonesia. Batasan sumbangan dana kampanye pun semakin mengambang. Individu dapat menyumbang hingga Rp2,5 miliar, sementara badan hukum swasta maksimum Rp25 miliar.

Tantangan lainnya adalah batas waktu kampanye yang hanya berlangsung selama 75 hari, sementara jumlah calon yang bersaing mencapai sekitar 300 ribu orang. Hal ini berpotensi memunculkan pragmatisme dalam pendekatan kampanye.

“Kemungkinan aktivitas yang meroket tajam selama masa kampanye bisa saja menjadi fenomena yang muncul kembali pada tahun 2024 karena pragmatisme, periode kampanye yang singkat, persaingan yang kompetitif, dan kesulitan masuk parlemen," ungkap Titi.

Berdasarkan data dari Global Corruption Barometer, Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Thailand dan Filipina dalam hal paparan politik uang di antara 17 negara Asia. Satu dari tujuh pemilih pernah menerima tawaran uang sebagai imbalan atas suaranya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menekankan pentingnya pemilihan umum sebagai implementasi utama dalam menjalankan prinsip demokrasi.

"Kita harus mengambil langkah-langkah antisipatif untuk mencegah pelanggaran yang dapat menghancurkan integritas pelaksanaan pemilihan

 umum. Inilah alasan mengapa penegakan hukum secara terpadu sangat diperlukan," tegas Mahfud.

Mahfud mengidentifikasi politik uang sebagai salah satu penyakit pemilihan umum yang harus diantisipasi dari sekarang. Praktik politik uang, yaitu usaha memenangkan kontestasi dengan cara membeli dukungan, memiliki korelasi dengan peningkatan kasus korupsi selama pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Ia menjelaskan, "Pengawalan demokrasi oleh norma hukum adalah hal yang mutlak. Demokrasi mencari pemenang, sementara norma hukum mencari kebenaran." Dengan demikian, langkah-langkah penegakan hukum yang terpadu menjadi kunci dalam menjaga integritas pemilihan umum di masa depan.



Berita Lainnya