Internasional
Praktik Suap di Penerimaan Mahasiswa di AS Terbongkar
Kaltimtoday.co - Survei yang dilakukan oleh kantor berita Associated Press bekerja sama dengan Pusat Riset Opini Nasional (NORC) menyimpulkan bahwa pendapat warga Amerika terbagi rata secara keseluruhan mengenai persepsi mereka terkait penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi.
Pandangan mereka tentang kriteria seleksi mahasiswa mengungkapkan perbedaan antara faktor-faktor yang mereka pandang penting dan faktor-faktor yang menurut mereka dianggap penting oleh perguruan tinggi.
Jajak pendapat itu dilakukan beberapa minggu setelah jaksa federal menuduh 33 orang tua membayar uang suap agar anak-anak mereka diterima di perguruan tinggi atau universitas-universitas elit termasuk Stanford, Yale dan Georgetown.
Dalam beberapa kasus, kata penyelidik, orang tua membayar suap agar anak-anak mereka diterima karena prestasi dalam cabang olah raga tertentu, walaupun sebagian di antara mereka sama sekali tidak memiliki prestasi dalam cabang olah raga bersangkutan.
Karena latar belakang itu, beberapa penasihat perguruan tinggi mengatakan mereka memaklumi adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap proses di antara masyarakat dalam penerimaan mahasiswa.
Hasil penelitian itu menunjukkan hasil beragam: sekitar 4 dari 10 responden mengatakan mereka yakin prosesnya adil, sementara jumlah responden yang sama mengatakan proses itu tidak adil, dan sekitar 25 persen responden netral.
Secara keseluruhan, warga Amerika cenderung berpendapat bahwa nilai sekolah menengah dan nilai tes standar harus menjadi hal penting dalam penerimaan, dan mayoritas setuju bahwa perguruan tinggi menghargai faktor-faktor itu juga.
Demikian pula, banyak yang berpendapat bahwa kegiatan ekstrakurikuler harus berperan dan mereka mengatakan bahwa perguruan tinggi memperhitungkannya dalam penerimaan mahasiswa.
Tetapi pada kriteria lain, ada perbedaan pendapat antara cara pandang warga mengenai penerimaan mahasiswa dan cara bagaimana perguruan tinggi seharusnya beroperasi.
Hampir 4 dari 10 responden, misalnya, mengatakan perguruan tinggi memberikan bobot yang signifikan terhadap apa yang dikenal sebagai “legacy status”, yakni apakah seorang mahasiswa memiliki anggota keluarga yang pernah menempuh studi di perguruan tinggi yang bersangkutan, tetapi hanya11% mengatakan mereka berpendapat itu harus menjadi pertimbangan penting.
Banyak juga responden yang berpendapat universitas seharusnya tidak menganggap penting sumbangan uang keluarga seorang mahasiswa, tetapi hanya sedikit responden yang mengatakan hal itu penting.
Ketika ditanya mengenai kemampuan atletik, sekitar sepertiga responden mengatakan itu harus menjadi faktor penting.
Secara keseluruhan, warga Amerika menunjukkan sedikit dukungan pada pertimbangan ras dalam penerimaan mahasiswa. Hanya 27% yang mengatakan ras dan etnis harus menjadi faktor penting, sementara 40% menganggap unsur itu memang selama ini sudah dianggap penting.
Pendapat demikian mengkhawatirkan para pendukung apa yang disebut sebagai affirmative action,yang mengutamakan penerimaan mahasiswa dari etnis atau ras minoritas, dan yang telah menghadapi banyak gugatan hukum baru-baru ini.
Seorang hakim federal kini mempertimbangkan tuntutan hukum agar Universitas Harvard tidak lagi menggunakan ras dalam keputusan penerimaan mahasiswanya di tengah-tengah tuduhan bahwa universitas itu tidak adil terhadap calon mahasiswa Amerika keturunan Asia.
Pada saat yang sama, pemerintahan Trump telah mempertanyakan penggunaan ras sebagai pertimbangan penerimaan mahasiswa di Harvard dan Yale, dan baru-baru ini memerintahkan fakultas kedokteran di Texas Tech University agar tidak lagi mempertimbangkan latar belakang ras calon mahasiswa.
Namun, jajak pendapat mendapati perbedaan sesuai garis ras. Sekitar 50 persen warga kulit hitam Amerika mengatakan latar belakang ras harus menjadi pertimbangan penting, sementara hanya 22% warga kulit putih Amerika yang berpendapat demikian.
[VOA | TOS]