Headline

Praperadilan Demonstran Tolak Omnibus Law Ditolak

Kaltim Today
17 Desember 2020 20:07
Praperadilan Demonstran Tolak Omnibus Law Ditolak
Putusan peradilan FR dan WJ berlangsung pada Kamis (17/12/2020) di PN Samarinda dan ditolak oleh hakim tunggal. (IST)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Tim Advokasi untuk Demokrasi Kaltim menyampaikan pada awak media bahwa putusan praperadilan 2 mahasiswa yang ditetapkan oleh pihak kepolisian sebagai tersangka saat unjuk rasa menuntut dicabutnya Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Kamis (5/11/2020) di depan DPRD Kaltim digelar.

Putusan praperadilan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Samarinda pada hari ini Kamis (17/12/2020). Polisi menetapkan FR sebagai tersangka karena membawa senjata tajam. Sedangkan WJ karena melempar batu ke arah aparat.

Ditemui usai persidangan, Bernard Marbun selaku kuasa hukum yang menangani kasus FR menyampaikan bahwa jawaban dari kuasa hukum selaku pemohon tak ada sama sekali yang dipertimbangkan. Oleh sebab itu, hakim tunggal pun menolak. Disebutkan Bernard, hakim tetap beracuan pada hukum acara dan Perkap kepolisian.

Sementara, kuasa hukum sudah memiliki semacam pengembangan. Bernard memberi contoh suatu putusan yang pernah ditangani Pengadilan Negeri Surabaya terkait kasus La Nyalla Mattalitti. Kala itu, praperadilannya dikabulkan karena 2 alat bukti tidak disertai dengan pemeriksaan calon tersangka. Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi contoh.

"Harusnya itu menjadi acuan juga oleh hakim yang ada di Samarinda bahwa dalam 2 alat bukti tidak disertai dengan pemeriksaan calon tersangka," beber Bernard.

Kemudian, hal lain yang tidak dipertimbangkan adalah 2 alat bukti yang datang dari keterangan saksi yakni pihak kepolisian sendiri. Padahal, pada 5 November 2020 lalu tak hanya aparat saja yang berada di lokasi.

Masyarakat umum pun turut menyaksikan. Menurut Bernard, seharusnya yang menjadi saksi adalah masyarakat jika memang terjadi tangkap tangan. Hakim pun mestinya mempertimbangkan itu.

"Kalau seperti ini kan sangat rentan. Bisa tidak objektif dan tidak netral. Ini kan hanya anggapan polisi saja yang melihat ada barang jatuh dari tubuh FR. Sementara saat itu banyak orang lain. Apakah orang-orang itu juga melihat?" lanjut Bernard.

Dijelaskan Bernard, bahwa hakim hanya melihat dari bukti-bukti surat yang ada dan surat tersebut dibuat oleh pihak termohon yakni kepolisian. Ditegaskan Bernard, jika mengacu pada surat saja maka ini tidak adil. Seharusnya BAP saksi dan Laporan Polisi (LP) harus dilihat dan dianalisa kembali, apakah sudah relevan dengan situasi saat itu.

"Itu yang melaporkan dan menjadi saksi polisi semua. Ini tidak adil. Tidak objektif dan bisa tidak netral. Seharusnya hakim tunggal melihat itu. Kami benar-benar kecewa. Kalau sebatas karena ada LP dan BAP, untuk apa kami ajukan praperadilan?" ungkapnya lagi.

Terkait pokok perkara, Bernard menyebut pihaknya sudah mengetahui berita acara saksi. Tim Advokasi untuk Demokrasi pun akan rembuk terlebih dahulu. Kemudian akan memaparkan ulang isi dari berita acara saksi. Dari situ, pihaknya akan mencari saksi-saksi yang bisa memperkuat tim kuasa hukum untuk membantah keterangan dari saksi kepolisian.

Sedangkan Indra, kuasa hukum yang menangani kasus WJ juga menyampaikan rasa kecewanya akibat putusan dari hakim. Dalam pertimbangan yang diajukan dan tertuang dalam permohonan praperadilan, Indra menyebut bahwa pihaknya sangat berkeyakinan bahwa ada cacat formil dalam administrasi penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan pemohon.

"Tentunya kami juga sangat menghormati seluruh pertimbangan dan putusan yang dikemukakan hakim. Tadi yang jadi pertimbangan oleh hakim adalah penetapan tersangka memenuhi syarat formil. Kemudian, penangkapan dan penahanan juga dianggap memenuhi syarat formil berdasarkan hukum acara pidana," beber Indra.

Seandainya kemudian argumentasi hukum yang telah disampaikan tim kuasa hukum di dalam permohonan itu dianggap masuk materi pokok perkara, maka selanjutnya Indra dan kawan-kawan akan mengawal sampai persidangan pokok perkara di PN Samarinda. Dia pun mengaku siap menghadapi itu.

"Asli pokok perkara itu kan pemohon atau tersangka itu diduga melakukan tindak pidana penganiayaan saat berada di lokasi unjuk rasa. Pemohon dalam pemeriksaan di penyidikan, itu diperlihatkan video adanya perbuatan yang dilakukan oleh pemohon selaku tersangka," ungkap Indra.

Dalam video tersebut, memang menunjukkan WJ mengambil dan melempar batu. Namun disebutkan Indra, pelemparan itu tidak langsung ditujukan ke arah polisi, melainkan ke mobil water cannon setelah disiram dengan gas air mata.

"Apapun yang terjadi, kami harus mengatakan bahwa tindakan mahasiswa yang melakukan itu merupakan reaksi dan spontanitas ketika disiram gas air mata. Bukan sesuatu yang direncanakan," tandas Indra.

[YMD | TOS]



Berita Lainnya