Nasional

Tekanan Tarif AS Picu PHK Industri Ekspor, Penguatan Ekonomi Domestik Jadi Solusi Wajib

Kaltim Today
21 Mei 2025 15:46
Tekanan Tarif AS Picu PHK Industri Ekspor, Penguatan Ekonomi Domestik Jadi Solusi Wajib
Diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi”.

Kaltimtoday.co - Ketidakpastian ekonomi global kembali memberikan tekanan besar terhadap sektor industri ekspor Indonesia, terutama di wilayah Jawa Barat yang selama ini menjadi pusat manufaktur nasional. Kenaikan tarif perdagangan dari Amerika Serikat terhadap produk impor menjadi pemicu utama krisis ini.

Dalam diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk? Dialog Kritis Mencari Solusi” yang diselenggarakan oleh Suara.com dan CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5), para pakar ekonomi, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan membahas potensi ancaman serta strategi keluar dari tekanan perdagangan global.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menyatakan bahwa tekanan ekonomi global sudah terasa sejak awal 2025. Kota Bandung dipilih sebagai lokasi diskusi karena merupakan salah satu sentra ekspor nasional, khususnya untuk industri tekstil, furnitur, dan alas kaki, yang kini mengalami penurunan tajam.

“Bandung adalah representasi tantangan industri ekspor nasional. Dengan tekanan global seperti ini, solusi lokal perlu menjadi pijakan kebijakan nasional,” ungkapnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Januari 2025, ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD 499,53 juta atau sekitar 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara itu, ekspor dari Kota Bandung ke AS pada Maret 2025 tercatat sebesar USD 7,7 juta.

Namun, di balik angka tersebut, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akibat menurunnya permintaan dan meningkatnya impor, khususnya dari Tiongkok. Kebijakan tarif baru dari AS makin memperburuk situasi, menekan ekspor sekaligus membuka keran impor lebih deras.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., menjelaskan bahwa perang dagang antara AS dan Tiongkok menyebabkan pergeseran besar dalam arus perdagangan global. Ekspor Tiongkok ke Amerika mengalami penurunan 10,5%, sementara ekspor ke ASEAN justru meningkat 19,1%. Akibatnya, pasar Indonesia semakin dibanjiri produk Tiongkok, termasuk yang masuk secara ilegal.

Menurut perhitungan CORE, nilai potensi impor ilegal dari Tiongkok ke Indonesia mencapai USD 4,1 miliar, yang diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 65,4 triliun. Tekanan nilai tukar Rupiah serta perlambatan ekonomi dunia turut memperburuk keadaan.

Sementara itu, Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran menyebut sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki di Jawa Barat sebagai sektor paling terdampak. Beberapa perusahaan bahkan harus menutup operasionalnya akibat kerugian beruntun.

Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, menambahkan bahwa pelaku usaha menghadapi tantangan berlapis. Selain tekanan dari sisi perdagangan internasional, mereka juga dihadapkan pada persoalan internal seperti regulasi tidak sinkron, birokrasi berbelit, dan ketidakpastian hukum.

“Proses perizinan yang dijanjikan selesai dua minggu bisa molor hingga berbulan-bulan. Belum lagi pungutan liar dan aksi premanisme di lapangan yang semakin memperparah biaya logistik,” ujarnya.

Masalah ketenagakerjaan juga menjadi beban tersendiri. Aksi demonstrasi yang berlarut-larut dan ketidakpastian dalam kebijakan upah membuat iklim usaha menjadi tidak kondusif.

“Kami butuh regulasi yang adil dan konsisten. Dunia usaha tidak bisa terus menjadi korban dari eksperimen kebijakan pemerintah,” tegas Ning.

Meski kondisi tertekan, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan. Prof. Rina menyoroti potensi relokasi industri global, termasuk pabrik otomotif, ke Jawa Barat. Dengan kekuatan basis manufaktur yang beragam—otomotif, elektronik, tekstil, plastik, agro-pangan, hingga farmasi—provinsi ini punya modal besar untuk menjadi pusat inovasi industri nasional.

Untuk menanggulangi serbuan impor dan membangun daya saing, strategi peningkatan komponen lokal dan pengendalian arus impor menjadi krusial. Mohammad Faisal menyatakan bahwa pengendalian impor tidak boleh dilihat sebagai proteksionisme semata, melainkan sebagai upaya mempertahankan kedaulatan ekonomi.

Skema Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) disebut efektif mendorong pertumbuhan industri, seperti yang terjadi di sektor elektronik. Antara tahun 2013 hingga 2019, produksi handphone, komputer, dan tablet dalam negeri melonjak dari 0,1 juta menjadi 88,8 juta unit, sedangkan impor turun drastis dari 62 juta ke 4,2 juta unit.

“Skema TKDN harus terus dipertahankan untuk mendorong investasi dan memperkuat struktur industri nasional,” tegas Faisal.

[RWT] 



Berita Lainnya