Daerah

Fatwa MUI Larang Pungutan PBB Berulang, Wali Kota Samarinda Pilih Tunggu Regulasi Pusat

Nindiani Kharimah — Kaltim Today 27 November 2025 16:45
Fatwa MUI Larang Pungutan PBB Berulang, Wali Kota Samarinda Pilih Tunggu Regulasi Pusat
Wali Kota Samarinda, Andi Harun saat dijumpai di Balai Kota. (Nindi/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait larangan pungutan berulang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal memantik perhatian publik. Fatwa tersebut menilai PBB untuk hunian yang ditempati pemiliknya tidak adil dan bertentangan dengan prinsip syariat, karena rumah merupakan kebutuhan primer, bukan aset produktif maupun kebutuhan sekunder atau tersier. Terbitnya fatwa ini juga disebut-sebut menjadi respons atas keresahan masyarakat terkait kenaikan PBB di berbagai daerah.

Di Samarinda, Wali Kota Andi Harun memberikan tanggapan resminya. Menurutnya, pemerintah daerah tidak bisa serta-merta mengambil langkah administratif hanya berdasarkan fatwa, karena seluruh kebijakan harus berlandaskan hukum positif yang berlaku.

“Itu fatwa yang baru kita baca di media sosial. Semua fatwa harus masuk dalam hukum positif. Jadi tentu kita menunggu apakah Kemendagri atau Kemenkeu akan mengkonstruksi aturan perundang-undangan yang menyangkut hal itu,” ujar Andi Harun saat ditemui Kaltim Today Rabu (27/11/2025).

Ia menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem hukum positif yang mengatur mekanisme pelaksanaan kewajiban negara, termasuk pajak dan retribusi. Fatwa, dalam sudut pandang hukum negara, dapat menjadi rujukan, namun tidak otomatis mengikat tindakan administratif pemerintah.

“Contohnya, dalam Undang-Undang Perkawinan, beberapa ketentuannya diadopsi dari hukum agama. Artinya, sumber hukum bisa beragam, termasuk dari agama. Namun tetap harus dilahirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Karena itu, ia menilai bahwa pemerintah daerah harus berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Seluruh perubahan kebijakan pajak harus menunggu arahan dari pemerintah pusat yang memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan aturan pajak dan retribusi.

“Kita tidak boleh gegabah. Keberlakuan hukum terhadap pajak dan retribusi tetap harus diatur berdasarkan hukum positif. Fatwa bisa jadi sumber, tapi tidak bisa berlaku serta-merta,” tegasnya.

Menurut Andi Harun, ruang untuk menjadikan fatwa sebagai rujukan tetap terbuka, tetapi harus dipastikan melalui instrumen hukum formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri. Selama belum ada payung hukum yang jelas, pemerintah daerah akan menjalankan regulasi yang sudah berlaku.

“Semua administrasi pemerintah harus bersumber dari hukum positif, apakah itu undang-undang, PP, atau Peraturan Menteri. Kita tunggu saja. Ini juga menjadi edukasi bagi kita semua bahwa tindakan pemerintah harus didasarkan pada undang-undang,” ujarnya.

Saat ditanya mengenai potensi dampak terhadap pendapatan daerah jika fatwa tersebut kelak diadopsi ke dalam regulasi nasional, Andi Harun menyebut bahwa pihaknya belum sampai pada tahap itu.

“Kita belum sampai ke potensi kehilangan. Untuk sementara, komentar saya: sabar saja,” tutupnya.

[RWT] 



Berita Lainnya