Opini

IKN, Inklusivitas Pembangunan, dan Problem Partisipasi

Kaltim Today
08 September 2024 12:29
IKN, Inklusivitas Pembangunan, dan Problem Partisipasi
Penulis, Muhammad Rasyid Ridho.

Oleh: Muhammad Rasyid Ridho (Peserta Latsar CPNS Angkatan 2 Puslatbang KDOD LAN RI Samarinda 2024, Dosen Hubungan Internasional Universitas Mulawarman)

SEJAK Presiden mengesahkan UU No. 3 Tahun 2022 pada 15 Februari 2022, wacana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) semakin menyeruak. Berlokasi di Kalimantan Timur, khususnya Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, kendaraan sudah mulai wara-wiri di wilayah Sepaku dan sekitarnya. Pembangunan IKN di Kalimantan Timur didasarkan pada beberapa alasan, antara lain sudah tidak layaknya Jakarta sebagai ibu kota karena alasan keamanan geologis, ketersediaan sumber air, letak geografis yang lebih merepresentasikan Indonesia, serta adanya dua kota penyangga, yaitu Samarinda dan Balikpapan (Bappenas, 2021).

Harapan dari pembangunan IKN adalah pembagian "kue ekonomi" secara merata di luar Pulau Jawa, dengan mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan arus perdagangan, menjadikan IKN sebagai titik koneksi. Seolah "menggandakan Jakarta" di Kalimantan Timur, namun pertanyaannya, apakah alasan tersebut cukup valid dan pelaksanaannya mampu mencapai apa yang dicita-citakan? Semakin lama, resistensi dari berbagai kalangan masyarakat semakin muncul karena pembangunan ini menimbulkan berbagai masalah yang dirasakan oleh masyarakat akar rumput.

Masalah eksklusi menjadi dampak yang tidak dapat dihindari. Pasalnya, setiap pembangunan di lokasi baru pasti akan berdampak pada masyarakat setempat. Beberapa ulasan sudah mengarah pada persoalan akar rumput dan respons dari berbagai pemangku kepentingan. Misalnya, potensi gentrifikasi di wilayah sekitar IKN (Aini, 2023). Pengesampingan masyarakat adat dan isu lingkungan juga diangkat oleh Kalalinggi et al. (2024), yang menyebutkan permasalahan pendanaan proyek dan alih kepemilikan sumber daya di IKN oleh para pendatang baru. Permasalahan ini ditengarai menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kepercayaan publik (public trust) terhadap proyek IKN (Rifaid et al., 2023).

Selain itu, masalah hak atas tanah menjadi isu krusial yang dibahas, karena belum ada peraturan komprehensif terkait kompensasi tanah bagi pemilik lahan dan risiko land freezing, di mana tanah digunakan untuk “kepentingan bersama” (Nurahmani & Sihombing, 2022). Konflik agraria juga sering dihadapi oleh masyarakat setempat, khususnya Suku Balik di wilayah sekitar IKN. Pengajuan sertifikasi tanah adat dari Suku Balik sering kali ditolak dan dikategorikan sebagai milik pemerintah, sementara perusahaan menggunakan situasi ini untuk memperkuat posisi mereka (Hidayat, 2023). Perlindungan hak masyarakat adat menjadi semakin penting, mengingat minimnya informasi, keterlibatan, kompensasi, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang sistematis antara masyarakat adat dan pihak terkait di IKN (Aulia, Putro, & Mufidah, 2023).

Suku Balik, penduduk asli yang menempati wilayah sekitar IKN, seperti Desa Bumi Harapan, Pemaluan, dan Sepaku, adalah kelompok etnik yang unik dan belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Eksistensi mereka baru terangkat setelah proyek IKN dimulai. Jika mereka tereksklusi dari proses pembangunan, kemungkinan besar Suku Balik akan mengalami nasib serupa dengan orang Betawi di Jakarta, yakni termarjinalkan di tanah mereka sendiri.

Partisipasi Masyarakat sebagai Ruh Pembangunan Berbasis Pancasila

Dalam diskursus pembangunan kita, sudahkah pemerintah melibatkan napas Pancasila dan bela negara pada setiap langkahnya? Sebagai wujud dari implementasi Pancasila, pembangunan seharusnya merefleksikan unsur keadilan dan partisipasi, sebagaimana tercermin dalam sila ke-2 dan ke-4 Pancasila, demi keberlanjutan program pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat. Ketika proses pembangunan tidak inklusif, beberapa aktor dari tingkat daerah menyuarakan protes. LBH Samarinda, JATAM Kaltim, WALHI Kaltim, dan 13 komunitas dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur telah menyuarakan penolakan terhadap pembangunan ini (Sumedi, 2024; Satriani et al., 2023).

Kurangnya partisipasi juga terlihat dari minimnya sosialisasi yang diterima oleh berbagai komunitas, bahkan pemerintah lokal setempat tidak memahami keuntungan dari adanya IKN (Satriani et al., 2023).

Pemerintah memang mencoba membuka ruang partisipasi masyarakat melalui respons terhadap RUU Perubahan atas UU 3/2022 tentang IKN, terutama dalam hal Perlindungan Masyarakat. Beberapa masukan memang diterima oleh pihak otorita dan substansinya sudah tepat. Namun, acara seperti ini sering kali bersifat elitis dan jauh dari realitas di lapangan. Pemerintah perlu menjemput bola dari bawah, dengan melakukan survei langsung di masyarakat untuk mendapatkan gambaran nyata dari permasalahan selama pembangunan IKN. Lambatnya tindakan proaktif pemerintah terlihat dari protes masyarakat dan sorotan media mengenai ketidakmampuan pemerintah memberikan ganti rugi yang layak bagi masyarakat setempat (Pratama, 2022).

Jalan alternatif yang bisa ditempuh oleh masyarakat adalah terus mengawasi dengan berkolaborasi dengan berbagai aktor. Masyarakat terdampak, bersama organisasi sipil dan akademisi, perlu lebih solider dalam menyuarakan isu-isu yang dihadapi masyarakat akar rumput. Aliansi berbagai unsur ini harus dijaga, karena isu yang dihadapi sangat besar. Perlu juga mengawal pembuatan pasal dalam UU IKN yang benar-benar menjamin hak tanah, ekonomi, dan sosial budaya bagi masyarakat asli di wilayah IKN. Harapannya, ada affirmative action yang terejawantahkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam proses pembangunan maupun setelah berdirinya IKN di berbagai aspek.

Pada akhirnya, partisipasi semua pihak secara seimbang merupakan upaya konsolidasi dalam negeri untuk bela negara. Membela negara bukan hanya terbatas pada ancaman dari luar negeri, tetapi juga mencakup pembelaan terhadap rakyat sebagai unsur utama pembentuk negara. Partisipasi dalam mengawasi adalah manifestasi dari kesadaran berbangsa dan bernegara serta pengorbanan demi bangsa dan negara. Semua ini akan bermuara pada prinsip keenam bela negara, yaitu semangat untuk mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur (Sarini, 2024). (*)

Referensi:
 
Aini, N. (2023). Mobilitas dan Politikal Ekologi Gentrifikasi di Ibukota Negara (IKN) Nusantara. Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi (PKNS), 1(1), 77-79.
 
Aulia, D. R., Putro, H., & Mufidah, L. D. (2023). Masalah Perlindungan Hak Masyarakat Adat Terhadap Pembangunan IKN. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(2), 2299-3010.
 
Bappenas (2021) Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara. Jakarta: Bappenas. https://ikn.go.id/storage/buku-saku-ikn-072121.pdf.
 
Hidayat, R. (2023). Konflik Agraria Masyarakat Adat dalam Pemindahan Ibu Kota Negara. Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi (PKNS), 1(1), 140-151.
 
Kalalinggi, R., Hisdar, M., Sarmiasih, M., & Wijaya, A. K. (2023). Forecasting the development of IKN (new national capital) in sustainable development, Indonesia. Journal of Governance and Public Policy, 10(1), 48-59.
 
Nurahmani, A., & Sihombing, P. (2022). Kajian Kebijakan Pembatasan Pengalihan Hak Atas Tanah di Ibu Kota Nusantara. Majalah Hukum Nasional, 52(1), 27-46.
 
Pratama, S. I. (2022) Masyarakat Adat di IKN Masih Was Was Dengan Status Tanah Mereka. Betahita. https://betahita.id/News/Lipsus/7826/Masyarakat-Adat-Di-Ikn-Masih-Was-Was-Dengan-Status-Tanah-Mereka.Html%3FV%3D1659356066
 
Rifaid, R., Rachman, M. T., Baharuddin, T., & Gohwong, S. (2023). Public trust: Indonesian policy in developing a new capital city (IKN). Journal of Governance and Public Policy, 10(3), 263-273.
 
Sarini (2024) Arti Bela Negara. RRI. https://www.rri.co.id/index.php/lain-lain/573729/arti-bela-negara
 
Sumedi, D.P. (2024) Civil Coalition in East Kalimantan Rejects Land Grabs for IKN Project. Tempo. https://en.tempo.co/read/1844490/civil-coalition-in-east-kalimantan-rejects-land-grabs-for-ikn-project
 
Sumber non-online:

Satriani, S., Adaba, P. Y., & Syafi’i, I. (2023). The Transfer of the National Capital (IKN): The Domination of the Capitalist Political Economy and the Dynamics of Local Representation. Dalam J. M. Lau, A. N. Alami, S. D. Negara, & Y. Nugroho, Road to Nusantara: Process, Challenges and Opportunities (hal. 125-149). Singapore: ISEAS.


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi  kaltimtoday.co



Berita Lainnya