Daerah
Kementerian ESDM Hentikan Sementara 190 Tambang Batu Bara, Jatam Kaltim: Hanya Drama Birokrasi, Rakyat Tetap Jadi Korban

Kaltimtoday.co, Samarinda - Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghentikan sementara 36 perusahaan dari 190 perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur dinilai belum menyentuh akar persoalan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bahkan dengan tegas menyebut kebijakan itu sebatas “ritual administratif” dan sekadar drama birokrasi yang tidak memberi keadilan bagi rakyat.
“Penghentian sementara seolah-olah memberi pesan bahwa pemerintah tegas. Padahal, mayoritas perusahaan tambang di Kalimantan Timur beroperasi dengan model bisnis yang sama, ekspor batu bara, raup untung, tinggalkan lubang,” tegas Jatam Kaltim dalam keterangan tertulisnya yang diterima media ini, Selasa (23/9/2025).
Menurut Jatam, praktik sanksi di dunia pertambangan sering kali hanya menjadi pintu tawar-menawar antara pemerintah dan perusahaan. Alih-alih memberi efek jera, sanksi justru berujung pada penyelesaian administratif atau pembayaran denda yang tak sebanding dengan kerusakan ekologis.
Kasus yang menjerat CV Arjuna, menurut Jatam, merupakan contoh nyata penyimpangan. Perusahaan itu bermasalah dalam penyetoran dana jaminan reklamasi (jamrek) dan terindikasi melibatkan pejabat dalam praktik rente.
“CV Arjuna hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, puluhan bahkan ratusan perusahaan bermain dalam lingkaran yang sama: setoran, pembiaran, dan kolusi,” ungkap Jatam.

Selain kerusakan lingkungan, Jatam menyoroti persoalan korban jiwa akibat lubang tambang yang tidak direklamasi. Sejak 2011 hingga 2025, tercatat 49 korban meninggal dunia. Namun hanya satu kasus yang pernah diproses hukum, itu pun dengan vonis yang dianggap tidak adil. Putusan dua bulan kurungan dan denda seribu rupiah dinilai sangat melukai dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Secara tegas Jatam menyebut bahwa penghentian sementara ini tidak lebih dari sandiwara belaka.
“Bagi kami, penghentian sementara hanyalah drama birokrasi. Tanpa keterbukaan data, tanpa proses hukum pidana, tanpa pemulihan wilayah, dan tanpa jaminan perlindungan masyarakat, langkah ini tidak lebih dari transaksi kotor di balik meja kekuasaan,” tegas mereka.
Berdasarkan berbagai persoalan ini, Jatam mengajukan empat tuntutan penting. Mereka menegaskan penghentian sementara tidak akan berarti tanpa langkah nyata. Adapun keempat tuntutan itu di antaranya:
1. Reklamasi dan revegetasi nyata, bukan administrasi. Seluruh perusahaan wajib menutup lubang tambang sesuai standar keselamatan serta memulihkan vegetasi dengan spesies asli.
2. Transparansi dan akuntabilitas dana jamrek. Pemerintah harus membuka besaran dana yang disetor, lokasi penyimpanan, serta penggunaannya, termasuk melakukan audit independen.
3. Pertanggungjawaban atas 49 korban jiwa. Perusahaan harus dipaksa bertanggung jawab secara pidana maupun perdata, serta menutup lubang-lubang yang telah menelan korban.
4. Keterlibatan masyarakat dalam pemulihan. Warga terdampak harus dilibatkan sejak perencanaan hingga pengawasan agar pemulihan benar-benar berpihak pada rakyat.
[RWT]
Related Posts
- Belanda Pesta Gol 4-0 ke Gawang Finlandia di Kualifikasi Piala Dunia 2026
- Internet Indonesia Jadi yang Termahal di ASEAN, tapi Paling Lambat Kedua
- Kantor Lurah Maluhu Baru Capai 80 Persen, Ditarget Rampung November 2025
- Kantor Baru Kelurahan Maluhu Tampilkan Nuansa Budaya Jawa dan Pelayanan Modern
- Nelayan Sebulu Didorong Go Digital, Pemasaran Ikan Kini Bisa Jangkau Pasar Luar Daerah