Opini
Kemerosotan Demokrasi Berujung kepada Kematian?
Oleh: Muhammad Adi Jambia (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)
Kemerosotan demokrasi ditandai oleh polarisasi politik yang meningkat, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik. Selain itu, munculnya gerakan otoritarianisme, pembajakan lembaga-lembaga demokrasi, dan upaya untuk membatasi kebebasan sipil serta hak asasi manusia juga menjadi ancaman signifikan terhadap kemerosotan demokrasi.
Dalam negara demokrasi, kebebasan sipil sangat penting karena masyarakat sipil yang kuat merupakan salah satu pilar demokrasi. Sudah 25 tahun Indonesia lepas dari rezim otoriter Orde Baru dan memasuki era reformasi dengan harapan ruang kebebasan sipil terbuka luas. Namun, kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat semakin tidak terjamin. Laporan Economist Intelligence Unit menyoroti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang cacat dan masih menghadapi permasalahan fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Demagog Demokrasi
Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya, "How Democracies Die," salah satu penyebab matinya demokrasi adalah melalui pemimpin terpilih yang membajak proses demokrasi dengan membawa mereka kepada kekuasaan. Matinya demokrasi dapat terjadi melalui pemimpin terpilih yang menggerus demokrasi secara perlahan dalam langkah-langkah yang nyaris tak kasat mata.
Krisis politik yang makin meruncing telah menghantam Indonesia dengan kekuatan penuh. Pertarungan kepentingan politik di tingkat elite makin mengaburkan visi dan misi pembangunan yang seharusnya bertumpu pada kesejahteraan rakyat. Korupsi, nepotisme, dan kolusi makin merajalela, membentuk lanskap politik yang dipenuhi oleh kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Meningkatnya polarisasi politik telah memecah-belah masyarakat, mengaburkan suasana politik, dan melemahkan fondasi demokrasi.
Munculnya gerakan otoritarianisme menjadi bayangan yang mencekam bagi masa depan demokrasi Indonesia. Upaya untuk membatasi kebebasan sipil, meredam kritik terhadap pemerintah, dan mengontrol media menunjukkan bahwa ruang demokrasi makin menyempit. Penyempitan ruang demokrasi ini juga terlihat dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembatasan kebebasan sipil dan tekanan terhadap aktivis hak asasi manusia, menjadi bukti bahwa otoritarianisme makin memperkuat dominasinya di tengah masyarakat.
Kebebasan Sipil Terancam
Kebebasan sipil sering mendapat kecaman dari berbagai pihak dengan beragam pola seperti kriminalisasi, penembakan, teror, pelarangan, intimidasi, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembubaran paksa. Aksi di ruang publik sering mendapat respons negatif dari kepolisian dengan mengerahkan aparat yang cenderung eksesif, sehingga menimbulkan kekerasan terhadap aksi di ruang publik. Penangkapan terhadap massa aksi dilakukan secara sewenang-wenang dengan dalih 'keamanan,' padahal dalam KUHAP tidak ada tindakan pengamanan melainkan penangkapan. Dengan kekerasan yang dilakukan, hampir tidak ada proses hukum yang ditujukan kepada aparat. Kalaupun diusut dan dihukum, cenderung mendapatkan hukuman ringan, bahkan peradilannya bersifat formalitas.
Buyarnya Reformasi
Reformasi yang diharapkan masyarakat dengan adanya keamanan oleh pemerintah, justru di era Kepemimpinan Jokowi-Ma'aruf seperti melahirkan kembali militerisme era Soeharto. Setiap penyelesaian masalah oleh aparat keamanan melalui pendekatan keamanan justru membuat masyarakat tidak merasa aman. Alat negara yang seharusnya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, seolah menjadikan masyarakat sebagai musuh yang harus dibasmi.
Menurut Herdiansyah Hamzah, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, terdapat beberapa penilaian demokrasi di suatu negara, di antaranya kebebasan sipil, pemilihan umum, kedaulatan rakyat, dan permasalahan ekonomi. Memburuknya kebebasan-kebebasan ini serta menggelembungnya kuasa eksekutif untuk membungkam kritik dan menekan oposisi dengan cara-cara otoriter menjadi masalah utama. Rentetan peristiwa mulai dari pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, peretasan, doxing, hacking, intimidasi, hingga cyber torture yang angkanya tak kunjung menurun dan bahkan dinormalisasi (KontraS, 2022).
Kondisi Demokrasi Menjelang Pemilu 2024
Menjelang Pemilihan Umum 2024, tindakan sejumlah penyelenggara negara menyimpang dari prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Seorang demagog yang memperlihatkan ketidaknetralannya dengan memberikan pernyataan yang melanggar etika serta amanah UUD NRI 1945 tentang pemilu yang dilaksanakan secara Luber-Jurdil, menunjukkan bahwa ia memiliki kepentingan untuk dirinya atau kelompok tertentu dalam Pemilu 2024.
Laporan diskusi panel harian Kompas bersama Asia Research Center Universitas Indonesia pada 17 November 2023 lalu menyebutkan bahwa praktik demokrasi belum dapat diandalkan dalam mengatasi ketimpangan sosial ekonomi. Ruang demokrasi sesungguhnya tidak dalam kendali rakyat. Bahkan, laporan tersebut menyebut, "Pemilihan umum cenderung digunakan untuk menguasai alat kebijakan publik agar bisa mempertahankan akses dan menguasai sumber daya demi kepentingan mereka."
Salah satu tanda bahwa kedaulatan rakyat mengalami tindakan (politik) koruptif adalah semakin tampaknya abuse of power. Kepercayaan masyarakat telah digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Arena publik telah digunakan untuk kepentingan privat, dan tanggapan publik diabaikan, sehingga kepercayaan publik pada institusi demokrasi, termasuk pemilu, menurun drastis. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Tingkatkan Kualitas Riset, BRIDA Kaltim Gencar Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi dan Perusahaan Luar Negeri
- Pj Gubernur Kaltim Soroti Penanganan Kasus Muara Kate, Akan Bangun Komunikasi dengan Polda dan 48 Inspektur Tambang
- Pj Gubernur Kaltim Umumkan Kenaikan UMSK 2025 di 7 Kabupaten/Kota, Kota Bontang Catat Upah Sektoral Tertinggi
- Sudah 30 Hari Kasus Muara Kate Tanpa Kejelasan, Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Desak Pj Gubernur Kaltim Bertindak
- Dengar Aspirasi Petani Kaltim, Sarifah Suraidah Janji Perjuangkan Stabilitas Harga Pupuk