Daerah
Kendaraan Lampaui Jumlah Penduduk Samarinda, Ketua MTI Kaltim: BRT hingga Integrasi Angkot Solusinya

Kaltimtoday.co, Samarinda - Samarinda kian terhimpit oleh masalah kemacetan yang makin parah. Kota yang kini menjadi pusat aktivitas di Kaltim itu dihadapkan pada ironi: jumlah kendaraan pribadi yang melonjak bahkan melampaui jumlah penduduk.
Data BPS Kota Samarinda tahun 2025 mencatat jumlah penduduk sebanyak 865.310 jiwa. Sementara itu, Kapolda Kaltim pada 2024 merilis data bahwa kendaraan bermotor di kota ini mencapai 1.163.112 unit, dengan sepeda motor mendominasi hingga 993.227 unit.
Akademisi sekaligus Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Kaltim, Tiopan Henry Gultom, menilai kondisi ini sudah masuk fase darurat dan transportasi massal bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
“Kalau melihat kondisi Samarinda, untuk jangka pendek moda transportasi yang paling memungkinkan diterapkan adalah Bus Rapid Transit (BRT). Biayanya rendah per kilometer, cepat diaplikasikan, fleksibel, dan jumlah armadanya bisa ditambah sesuai kebutuhan,” ungkap Tiopan, yang juga akademisi Fakultas Teknik Unmul kepada Kaltim Today.
Menurutnya, BRT mampu menjawab kebutuhan warga dengan mobilitas tinggi, sekaligus menjadi solusi yang adaptif terhadap permintaan. Ia menegaskan bahwa moda transportasi lain, seperti angkutan sungai, memang menarik, tetapi prosesnya akan jauh lebih panjang. Mulai dari perbaikan jembatan, normalisasi sungai, hingga penyediaan halte, sehingga tidak bisa segera diwujudkan.
Tiopan menekankan, kehadiran BRT tidak harus mematikan eksistensi angkutan kota (angkot). Sebaliknya, angkot dapat berfungsi sebagai feeder atau pengumpul penumpang menuju halte-halte BRT. Ia mencontohkan kawasan Bengkuring dan PM Noor yang padat penduduk, namun minim akses transportasi umum.
“Kalau angkot difungsikan sebagai feeder di daerah seperti Bengkuring, Griya Mukti, hingga Sempaja Lestari, maka mereka bisa mengantar penumpang ke halte-halte BRT. Jadi macet juga bisa berkurang,” jelasnya.
Kunci keberhasilan sistem ini, kata Tiopan, adalah integrasi. Integrasi yang dimaksud bukan hanya soal rute, tetapi juga tarif. “Jangan sampai orang harus bayar dua kali, naik angkot bayar, lalu naik BRT bayar lagi. Harus ada integrasi sistem dan tarif. Kalau satu kali bayar sudah bisa pakai angkot dan BRT, itu akan jauh lebih murah daripada biaya orang naik motor,” ujarnya.
Tiopan optimistis demand transportasi massal akan mencukupi. Ia menilai mahasiswa dan pekerja adalah segmen potensial. “Kalau mahasiswa rata-rata mengeluarkan Rp10 ribu sehari untuk transportasi, lalu kita bikin tarif terintegrasi Rp9 ribu pulang-pergi, itu masuk akal. Saya yakin akan banyak perubahan perilaku masyarakat untuk beralih ke transportasi umum,” tambahnya.
Dengan jumlah kendaraan yang bahkan melebihi populasi penduduk, Tiopan menegaskan Samarinda sudah sangat mendesak memiliki transportasi massal. “Jumlah kendaraan kita lebih banyak daripada jumlah penduduk. Itu sebabnya macetnya luar biasa. Jadi transportasi massal adalah solusi yang tidak bisa ditunda lagi,” tegasnya.
Dalam kondisi ini, BRT yang terintegrasi dengan angkot dinilai sebagai langkah paling realistis untuk segera diwujudkan. Bukan hanya untuk mengurai kemacetan, tetapi juga untuk memberikan alternatif transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi warga Samarinda.
[NKH | RWT]
Related Posts
- Kasus Cek Kosong Irma Suryani Masih Berjalan, Pemeriksaan Konfrontir Sudah Dilakukan Polda Kaltim
- Larangan Pelajar Bawa Kendaraan, Sekolah Dorong Pemerintah Hadirkan Transportasi Massal di Samarinda
- Kebakaran Hunian Pekerja IKN Tower 14, Penyebab Masih Diselidiki
- TRC PPA Kaltim Kawal Kasus Eksploitasi Anak, Korban Jalani Perawatan Psikologis Intensif
- Modus Janji Palsu hingga Penipuan, UPTD DKP3A Kaltim Tangani 6 Kasus TPPO di 2025