Kaltim

Kita Harus Belajar dari Kasus Puluhan Tenaga Medis yang Terpaksa Diisolasi

Kaltim Today
29 April 2020 12:35
Kita Harus Belajar dari Kasus Puluhan Tenaga Medis yang Terpaksa Diisolasi
Petugas RSUD AW Sjahranie saat membawa pasien Covid-19. (Ilustrasi)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Pelaksana Tugas (Plt) RSUD AW Sjahranie dr David Masjhoer mengungkapkan, ada puluhan tenaga medisnya yang terpaksa diistirahatkan. Kebijakan itu diambil setelah tenaga medis tersebut melakukan kontak erat dengan pasien yang setelah dilakukan rapid test hasilnya reaktif.

"Sudah ada beberapa kali kecolongan pasien masuk ketika dilakukan rapid test hasilnya reaktif. Terpaksa beberapa petugas harus diistirahatkan," ucap dr David Masjhoer kepada awak media saat menggelar konferensi pers, Selasa (28/4/2020) siang.

Salah satu contoh kasus kecolongan itu, seperti pasien biasa yang datang dari Kota Bontang. Dia masuk ke RSUD AWS di Samarinda untuk menjalani operasi. Setelah dilakukan operasi baru didapat info yang bersangkutan hasil rapid test-nya reaktif.

"Kita enggak pernah berpikir bahwa pasien tersebut ternyata OTG (Orang Tanpa Gejala) Covid-19,” terangnya.

Total petugas medis diistirahatkan sampai saat ini, sebut dia, sudah mencapai lebih dari 50-an orang. Mereka akan kembali bekerja setelah hasil tes-nya negatif. Itu perlu waktu sekitar satu minggu.

"Nah kalau reaktif dan harus dilakukan isolasi siapa yang menangani pasien? Nah ini yang kami khawatirkan, nanti pasien-pasien bukan Covid-19 yg malah jadi korban, misal pasien gagal ginjal, hepatitis, maupun yang mau melahirkan. Bisa terbengkalai mereka," tutur dia.

Dia sangat berharap masyarakat bisa disiplin menerapkan jaga jarak, menjaga kebersihan diri, dan menggunakan masker demi mencegah penularan Covid-19 yang semakin meluas dan berdampak pada transmisi lokal di Kaltim, khususnya Samarinda.

Pasalnya, saat ini, di Samarinda sudah mulai memasuki puncak wabah. Dukungan dari masyarakat untuk betul-betul menerapkan anjuran pemerintah sangat membantu tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melawan Covid-19.

"Kalau tidak perlu sekali, tidak usah keluar rumah. Saya lihat sekarang jelang berbuka masih ramai di jalanan," keluhnya.

Selain itu, dia juga berharap, masyarakat dapat mendukung upaya percepatan penanggulangan Covid-19 untuk tidak memberikan stigma kepada mereka yang terinfeksi. Sebab, stigma dapat berdampak buruk kepada psikologis pasien. Itu juga dapat memicu ketakutan mereka untuk enggan mengakui jika berstatus ODP, OTG, maupun PDP.

"Sebaiknya masyarakat yang terinfeksi Covid-19 jangan dijauhi, jaga jarak ia, tapi jangan di-bully, itu cenderung membuat pasien berbohong, mereka jadi ketakutan," pungkasnya.

Kasus puluhan tenaga medis terpaksa diistirahatkan maupun diisolasi juga terjadi di Bontang. Beberapa waktu lalu, ada 35 orang tenaga medis yang menjalani rapid test dengan hasil reaktif. Temuan di Bontang ini dipicu, banyaknya warga yang enggan jujur baru datang dari zona merah Covid-19. Sehingga ditangani seperti pasien biasa.

MENCEGAH STIGMA

Kasus di atas mestinya jadi pelajaran berharga. Tak bisa dipungkiri di tengah pandemi Covid-19 saat ini juga muncul stigma sosial di tengah masyarakat. Stigma sosial ini bisa memperparah situasi. Bisa memicu warga berboohong. Tidak mengaku baru datang dari zona merah Covid-19. Akibatnya tenaga medis yang jadi garda terdepan melawan Covid-19 justru terinfeksi.

Kenapa stigma sosial di tengah pandemi Covid-19 berpotensi memperparah situasi? Karena mereka yang mendapati stigma sosial atau asosiasi negatif diberikan label, stereotip, didiskriminasi, diperlakukan berbeda, dan/atau mengalami pelecehan status karena terasosiasi dengan sebuah penyakit.

Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang pandemi Covid-19. Terlebih manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “kelompok yang berbeda/lain”. Inilah yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap etnis tertentu, kelompok, dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus ini.

Perasaan bingung, cemas, dan takut yang kita rasakan dapat dipahami, tapi bukan berarti kita boleh berprasangka buruk pada penderita, perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tapi memiliki gejala yang mirip dengan Covid-19. Jika terus terpelihara di masyarakat, stigma sosial dapat membuat orang-orang menyembunyikan sakitnya supaya tidak didiskriminasi, mencegah mereka mencari bantuan kesehatan dengan segera, dan membuat mereka tidak menjalankan perilaku hidup yang sehat.

Daripada menunjukkan stigma sosial, alangkah lebih bijak jika kita berkontribusi secara sosial, yaitu dengan: membangun rasa percaya pada layanan dan saran kesehatan yang bisa diandalkan; menunjukkan empati terhadap mereka yang terdampak; memahami wabah itu sendiri; dan melakukan upaya yang praktis dan efektif sehingga orang bisa menjaga keselamatan diri dan orang yang mereka cintai.

[TOS]



Berita Lainnya