Opini

Kutukan Presiden Minoritas: Keterpaksaan Merangkul Partai yang Kalah dalam Pemilu

Kaltim Today
04 Juli 2024 09:01
Kutukan Presiden Minoritas: Keterpaksaan Merangkul Partai yang Kalah dalam Pemilu
Muh. Alfian, MPA (Pengamat Politik dan Kebijakan Publik). (Istimewa)

Oleh: Muh. Alfian, MPA (Pengamat Politik dan Kebijakan Publik)

Fenomena politik di Indonesia pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kembali menyoroti sebuah isu klasik yang sering dihadapi oleh para pemimpin terpilih dengan basis dukungan yang tidak mayoritas. Isu ini dikenal dengan sebutan "kutukan presiden minoritas". Presiden minoritas adalah fenomena di mana presiden terpilih tidak memiliki mayoritas dukungan di parlemen. Hal ini seringkali terjadi di negara-negara dengan sistem multipartai, seperti Indonesia, di mana suara terbagi di antara banyak partai politik. Kondisi ini memaksa presiden untuk membentuk koalisi dengan partai-partai yang kalah guna mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan dinamika politik yang kompleks di Indonesia, tetapi juga menimbulkan kontroversi dan perdebatan di kalangan masyarakat serta pengamat politik.

Dalam Pilpres 2024, kandidat presiden dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, berhasil memenangkan suara terbanyak dengan perolehan 58,59% suara. Pasangan Prabowo-Gibran mengungguli pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang memperoleh 24,59% suara, serta pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang memperoleh 16,47% suara. Meskipun kemenangan ini signifikan, jumlah tersebut tidak mencapai mayoritas absolut di parlemen, memaksa presiden terpilih untuk mencari dukungan dari partai-partai lain untuk membentuk koalisi pemerintahan.

Pasca Pemilu 2024, presiden terpilih harus menghadapi realitas ini. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak ada partai yang berhasil mendapatkan mayoritas mutlak di parlemen. Bahkan partai pengusung presiden terpilih hanya mendapatkan sekitar 30% kursi DPR, jauh dari mayoritas yang dibutuhkan untuk memerintah secara efektif.

Fenomena ini bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Sejak era reformasi, beberapa presiden terpilih juga menghadapi situasi serupa. Misalnya, pada Pilpres 2004 dan 2014, presiden terpilih juga harus merangkul partai-partai lawan untuk memastikan dukungan di parlemen. Tantangan utama dalam situasi ini adalah memastikan bahwa koalisi yang dibentuk dapat bekerja secara efektif dan harmonis tanpa adanya friksi yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.

Kontroversi terkait "kutukan presiden minoritas" sering kali muncul dari ketidakpuasan publik terhadap kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan oleh presiden terpilih. Pada Pilpres 2024, isu ini menjadi sorotan ketika presiden terpilih Prabowo Subianto mengajak partai-partai rival untuk bergabung dalam kabinet. Langkah ini memicu kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa presiden terpaksa mengakomodasi kepentingan partai-partai tersebut, yang sebelumnya menjadi rival politiknya, demi memastikan stabilitas pemerintahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pemerintahan dalam menjalankan program-program yang dijanjikan saat kampanye, karena harus menyesuaikan dengan kepentingan partai-partai koalisi.

Selain itu, fenomena ini juga mempengaruhi proses legislasi di parlemen. Dengan koalisi yang terbentuk dari partai-partai yang sebelumnya berseberangan, proses pengesahan undang-undang sering kali menjadi lambat dan penuh negosiasi. Hal ini terlihat dari penundaan pengesahan beberapa undang-undang penting pasca Pilpres 2024. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang mengharapkan perubahan dan reformasi cepat dari pemerintahan baru.

Dinamika Politik dan Tantangan Masa Depan 

Kutukan presiden minoritas tidak hanya menyoroti dinamika politik pasca pemilu, tetapi juga memunculkan tantangan-tantangan baru bagi stabilitas politik dan keberlanjutan kebijakan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana presiden terpilih dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan partai koalisi dan kepentingan publik. Dalam konteks ini, kemampuan diplomasi dan negosiasi presiden sangat diuji.

Hal tersebut juga akhirnya merujuk pada perlunya reformasi sistem pemilu dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Perlunya perubahan dalam sistem pemilu untuk memastikan bahwa presiden terpilih memiliki dukungan mayoritas absolut, sehingga tidak perlu membentuk koalisi yang terlalu besar dan beragam. Selain itu, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembentukan kabinet dan legislasi juga menjadi agenda penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Fenomena presiden minoritas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Misalnya, di Spanyol, Perdana Menteri Pedro Sánchez dari Partai Sosialis Pekerja Spanyol (PSOE) harus membentuk koalisi dengan partai-partai kecil untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Demikian juga di Italia, Perdana Menteri Giuseppe Conte pada periode 2019-2021 memimpin koalisi yang terdiri dari berbagai partai dengan ideologi yang berbeda-beda.

Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa pembentukan koalisi pemerintahan dari partai-partai yang berbeda dapat berjalan sukses dengan syarat adanya komunikasi yang baik, komitmen untuk bekerja sama, dan kesepakatan yang jelas mengenai program-program prioritas. Namun, risiko terjadinya konflik internal dan kebuntuan dalam pengambilan keputusan tetap menjadi tantangan utama yang harus dihadapi.

Secara normatif yang sebaiknya dilakukan oleh presiden terpilih untuk tidak terjebak pada konsekuensi buruk dan transaksional dari kutukan presiden minoritas melibatkan beberapa aspek penting. Pertama, presiden terpilih harus memperkuat komunikasi dan diplomasi dengan partai-partai koalisi. Langkah ini penting untuk memastikan adanya kesepakatan yang solid dan menghindari konflik internal yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Membangun tim komunikasi politik yang kuat juga menjadi kunci dalam menjembatani perbedaan antar partai koalisi.

Selain itu, kebijakan yang disusun harus inklusif dan transparan, memperhitungkan kepentingan semua partai koalisi serta masyarakat luas. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian kursi kabinet sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan publik. Dalam konteks ini, koalisi yang dibentuk harus didasarkan pada kesamaan program dan visi, bukan sekadar pembagian kekuasaan. Presiden terpilih harus menetapkan prioritas program yang jelas dan realistis serta memastikan komitmen dari semua partai koalisi untuk mendukung program tersebut.

Mengimplementasikan reformasi sistem pemilu juga menjadi langkah penting. Reformasi ini bertujuan untuk memastikan presiden terpilih memiliki dukungan mayoritas di parlemen, sehingga tidak perlu membentuk koalisi yang terlalu besar dan beragam. Selain itu, kajian ulang aturan-aturan yang mengatur pembentukan koalisi dan pengisian kursi kabinet juga diperlukan untuk menghindari ketidakstabilan politik.

Akhirnya, dalam menghadapi masa depan, penting bagi Indonesia untuk terus memperbaiki sistem politik dan tata kelola pemerintahan, serta meningkatkan partisipasi dan kepercayaan publik. Hanya dengan demikian, pemerintahan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan memenuhi harapan rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.(*)


*) Opini menulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp.



Berita Lainnya