Advertorial

Lahan Terhimpit Tambang, Petani Embalut Berjuang Kembalikan Kesuburan Tanah

M Jaini Rasyid — Kaltim Today 06 Maret 2025 15:15
Lahan Terhimpit Tambang, Petani Embalut Berjuang Kembalikan Kesuburan Tanah
Perubahan fungsi lahan akibat tambang di Desa Embalut menyisakan tantangan besar bagi petani lokal. Butuh 3-4 tahun pemulihan lahan agar kembali produktif. (Jen/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Di balik nama besar Desa Embalut sebagai desa tambang di Kutai Kartanegara, tersimpan kisah perjuangan panjang para petani yang mencoba mempertahankan lahan mereka. Seiring ekspansi tambang yang terus menggerus ruang hidup, lahan pertanian di Embalut menyempit drastis.

"Sawah padi kami tersisa cuma sekitar 40 hektare. Itu pun kualitasnya sudah turun jauh di banding dulu," ujar Yahya, Kepala Desa Embalut, Selasa (4/3/2025).

Tak hanya sempit, tanah yang tersisa juga menghadapi kerusakan parah. Lahan bekas tambang yang dikembalikan ke desa ternyata dalam kondisi miskin unsur hara.

"Ini lahan ekstrim. Pemulihannya butuh waktu 3 sampai 4 tahun. Harus sabar dan rajin pupuk organik," jelasnya.

Karena kondisi ini, petani di Embalut tidak lagi bisa mengandalkan padi sebagai komoditas utama. Mereka mulai beralih ke tanaman yang lebih tahan banting seperti jagung, cabai, dan singkong. Pola tanam pun dibuat selang-seling untuk menjaga keseimbangan nutrisi tanah.

Masalah tak berhenti di situ. Kebutuhan pupuk yang tinggi menjadi tantangan baru. Untuk itu, desa mengintegrasikan peternakan sapi dengan pertanian agar kotoran sapi diproses menjadi pupuk kandang, yang dipakai langsung di lahan.

Sayangnya, dalam menghadapi tantangan teknis ini, dukungan penyuluh pertanian dari pemerintah daerah sangat minim.

"PPL kami sudah hampir 2 tahun tidak pernah turun ke desa. Padahal, petani kami butuh bimbingan teknis," keluhnya.

Di sisi lain, budaya bertani di kalangan generasi muda mulai memudar. Dominasi tambang menciptakan pola pikir bahwa bertani kurang menguntungkan. Yahya berusaha mengubah pemikiran tersebut dengan membuktikan bahwa bertani modern tetap bisa menghasilkan keuntungan besar.

"Kalau 1 hektare jagung bisa untung Rp50 juta, kenapa tidak? Masalahnya selama ini bertani tidak diajarkan secara bisnis," tegasnya.

Dengan kombinasi perjuangan teknis dan perubahan pola pikir, Desa Embalut kini berada di jalur transformasi ekonomi. Pertanian yang nyaris mati perlahan hidup kembali, meski tantangannya belum sepenuhnya berakhir.

"Saya percaya kalau kita kelola dengan ilmu dan mau belajar, pertanian tetap punya masa depan di Embalut," pungkas Yahya.

[RWT | ADV DISKOMINFO KUKAR]



Berita Lainnya