Opini
Mewujudkan Sistem Pendidikan Anti Ambruk di Tengah Pandemi
Oleh: Nindy Nur Rahmawati, S.Pd (Pendidik)
Jelas sudah kondisi saat ini sebenarnya semakin tak ideal bagi masyarakat untuk beraktivitas bebas di luar rumah. Pun termasuk pendidikan yang akhirnya ikut terkena imbas karna pandemi. Alhasil, kegiatan belajar mengajar harus dilakukan secara daring. Hal tersebut masih menyisakan PR yang cukup berat dan segalanya terkesan serba mendadak. Bagi pendidik, harus menyesuaikan pengajaran ke siswa sedangkan bagi siswa, tidak semuanya bisa nyaman belajar secara daring. Belum lagi berbicara kondisi orangtua dan kestabilan ekonomi yang berbeda-beda.
Dilansir dari kaltim.tribunnews.com, Balikpapan termasuk dalam wilayah yang belum bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka karena statusnya yang masih berzona merah. Maka ditegaskan oleh Disdikbud Balikpapan, pembelajaran tahun ajaran baru 2020/2021 kembali dilakukan via daring seperti sebelumnya.
Jika melihat data evaluasi pembelajaran daring yang sudah dilakukan, ternyata banyak kendala yang terjadi dan begitu krusial dalam mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan turut berjalan “tidak normal”. Bahkan, Kepala Disdikbud Balikpapan, Muhaimin menyebut harus ada penyesuaian kurikulum dalam pembelajaran via daring.
Itulah sekelumit potret pendidikan di tanah air yang ‘ambruk’ di tengah pandemi. Kebijakan belajar dari rumah yang terkesan mendadak menyebabkan banyak pendidik akhirnya melakukan pembelajaran sesuai interpretasi pribadi. Meski capaian pendidikan telah dilonggarkan dengan tidak terfokus pada kurikulum yang ditetapkan, namun tetap saja kebingungan guru terjadi.
Penulis pernah mendapat kuliah dari seorang dosen pedagogik. Dosen tersebut menyampaikan bahwa, Indonesia belum memiliki pola dalam sistem pendidikannya. Maka tak heran, fakta yang bisa dilihat bersama, kurikulum pendidikan cenderung berubah-ubah. Ini hal yang lumrah, karna memang belum memiliki pola yang jelas bagaimana tujuan pendidikan diarahkan.
Kurikulum yang digunakan sekolah-sekolah ada sebagian KTSP 2006 namun mulai banyak yang menggunakan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 lah yang banyak diberlakukan, yang katanya “mengikuti abad ke-21”. Benar memang, zaman berkembang begitu pesat, era teknologi sudah berevolusi dengan luar biasanya, globalisasi pun tak dapat dihindarkan. Hampir segala hal dapat diakses siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ini jelas berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.
K-13 menekankan pada kemampuan berpikir kritis, objektif dan belajar scientific. Inilah yang menjadi kesulitan saat anak-anak tidak bertemu langsung dengan guru. Masih sulit dalam memahami hal demikian yang mungkin masih abstrak bagi mereka. Yang terjadi di rumah, malah justru membuat repot orang tua. Kadisdik Balikpapan, Muhaimin sendiri menuturkan, kurikulum ini lebih banyak memuat pembelajaran secara tematik, memperbanyak soal, dan pendalaman materi. Ia meminta agar kebijakan pemerintah pusat dapat mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan situasi yang ada.
Ketahanan sistem pendidikan saat ini sangat diuji oleh pandemi. Kerapuhan kurikulum pendidikan nampak jelas hari ini meskipun sudah bergonta-ganti. Lantas, apa yang sebetulnya menjadi tujuan pendidikan itu sendiri?
Sangat menyedihkan jika fokus pendidikan hanya terpaut pada nilai di atas kertas dan kuantitas bahan ajar, lantas melupakan proses pendekatan siswa yang bergerak penuh sadar diri dalam belajar. Sudahkah itu menjadi fokus pendidikan? Kesadaran belajar anak itu yang harusnya diperhatikan sedalam-dalamnya.
Miris jika pendidikan berakhir pada “materi”, lantas tiada pembentukan karakter, penanaman akidah, akhlak, pembinaan ketaatan pada syariat. Maka, sudah pasti pendidikan jatuhnya hanya proses ‘mengajar” saja, jauh dari makna “mendidik”. Ini yang harus dihindari seharusnya, namun tak bisa dinafikkan, pendidikan justru dipandang menjadi proses pemberian tugas saja selama pandemi.
Pandemi hari ini sesungguhnya memunculkan euforia yang beraneka ragam bagi anak didik. Adanya kebijakan belajar dari rumah, bisa dianggap berkah bagi mereka yang lebih suka bersenang-senang tanpa perlu belajar ke sekolah full day. Banyak ditemukan, anak-anak yang lepas landas dalam menggunakan gawai padahal punya tanggung jawab terhadap sekolah yang harus dituntaskan. Namun yang ada adalah sebaliknya. Orangtua menjadi tambah repot dan stres mengurus anaknya selama belajar di rumah. Guru pun mencoba seoptimal mungkin mentransfer pemikiran pada mereka, tapi nampaknya, tidak cukup banyak disambut antusias oleh anak-anak. Beginilah kurikulum hari ini, tidak bisa diaplikasikan saat belajar dari rumah, sebab tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan murid saat pandemi.
Memang ditinjau dari aspek kesehatan, belajar daring lebih ramah anak namun harus dipahami pembelajaran tersebut merupakan metode belajar yang tidak alami. Kesulitan dalam prosesnya pun tak ayal lagi. Maka sudah semestinya, duduk perkara ini harus segera dipecahkan. Kurikulum pendidikan yang meniscayakan keefektifan dalam kondisi apapun sangat dibutuhkan.
Untuk keluar dari lubang jarum tersebut, maka fokus Ppendidikan harus diperhatikan ulang. Jika masih berpaku pada transfer materi lalu menihilkan pembentukan kepribadian, ini tentu akan menjadi beban yang sangat berat. Maka, dimana harus meletakkan fokus yang bijak?
Jika ditelusuri, kondisi hari ini sebenarnya adalah kesempatan emas bagi pendidik pada anak didiknya untuk dapat optimal dalam rangka edukasi pembinaan kepribadian anak. Membina mereka menjadi generasi yang tangguh menghadapi ujian pandemi, menjaga keselamatan jiwa, kebersihan, peduli lingkungan, semangat berbagi, beribadah dan masih banyak lagi edukasi kebajikan yang bertumpu pada peralihan fokus tadi.
Inilah yang dicontohkan dalam kurikulum sistem pendidikan Islam. Sistem ini meniscayakan pendidikan akan tetap berjalan dengan optimal walau pandemi menerpa. Karna tujuan pendidikan dalam Islam itu sendiri adalah membentuk kepribadian Islam anak didik mencakup pola pikir dan pola sikap.
Akidah Islam itulah yang menjadi dasar landasan diselenggarakannya pendidikan. Sekolah, guru, bahkan orangtua harus memiliki dorongan iman dalam mendidik anak, yaitu semata melaksanakan perintah Allah demi mengharap ridho-Nya. Anak didik wajib dipahamkan tsaqafah keislaman, disamping itu juga diajarkan ilmu terapan seperti sains, kecakapan hidup, dll.
Lantas, dengan adanya pandemi, landasan dan tujuan tersebut tidak boleh lemah. Hadirnya pendidikan justru harus semakin menguatkan takwa bagi siapapun berupa tunduk dan patuh kepada Allah SWT secara total tanpa tapi dan tanpa nanti. Dan sesungguhnya, inilah kunci pertolongan Allah bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Maka peran orangtua juga punya andil besar dengan menjadikan dirinya faqih fiddin, sehingga orangtua turut mampu membina tsaqofah, kepribadian dan kecakapan hidup anak. Adapun sainstek yang mungkin butuh tatap muka di sekolah, bisa ditunda.
Menelisik kurikulum pendidikan yang ada saat ini, sesungguhnya tidak memberikan ruang cukup bagi pembentukan kepribadian Islam. Sedangkan penguasaan seperti sains, matematika dan literasi jauh lebih dominan. Capaian aspek kognitif cenderung lebih utama. Suasana spiritualitas yang melahirkan generasi yang taat secara total pada Rabbnya sungguh hal yang berat penuh upaya dengan segenap keletihannya tuk dicapai. Problem moral remaja ibarat gunung es sudah cukup menjadi bukti.
Maka yang harus dipahami mengenai tolak ukur Pendidikan dalam Islam adalah pemahaman yang bisa diukur secara alami. Bagaimana mereka bisa memahami ilmu dalam kehidupan. Artinya, ilmu untuk dipraktikkan. Bukan sekedar omong kosong, namun bagaimana transfer ilmu yang terjadi meniscayakan mereka untuk mengembangkan ilmu itu dalam kehidupan. Sekali lagi, tsaqofah islam yang menjadi dasar utama anak didik berilmu.
Oleh karena itu, kurikulum yang dirumuskan pun mengikuti landasan dan tujuan tadi. Bahan ajar disusun sesuai jenjang usia secara lengkap dan efektif untuk diajarkan. Tidak kemudian yang terjadi hari ini, bahan ajar sangat padat namun nihil dalam aspek spiritual. Maka, ilmu-ilmu terapan atau yang mengasah kecakapan hidup harus senantiasa berada dalam koridor membentuk kepribadian Islam.
Metode pengajaran khas yang ada pada Islam yaitu talqiyan fikriyan yaitu berupa proses penyampaian pemikiran oleh guru dan penerimaan oleh siswa dengan adanya penggambaran atas fakta (ilmu yang disampaikan) yang berhasil memengaruhi perilaku siswa. Guru harus mampu memiliki kecapakan metode tersebut. Walaupun kondisi pandemi, tidak boleh mengabaikan metode ini.
Dari semua yang telah dipaparkan secara singkat mengenai sistem pendidikan Islam, semua itu tidak akan berjalan tanpa dukungan totalitas oleh negara. Ibarat sistem yang kompleks, sistem ekonomi dan politik merupakan supranya. Jika keduanya tidak dilandasi pengurusan yang terkoneksi langsung dengan landasan penyelenggaraan pendidikan yang sudah dijelaskan tadi bahkan tidak sejalan dengan sistem sosial, sanksi, dll maka tidak akan pernah nyambung. Alias hanya khayalan belaka.
Islam pun bukan melulu soal bidang parsial. Ternyata, Islam merupakan sebuah akidah dan syariah yang tegak atas sebuah bangunan negara yang notabene tidak hanya sekedar mengurusi kemaslahatan umat dalam soal pendidikan saja, namun lebih dari itu, Islam merupakan sebuah akidah yang memancarkan aturan di segala aspek kehidupan ini.
Kembali lagi pada masalah pendidikan tadi, ini adalah hal yang sangat serius. Menyangkut masa depan generasi bahkan potret bangsa ini. Tak dapat dipungkiri, masalah pembiayaan pun tak terelakkan. Islam pun memiliki model pembiayaan khas yaitu “Baitul Mal”. Komponen ini berfungsi untuk menyediakan anggaran demi berjalannya kewajiban pengurusan negara terhadap rakyat. Maka acuan-acuan pendidikan tadi adalah bagian integral dari penerapan Syariah Islam secara total dalam bingkai sebuah negara yang disebut khilafah. Inilah jawaban atas ambruknya pendidikan hari ini. Wallahu a’lam bish-shawab.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co