Figur
Dari Lubang Tambang ke Jalan Advokasi: Perjalanan Mustari Menjadi Dinamisator Jatam Kaltim

Di bumi Kalimantan Timur, di mana lubang tambang menganga dan meninggalkan luka tak kunjung padam, lahir suara perlawanan dari seorang pria bernama Mustari Sihombing. Dari bangku kuliah hingga terjun ke masyarakat, dia menempuh pilihan penuh risiko: berkhidmat di aktivisme lingkungan. Meski tak mudah, baginya jalur advokasi lingkungan adalah bentuk pengabdian sekaligus ikhtiar menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
KATANYA, setiap perjalanan hidup adalah ruang kelas yang sunyi. Di sana seseorang belajar, jatuh, bangkit, dan perlahan berubah menjadi versi diri yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Hal itu sepertinya cukup menggambarkan sosok Dinamisator Jatam Kaltim 2025–2028, Mustari Sihombing. Siapa menyangka, pria kelahiran Padang Lawas Utara ini dulunya pernah berpikir ingin bekerja di perusahaan tambang batu bara.
Bertahun-tahun menjalani proses belajar, menemui realita di lapangan, Mustari kemudian mendapati kesadaran baru. Perusahaan tambang batu bara, di balik kata-kata super hiperbolis yang kerap dilontarkan pemerintah dan pengusaha—seperti pendapatan, peningkatan kesejahteraan, lapangan kerja—justru lebih sering menghadirkan penderitaan bagi warga.
Bergabung Jatam Kaltim: Perjalanan Menuju Kesadaran Baru
Proses menemui kesadaran itu bermula ketika Mustari masih seorang mahasiswa di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD), Universitas Islam Negeri (UIN) Samarinda pada 2017. Kala itu, Mustari—yang belakangan kerap disapa ‘Judika’ oleh rekan-rekannya—diajak seorang seniornya bernama Fahri Azis untuk turun ke kampung di Muara Jawa. Saat itu, Fahri Azis dan rekan-rekannya di Jatam Kaltim tengah melakukan advokasi dan penolakan terhadap aktivitas pertambangan di desa itu.
Ini adalah pengalaman perdananya ikut advokasi isu pertambangan. Di sana, Mustari merasakan setiap ketakutan, kesedihan, dan kemarahan warga yang tanahnya dirampas perusahaan tambang. Nalurinya terusik. Secara naluriah ia merasa, tidak seharusnya warga menjadi korban dari kerakusan perusahaan tambang batu bara.
“Dari situ mulai kenalan dengan Jatam. Tertarik juga karena waktu itu langsung dihadapkan dengan situasi yang dihadapi masyarakat di kampung,” kata Mustari ketika berbincang dengan Kaltim Today, Selasa (19/8/2025) sore.
Sepulangnya dari Muara Jawa, Mustari semakin gelisah. Dia kerap berpikir, bagaimana bila kondisi itu dialami orang tua atau keluarganya? Tentu ia bakal marah dan tak tinggal diam. Tidak seorang pun terima haknya dirampas. Tak seorang pun ingin harga dirinya direndahkan. Dan semestinya, menurut dia, tak seorang pun berhak melakukan penindasan pada makhluk Tuhan lainnya.
Mustari juga makin sering terlibat dalam forum diskusi membahas daya rusak tambang batu bara. Rasa ingin tahu juga membawanya berkenalan dengan sosok yang cukup concern mengadvokasi isu ini, seperti Merah Johansyah, senior Mustari di UIN sekaligus mantan Dinamisator Jatamnas.
Pengalaman di kampung dan berbagai diskusi yang diikuti seketika mengguncang pemahaman Mustari soal tambang. Dahulu, ketika masih seorang remaja yang besar di Sumatera Utara, Mustari bahkan pernah berpikir ingin bekerja di perusahaan tambang. Dan sebetulnya, pemikiran itu pula yang membawanya hijrah ke Kaltim dan melanjutkan studi di UIN Samarinda pada 2015. Kala itu dia berpikir, dengan studi di Samarinda, praktis akses ke perusahaan tambang lebih terbuka.
Tapi, usai melalui proses pembelajaran, pemikiran itu berubah. Keinginan masuk perusahaan tambang seketika lenyap tanpa jejak. Belakangan, Mustari justru kencang mengadvokasi dan menolak tambang batu bara. Sebab, sifat destruktifnya amat besar, luas, dan berkepanjangan.
“Berbagai pengalaman itu; turun ke kampung, ikut diskusi dan sharing mengenai daya rusak tambang, benar-benar membuka isi kepala saya,” kata alumni program Ilmu Komunikasi dan Dakwah ini.
Memasuki 2019, Jatam Kaltim membuka program “Sekolah Jatam.” Selain untuk kaderisasi, ia merupakan program pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) untuk meningkatkan kesadaran kritis dan pengetahuan masyarakat mengenai isu-isu pertambangan dan lingkungan. Sekolah ini menggunakan metode pembelajaran kelas dan praktik langsung, dengan tujuan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam gerakan advokasi pertambangan.
Mulanya Mustari berpikir panjang untuk terlibat lebih jauh dalam aktivisme yang dilakukan Jatam Kaltim. Dari hasil diskusi bersama kawan dan senior yang lebih dulu berkecimpung, ia sadar betul bahwa risiko yang dihadapi kelak tak mudah. Intimidasi, kriminalisasi, hingga nyawa bisa jadi taruhan. Namun, setelah menimbang untung-rugi dan mengikuti dorongan hati nuraninya, ia akhirnya masuk Sekolah Jatam. Inilah yang menandai kiprah Mustari di Jatam Kaltim.
Berkiprah di Jatam: Risiko, Tantangan, dan Dorongan Nurani
Ada setumpuk pengalaman yang dirasakan ‘Judika’ kala berkiprah di Jatam sejak 2017, hingga kini ia resmi menjabat Dinamisator Jatam Kaltim 2025–2028. Pengalaman itu, tentu saja, ada yang menyenangkan, ada yang bikin ‘bergidik’. Salah satu paling diingat Mustari kala dirinya melakukan advokasi di Sanga-Sanga pada 2023.
Mustari ingat betul ketika dia dan seorang kawannya dibuntuti gerombolan pria tak dikenal dalam sebuah mobil. Kala itu, keduanya tengah melakukan advokasi dan pengumpulan data di Kompleks PDAM, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terkait dugaan pencemaran serta kerusakan lingkungan yang dilakukan PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN).
Perusahaan itu, berdasarkan temuan Mustari dan kawannya, diduga membuang limbah secara serampangan. Akibatnya, air PDAM yang saban hari digunakan warga tercemar. Warnanya kehitaman bahkan tak jarang mengandung butiran batu bara.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut Binsar Pandjaitan itu juga diduga jadi dalang banjir di Sanga-Sanga. Musababnya: perusahaan membangun settling pond—kolam pengendapan—secara ugal-ugalan hingga masuk ke lingkungan warga.
Usai wawancara dan pengumpulan data rampung, barulah Mustari sadar dibuntuti empat orang diduga dari PT ABN. Keberadaan mereka di sana rupanya telah terendus. Khawatir akan keselamatan diri, Mustari dan kawannya kocar-kacir mencari tempat bersembunyi. Tak ada hal lain di pikiran mereka saat itu selain pulang dengan selamat.
“Di sana kami memang sempat ngobrol-ngobrol terkait kemungkinan didatangi dan segala macam. Eh, tahu-tahunya ada satu mobil dengan empat orang dalam mobil turun mencari kami. Tapi untungnya, Tuhan masih berpihak pada kami. Waktu itu kami sembunyi dan mereka tidak berhasil menemui kami,” kenangnya.
Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi bila Mustari dan kawannya hari itu tertangkap. Bisa saja orang-orang itu merayu mereka menghilangkan berbagai temuan lapangan, minta temuan lapangan dimanipulasi, mereka disogok, dipukul, atau terburuk dari itu: diculik. Tak ada yang tahu. Dan sejatinya, Mustari ngeri-ngeri juga mengingat kejadian itu
“Karena saat itu kondisinya sangat tidak memungkinkan, jadi kami memutuskan cepat kembali ke Samarinda. Kami di Jatam punya prinsip, bagaimana pun kondisinya, keamanan tetap paling utama,” sebutnya.
Sejak awal bergabung Jatam pada 2019, Mustari mafhum benar risiko dan tantangan yang dihadapinya. Tapi berbekal keyakinan dan dorongan hatinya, ia masih berada di sini dan terus berusaha memperluas kesadaran publik akan daya rusak tambang.
Selain mengikuti hati nurani, ada hal lain yang membawa Mustari berproses jauh di Jatam: dorongan pengabdian. Mustari ingat betul, sebagai mahasiswa yang menempuh pendidikan di kampus bernapaskan nilai-nilai Islam, dia kerap mendengar mata kuliah yang menginggung ranah penindasan, ajakan tolong-menolong dalam kebaikan, penindasan, dibahas di ruang-ruang kelas. Baginya, mengabdikan diri dalam jalur advokasi bersama Jatam adalah bentuk konkret dari menyiarkan nilai-nilai Islam.
“Di kampus, kami selalu diajarkan tentang pentingnya tolong-menolong dalam kebaikan. Itu bukan sekadar anjuran, tapi juga kewajiban bagi setiap manusia,” katanya. Nilai-nilai tersebut tidak berhenti di ruang kelas; ia membawanya ke lingkungan nyata, dengan fokus pada keberagaman dan pengabdian kepada masyarakat.
Pengabdian, menurutnya, bukan hanya soal program KKN atau kewajiban akademik semata. Ia melihatnya sebagai kesempatan untuk mendistribusikan pengetahuan yang dimiliki kepada masyarakat yang kurang beruntung, yang tidak memiliki akses pendidikan tinggi seperti dirinya.
“Banyak yang tidak punya jaminan pendidikan, dan di situlah kita bisa berbagi, sekaligus melihat peluang untuk memberikan pengetahuan hidup yang tidak diajarkan di kelas,” tambahnya.
Namun, kegiatan sosial ini tidak datang tanpa tantangan. Mengambil sikap berpihak dalam komunitas yang rentan atau termarjinalkan sering kali menuntut keberanian. Nyawa dan keselamatan pribadi bisa menjadi taruhan saat menghadapi situasi yang sensitif atau berisiko.
Meski demikian, Mustari menegaskan bahwa dorongan spiritual dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi pendorong utama. Aktivisme dan pengabdian sosial bagi dirinya adalah cara untuk mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan nyata, sekaligus memberikan kontribusi positif bagi masyarakat yang membutuhkan.
“Melihat langsung kondisi masyarakat, berbagi pengetahuan, dan menjalankan nilai-nilai agama itu terasa sangat bermanfaat. Tantangan ada, tapi dorongan dari pengalaman belajar dan kewajiban moral membuat semuanya layak dijalani.”
Krisis Ekologis Mengintai Kaltim
Kalimantan Timur kini menghadapi tantangan serius akibat lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi. Berdasarkan data dan citra satelit, total ada sekitar 44 ribu lubang tambang yang menganga di Bumi Etam. Mustari menegaskan, bila pemerintah—khususnya Pemprov Kaltim—tak mengambil langkah serius terkait persoalan ini, maka jangan kaget bila dalam waktu dekat Kaltim menuai hasilnya: krisis ekologis.
Berdasarkan catatan Jatam, ribuan lubang menganga itu di antaranya disumbang oleh 605 perusahaan yang hingga kini masih beroperasi. Banyaknya lubang yang ditinggalkan akibat aktivitas ekstraktif batu bara itu, kata Mustari, menjadi sinyal bahaya dan peringatan bahwa Kaltim kini di ambang krisis ekologis. Namun, dampak kerusakan bisa diminimalkan bila pemerintah berani mengambil langkah konkret: mendesak perusahaan bertanggung jawab alias melakukan reklamasi.
Namun sayangnya, melihat keseriusan Pemprov Kaltim menindak tegas perusahaan bak peribahasa “jauh api dari panggangan”. Bukannya menindak tegas, pemerintah justru terlihat bermesraan dengan perusahaan. Gambaran konkret betapa mesranya pemerintah dengan perusahaan ialah dengan mengambil berbagai langkah “konyol” terkait lubang tambang. Misalnya, lubang yang di dalamnya terbukti mengandung zat beracun justru dijadikan lokasi budidaya ikan hingga sumber air warga. Lubang yang membahayakan dan telah menelan korban jiwa malah dijadikan “destinasi wisata”.
“Ini, kan, satu kekonyolan yang ditampilkan pemerintah. Makanya perlu juga kita tegaskan kepada masyarakat bahwa regulasi yang dibuat itu semuanya untuk memenuhi kebutuhannya si pengusaha saja,” tegasnya.
Mustari menegaskan, setiap keputusan untuk “memanfaatkan” bekas tambang tanpa reklamasi justru berpotensi menciptakan bencana baru, termasuk banjir dan pencemaran yang lebih luas. “Bencana itu hanya tinggal menunggu waktu,” katanya.
“Kalau kita diam, lubang-lubang ini akan mewariskan kerusakan, utang lingkungan, dan risiko bagi generasi mendatang.”
Membangun Kesadaran Kolektif
Terpilih dalam musyawarah pada 14 Agustus 2025 lalu, inilah yang menjadi fokus Jatam di bawah kepengurusan Mustari: mendesak pemerintah, yang pada akhirnya menekan perusahaan agar bertanggung jawab. Jangan sampai makin banyak perusahaan lari dari kewajibannya. Jangan sampai makin banyak lubang menganga melukai bumi Kaltim.
Kerja-kerja advokasi ini tak dilakukan Jatam sendiri. Mereka ikut terlibat dan melibatkan diri dengan banyak pihak, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya. Tekanan harus dilakukan bersama. Upaya membangun kesadaran publik akan daya rusak tambang harus diperluas.
“Itu salah satu concern kami. Kami akan terus mendesak pemerintah supaya menuntut perusahaan tanggung jawab. Apalagi sampai hari ini, sudah ada 49 anak kehilangan nyawa di lubang tambang. Kami tidak mau ada korban lagi, kami tidak mau sampai ada ibu yang menangis karena anaknya jadi korban,” ucapnya.
Upaya membangun kesadaran publik akan daya rusak tambang sejatinya cukup menantang. Kata Mustari, persoalan ekonomi yang makin hari makin menekan warga pada akhirnya membuat kepekaan sosial itu berkurang. Semua sibuk untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin berat dan mahal, sehingga tak ada waktu memikirkan hal lain di luar itu.
Kemudian untuk menarik kelas terpelajar seperti mahasiswa, ini pun bukan tanpa kendala. Dengan biaya pendidikan (UKT) makin mahal, tekanan dari keluarga agar mahasiswa lekas merampungkan studi juga besar. Akhirnya, mahasiswa hanya fokus pada aktivitas akademik, tapi ruang untuk diskusi dan keterlibatan sosial jadi terbatas. Mahasiswa mungkin cepat mendapat gelar akademik, tapi kepekaan sosial-lingkungan mereka kurang. Padahal, kata Mustari, dunia pergerakan juga memberi banyak pembelajaran—pembelajaran itu barangkali tak bisa ditemukan dalam ruang-ruang kelas.
Sebab itu, Mustari menekankan pentingnya kolaborasi dan transfer pengetahuan. Pemanfaatan media sosial seperti Instagram dan TikTok dianggap cukup krusial. Sebab, medsos jadi tempat utama warga menerima informasi. Tapi tak kalah penting, katanya, adalah kolaborasi dengan jurnalis. Seluruh sarana penyampaian informasi dan kerja-kerja kolektif mesti dikencangkan demi meningkatkan kesadaran publik.
“Kita butuh kekuatan massa yang lebih banyak, juga kesadarannya lebih banyak. Penting bagi kita memikirkan soal bagaimana transfer pengetahuan ini bisa berjalan. Artinya, masyarakat juga harus tahu ternyata kondisi, jumlah, dan juga daya rusak yang diwariskan (tambang batu bara),” tandasnya. (*)
Related Posts
- Mahasiswa Hukum Unmul Terlibat Video Menunggangi Penyu, Terancam Sanksi Pengurangan Nilai KKN
- Pemkot Samarinda Ajukan Perubahan Perda Pajak dan Retribusi, DPRD Siap Bahas dengan Catatan
- Seno Aji Sebut Bakal Evaluasi Tarif SK Gubernur untuk Tiga Aplikator
- Kaltim Jadi Provinsi Pertama Gratiskan Biaya Administrasi Perumahan untuk MBR
- DPRD Balikpapan Soroti Kenaikan APBD Perubahan 2025, Minta Target PAD Dioptimalkan