Opini

Kemerdekaan Perempuan, Kemerdekaan Republik

Kaltim Today
19 Agustus 2025 16:30
Kemerdekaan Perempuan, Kemerdekaan Republik

Oleh: Ida Farida (Dosen UINSI dan Ketua Muslimat NU Samarinda) 

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momentum refleksi, bukan sekadar seremoni. Di balik gegap gempita perayaan, kita harus berani mengajukan pertanyaan kritis: sudah sejauh mana kemerdekaan dirasakan oleh perempuan Indonesia? Bila republik ini berdiri atas nama kesetaraan, apakah separuh warganya benar-benar menikmati kebebasan yang sama dengan laki-laki?

Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi perempuan. Nama-nama seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan tentu saja R.A. Kartini telah meletakkan fondasi bahwa perjuangan melawan penjajahan bukan hanya tugas laki-laki. Kartini dengan semboyan Habis Gelap Terbitlah Terang menegaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah membebaskan manusia dari kegelapan pengetahuan dan belenggu budaya patriarki. Maka, merdeka bukan hanya bebas dari kolonialisme asing, tetapi juga dari penindasan struktural yang membuat perempuan menjadi warga kelas dua.

Namun, kenyataan hari ini menunjukkan paradoks. Data Global Gender Gap Report 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 89 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender. Representasi politik perempuan memang meningkat, dengan sekitar 21% kursi parlemen diisi perempuan, tetapi angka itu masih jauh dari target 30% keterwakilan yang dijanjikan sejak reformasi.

Di bidang ekonomi, kesenjangan juga nyata: rata-rata upah pekerja perempuan 19% lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang setara. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan stagnan di kisaran 54%, jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang mencapai lebih dari 80%. Ini berarti jutaan potensi perempuan Indonesia belum benar-benar teraktualisasi.

Bandingkan dengan Rwanda: negara kecil di Afrika yang pasca-genosida berhasil membalik sejarah kelamnya dengan menempatkan perempuan sebagai aktor utama rekonsiliasi. Kini, lebih dari 60% kursi parlemen di Rwanda diisi perempuan—sebuah rekor dunia.

Jika Rwanda yang pernah luluh lantak oleh konflik bisa menempatkan perempuan sebagai pusat politik, mengapa Indonesia, dengan sejarah panjang emansipasi, masih tertatih-tatih? Perbandingan ini bukan untuk merendahkan capaian bangsa sendiri, tetapi untuk menegaskan bahwa kemajuan politik perempuan adalah mungkin bila ada kemauan politik yang sungguh-sungguh.

Kondisi ini menegaskan bahwa kemerdekaan perempuan Indonesia masih belum tuntas. Banyak perempuan tetap terbebani dengan beban ganda—menjadi tulang punggung domestik sekaligus dituntut produktif di ranah publik.

Sementara itu, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang setara masih menghadapi hambatan kultural dan struktural. Situasi ini mengingatkan kita pada kritik Simone de Beauvoir yang menyatakan bahwa perempuan kerap diposisikan sebagai the Other—bukan subjek utama yang menentukan arah hidupnya, melainkan sekadar bayangan dari laki-laki.

Di sinilah relevansi pemikiran Hannah Arendt. Ia menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya bermakna bila setiap warga dapat “bertindak” dalam ruang publik (to act). Partisipasi politik perempuan di Indonesia masih setengah hati. Bila separuh bangsa terbatasi dalam menentukan arah republik, maka kemerdekaan kita juga hanya separuh.

Demikian pula, Frantz Fanon mengingatkan bahwa dekolonisasi sejati bukan hanya mengusir penjajah, tetapi membongkar seluruh struktur penindasan yang melanggengkan ketidakadilan. Jika patriarki masih mengakar, maka kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya terwujud.

Dalam konteks ini, kita juga perlu mengingat tradisi intelektual Islam. Dengan semangat tauhidnya, Islam menolak segala bentuk penindasan manusia atas manusia. Para sufi perempuan seperti Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan menuntut pembebasan dari segala belenggu duniawi yang tidak adil. Pandangan ini sejalan dengan semangat kemerdekaan: membebaskan manusia, termasuk perempuan, dari struktur sosial yang mengekang potensi kemanusiaannya.

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momen untuk menegaskan kembali: republik ini hanya benar-benar merdeka jika perempuan, yang mengisi separuh lebih dari populasi bangsa, bisa menikmati hak, kesempatan, dan penghargaan yang sama. Perempuan tidak boleh lagi hanya menjadi simbol dalam retorika kemerdekaan, tetapi aktor penuh dalam menentukan arah masa depan bangsa. Demokrasi yang sehat hanya lahir dari partisipasi setara semua warganya.

Sebagaimana R.A. Kartini menulis, Habis Gelap Terbitlah Terang, maka kegelapan patriarki harus ditinggalkan bila kita ingin melihat terang kemerdekaan yang sejati. Jika negara ini ingin melangkah ke 100 tahun kemerdekaannya, maka kesetaraan gender harus dipandang bukan sebagai bonus, melainkan sebagai inti dari keberlanjutan republik.

Kemerdekaan Indonesia tidak bisa hanya dipahami sebagai peristiwa sejarah 1945, melainkan sebagai proses yang terus berjalan. Republik ini hanya akan benar-benar merdeka bila seluruh warganya, termasuk perempuan, memperoleh ruang setara untuk berkontribusi, berdaya, dan menentukan arah hidupnya tanpa diskriminasi. Ketika perempuan dibatasi oleh ketidakadilan, maka kemerdekaan republik pun masih setengah jalan.

Sebaliknya, bila perempuan diberi kesempatan yang sama dalam politik, pendidikan, ekonomi, dan ruang publik, maka kemerdekaan bangsa akan menemukan maknanya yang paling utuh. Dengan kata lain, kemerdekaan perempuan adalah syarat bagi kemerdekaan republik—dua hal yang tak terpisahkan dalam perjalanan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan sejati.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya