Nelayanku Sayang, Nelayanku Malang

Kaltim Today
03 Oktober 2024 08:01
Nelayanku Sayang, Nelayanku Malang
Penulis Aristya Windiana Pamuncak, S.H., M.H

Oleh: Aristya Windiana Pamuncak, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

INDONESIA, dengan 70% wilayahnya berupa lautan dan lebih dari 17.000 pulau serta garis pantai sepanjang 99.000 km, memiliki potensi besar di sektor kelautan dan perikanan. Luas wilayah perairan mencapai 5,9 juta km², menjadikan Indonesia salah satu negara dengan kekayaan laut yang luar biasa. Namun, di tengah potensi tersebut, sangat mengherankan bahwa Indonesia masih mengimpor ikan dalam jumlah besar. Pada periode Januari hingga Agustus 2024, impor ikan mencapai nilai fantastis, yaitu sebesar US$ 130,099 juta dengan volume 56,80 juta kilogram. Mayoritas impor berasal dari Norwegia, China, Amerika Serikat, Rusia, dan Korea Selatan.

Garis pantai Norwegia, meskipun panjangnya 83.281 km, masih lebih pendek dibandingkan Indonesia. Namun, ironisnya, Indonesia mengimpor ikan dari Norwegia senilai US$ 26,59 juta. Bahkan, Indonesia juga mengimpor ikan dari China, meski negara tersebut terlibat dalam sengketa maritim di Laut China Selatan dan melanggar hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Impor ikan dari negara-negara ini, terutama China, secara tidak langsung merugikan nelayan Indonesia, yang wilayah tangkapan ikannya terancam oleh klaim maritim sepihak.

Selain itu, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan menempati peringkat ke-14 dalam hal luas perairan, masih mengimpor ikan dari Korea Selatan, yang hanya memiliki perairan seluas 301 km². Nilai impor dari Korea Selatan mencapai US$ 1,84 juta. Hal ini sangat merugikan nelayan lokal, yang kesulitan menjual hasil tangkapan mereka karena masuknya ikan impor. Banyaknya ikan impor memperlambat pembongkaran ikan hasil tangkapan lokal, menurunkan harga pasar, sehingga hasil jual nelayan tidak cukup untuk membeli bahan bakar kapal mereka.

Masalah lain yang semakin menambah penderitaan nelayan adalah kebijakan pemerintah yang melegalkan ekspor pasir laut. Penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, memperburuk abrasi pantai, serta memicu banjir pasang. Dampak negatif ini langsung dirasakan oleh nelayan, yang sangat bergantung pada kelestarian lingkungan laut untuk kelangsungan hidup mereka. Sayangnya, pemerintah melegalkan kembali ekspor pasir laut melalui Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024, yang merupakan implementasi dari PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Pemerintah sebelumnya telah melarang ekspor pasir laut pada masa Presiden Megawati pada tahun 2002, karena tingginya kerusakan ekosistem pesisir. Dampak dari ekspor pasir laut bagi lingkungan sudah terbukti, seperti penurunan garis pantai yang menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam dan abrasi yang terus berlangsung di perairan Kepulauan Riau meskipun penambangan pasir laut telah dihentikan selama 20 tahun.

Pada 23 September 2024, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pasir yang diekspor adalah sedimen di jalur pelayaran. Namun, di lapangan, penambangan dilakukan di wilayah nelayan di sekitar Pulau Asam, Karimun, Kepulauan Riau, yang bukan merupakan jalur pelayaran. Pasir di wilayah tersebut adalah pasir purba, bukan hasil sedimentasi, dan negara-negara pengimpor seperti Singapura tidak tertarik pada lumpur hasil sedimentasi, melainkan pasir berkualitas tinggi untuk memperluas wilayah daratannya. Singapura bahkan telah menggunakan sekitar 300 juta meter kubik pasir dari Kepulauan Riau untuk memperluas daratannya, sementara abrasi terus menghancurkan wilayah pesisir Indonesia.

Kerugian bagi masyarakat, terutama nelayan yang tinggal di pesisir, sudah jelas terlihat. Aktivitas penambangan pasir laut merusak ekosistem, mengganggu habitat ikan, dan mengurangi hasil tangkapan. Selain itu, penambangan pasir laut juga mempercepat erosi pantai, menyebabkan intrusi air laut ke daratan, serta mengurangi ketersediaan air tanah. Bagi para pengusaha tambang, keuntungan besar sudah di depan mata, sementara nelayan dan masyarakat pesisir menderita akibat kebijakan yang merugikan mereka.

Penambangan pasir laut seharusnya dihentikan demi melindungi nelayan dan ekosistem pesisir. Sejarah telah menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut sangat sulit dipulihkan. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini dan lebih memprioritaskan kepentingan nelayan serta keberlanjutan lingkungan daripada mengejar keuntungan jangka pendek. (*)


 *) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi   kaltimtoday.co



Berita Lainnya