Kaltim
Ombudsman Kaltim Temukan Maladministrasi dalam Layanan Pertanahan di PPU, Bupati Diminta Revisi Perbup
Hamdam: Sudah Kami Tindaklanjuti, Sekarang Lagi Diproses
Kaltimtoday.co, Samarinda - Hasil kajian Ombudsman RI Perwakilan Kaltim menemukan penyimpangan prosedur dan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada sektor pertanahan di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Berdasarkan hasil temuan tersebut, Ombudsman Kaltim mendorong bupati PPU melakukan prakarsa reviu peraturan daerah, serta menyarankan gubernur Kaltim menerbitkan surat edaran yang menjelaskan bahwa Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995, sudah tidak lagi berlaku.
Asisten Muda Ombudsman Kaltim, Dwi Farisa Putra Wibowo mengatakan, hasil kajian tersebut telah diserahkan ke bupati PPU serta gubernur Kaltim, Kamis (13/4/2023) lalu. Dari hasil kajian, setidaknya ada empat persoalan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan sektor pertanahan di PPU.
Pertama, Perda Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Izin Membuka Tanah Negara dalam penertiban penguasaan tanah di Penajam Paser Utara dinilai tak efektif.
Kedua, Aparatur Sipil Negara (ASN) atau perangkat desa yang melakukan pelayanan di bidang pertanahan yang berpedoman pada Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 Tentang Pedoman Penerbitan Surat Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara di Kabupaten Penajam Paser Utara kerap menjadi objek perbuatan melawan hukum di masyarakat.
"Sehingga berdampak dengan adanya gugatan secara perdata dan kasus perbuatan pidana dikarenakan penyerobotan tanah sebagaimana Pasal 385 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," beber Dwi Farisa Putra Wibowo.
Ketiga, terjadi perbedaan prosedur, alur hingga jenis produk pelayanan di bidang pertanahan pada kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara. Terakhir, proses pengambilan keputusan hingga menghentikan layanan pada periode 2020 hingga 2021 terkait permohonan layanan dinilai terlalu panjang.
"Ada Perbup PPU Pasal 3 Ayat (3) Nomor 22 Tahun 2019 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Transaksi Jual Beli Tanah/Peralihan Hak Atas Tanah, tapi itu tidak dijalankan bupati," tegasnya.
Sementara ada lima bentuk maladministrasi yang diendus Ombudsman dalam perkara ini.
Pertama, Pemkab PPU terbukti mengabaikan Pasal 20 Perda PPU Nomor 18 Tahun 2017 tentang izin membuka tanah negara. Pemkab tidak menerbitkan peraturan pelaksana izin membuka tanah negara yang harus ditetapkan paling lama enam bulan terhitung sejak regulasi ini diundangkan.
Kedua, Pemerintah Kecamatan Babulu dan Pemerintah Kecamatan Penajam terbukti melakukan perbuatan Pengabaian Kewajiban Hukum Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik karena tidak dapat menerbitkan Penetapan Standar Pelayanan penyelenggaraan administrasi pertanahan.
Ketiga, camat, lurah dan desa terbukti tak kompeten dalam menentukan pedoman penyelenggaraan administrasi pertanahan di Penajam Paser Utara lantaran keputusannya cacat substansi. Ini sebagaimana Penjelasan Pasal 64 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Cacat substansi itu, diterangkan Dwi Farisa, terjadi karena fakta dan syarat hukum yang mereka gunakan, yakni Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 sudah diubah dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pemprov Kaltim.
"Dasar hukum yang sama itu dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum karena banyak masyarakat dan pejabat harus berhadapan dengan persoalan hukum baik pidana dan perdata," Dwi Farisa menambahkan.
Akibat dari pengabaian pelaksanaan Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Bupati Penajam Paser Utara Nomor 22 Tahun 2019 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Transaksi Jual Beli Tanah/Peralihan Hak Atas Tanah, ini menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi pemohon surat keterangan atau pernyataan penguasaan tanah negara karena tidak mendapat kepastian waktu pada 2021.
Kelima, akibat kelalaian menyusun pedomaan kriteria persetujuan dan tidak adanya kepastian waktu permohonan surat keterangan/pernyataan penguasaan tanah negara, kecamatan di Penajam Paser Utara akhirnya menghentikan layanan pertanahan pada 2021.
"Setelah melihat pokok persoalan dan bentuk maladministrasi dalam perkara ini, kami memberi dua saran perbaikan. Ini ditujukan kepada gubernur Kaltim dan bupati PPU," tegas pria yang akrab disapa Dwi itu.
Adapun, Ombudsman Kaltim mendorong bupati PPU melakukan prakarsa reviu Perbup PPU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Izin Membuka Tanah Negara; dan Perbup PPU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Pengendalian Transaksi Jual Beli Tanah/Peralihan Hak Atas Tanah dengan membentuk tim melalui keputusan bupati.
Tim tersebut, sebagaimana saran Ombudsman Kaltim, bertugas menyusun pedoman penerbitan surat keterangan/pernyataan penguasaan di atas tanah negara di wilayah PPU. Susunan tim melibatkan dua unsur, pejabat setempat dan tenaga profesional yang datang dari akademisi atau ahli bidang pertanahan. Kemudian, tim diberi durasi waktu paling lama enam bulan untuk merumuskan serta menyusun pedoman kebijakan pertanahan. Terakhir, tim tersebut wajib menyampaikan laporan kepada bupati PPU.
"Nantinya bupati mesti menetapkan kebijakan pertanahan sebagai bentuk tindak lanjut laporan yang disampaikan tim penyusun," tegasnya.
Saran terakhir kepada gubernur Kaltim. Ombudsman menyarankan gubernur menerbitkan surat edaran kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjelaskan bahwa Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 Tentang Pedoman Penerbitan Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman di atas Tanah Negara dinyatakan tidak berlaku.
"Jadi harus disampaikan agar persoalan yang terjadi di PPU ini tidak terjadi di daerah lain di Kaltim," pungkasnya.
Temuan Ombudsman Sudah Mulai Ditindaklanjuti Pemkab PPU
Terpisah, Bupati PPU Hamdam yang dikonfirmasi memastikan hasil temuan Ombudsman Kaltim tersebut ditindaklanjuti. Hal itu disampaikan kepada awak Kaltimtoday.co ketika mengkonfirmasi dirinya langsung di rumah jabatannya, Minggu (16/4/2023).
Hamdan mengatakan, memang ada beberapa peraturan di PPU yang menjadi masalah dan disinyalir Ombudsman Kaltim melanggar aturan alias maladministrasi. Pemkab PPU disarankan melakukan perubahan karena aturan itu disebut merugikan masyarakat khususnya di bidang pertanahan.
"Sekarang lagi diproses. Kami dikasih waktu enam bulan untuk memperbaiki (Perbup, Red.)," jawabnya.
[TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Perusahaan Didorong Salurkan CSR untuk Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Yayasan Mitra Hijau Dorong Partisipasi Perempuan dalam Transformasi Ekonomi dan Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Dewan SDA Nasional Susun Strategi Pengelolaan Air Berkelanjutan untuk Pulau Kecil dan Terluar
- Gelar Festival Ibu Bumi Menggugat, Kader Hijau Muhammadiyah Bersama NGO Serukan Penolakan Ormas Keagamaan Terima Izin Usaha Pertambangan
- Sofyan Hasdam Pastikan Tapal Batas Kampung Sidrap Kembali Dibahas Usai Pelantikan Kepala Daerah