Daerah

Penanganan Kawasan Kumuh di Samarinda Tersendat, Disperkim Sebut Butuh Data dan DED

Nindiani Kharimah — Kaltim Today 27 November 2025 19:28
Penanganan Kawasan Kumuh di Samarinda Tersendat, Disperkim Sebut Butuh Data dan DED
Potret kawasan kumuh yang ada di sepanjang bantaran Sungai Karang Mumus Kota Samarinda. (Nindi/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Penataan kawasan kumuh di Samarinda kembali menjadi sorotan. Meski sejumlah lokasi sudah masuk daftar prioritas, langkah perbaikan di lapangan terkendala problem klasik: mayoritas bangunan berdiri di atas tanah negara, terutama di sepanjang bantaran Sungai Karang Mumus (SKM). Situasi ini menempatkan Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) pada batas hukum yang tidak bisa diterabas.

Kepala Bidang Kawasan Permukiman Disperkim Samarinda, Ronny Surya, menegaskan bahwa persoalan status lahan menjadi simpul paling rumit dalam penataan kawasan kumuh. 

Menurutnya, banyak masyarakat yang keliru memahami bahwa penanganan kumuh sebatas memperbaiki rumah secara individu. Padahal, yang dibutuhkan adalah pembenahan lingkungan secara menyeluruh dan terstruktur.

“Selama ini orang mengira cukup membedah rumah. Padahal itu tidak menciptakan lingkungan sehat. Kawasan kumuh butuh penanganan terpadu, bukan tambal-sulam,” ujar Ronny.

Ia mencontohkan kawasan Karang Mumus sebagai kasus paling menonjol. Rumah-rumah yang berdiri rapat di sempadan sungai berada di atas tanah negara. Situasi ini membuat pemerintah tidak memiliki ruang kebijakan untuk memberikan ganti rugi tanah.

“Di sempadan sungai itu rata-rata rumah berdiri di atas tanah negara. Kita tidak bisa mengganti rugi tanah negara menggunakan uang negara. Secara hukum itu keliru,” tegasnya.

Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan pemerintah selama ini lebih banyak berupa pembongkaran ketimbang perbaikan fisik bangunan. Penataan kawasan baru bisa dijalankan jika tersedia rencana besar berupa penyusunan Detail Engineering Design (DED) serta pendanaan yang jelas.

Ronny menyebut bahwa penanganan kumuh bukan hanya soal bagaimana membersihkan bangunan. Tahap awal yang krusial adalah pendataan numerik yang meliputi data kawasan, kondisi eksisting, hingga data konsultan yang kemudian menjadi dasar penyusunan DED.

“Kita harus punya data dulu: data kawasan, data konsultan, data numerik. Setelah itu baru menyusun DED sebelum eksekusi pembongkaran atau penataan. Semua itu butuh pendanaan,” jelasnya.

Sayangnya, Disperkim mengakui bahwa proses awal ini belum bisa berjalan optimal karena keterbatasan anggaran. Tanpa pendataan dan DED, proyek fisik tidak bisa dilaksanakan, yang pada akhirnya membuat jadwal penanganan mundur bertahun-tahun.

“Kalau pendataan dan DED tidak bisa jalan, maka seluruh penanganan akan mundur. Tahun ini tertunda, berarti 2027 tertunda, lalu baru bisa fisik di 2028. Begitu seterusnya,” ungkapnya.

Ronny juga menyoroti pertanyaan publik mengenai sejumlah kawasan kumuh yang tidak tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Kumuh pemerintah. Menurutnya, hal itu bukan karena pemerintah tidak melihat kondisi lapangan, melainkan karena data awal belum tersedia.

“Kalau datanya belum kita jalankan, kawasan itu tidak bisa masuk SK. Tanpa SK, kita tidak punya dasar hukum untuk menata kawasan tersebut,” terangnya.

Untuk mencegah penundaan rantai yang lebih panjang, Disperkim menargetkan seluruh proses perencanaan, mulai dari pendataan hingga penyusunan DED dapat diselesaikan tahun ini. Ronny berharap tidak ada pemotongan anggaran, sebab dampaknya bisa meluas hingga dua atau tiga tahun ke depan.

“Kami berharap pendanaan tahun ini tidak dipotong. Kalau tidak ada DED tahun ini, 2027 tidak bisa jalan. Jadinya semua baru mundur ke 2028,” pungkasnya.

[RWT] 



Berita Lainnya