Opini

Perang Tarif dan Dampaknya Terhadap Perubahan Iklim

Kaltim Today
24 April 2025 22:04
Perang Tarif dan Dampaknya Terhadap Perubahan Iklim
Penulis, Doddy S Sukadri.

Oleh: Doddy S. Sukadri

HANYA dalam hitungan hari setelah kembali menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump langsung mengenakan pajak impor sebesar 25% untuk produk-produk dari Meksiko dan Kanada, serta pungutan sebesar 20% pada semua barang dari Tiongkok. Pada 12 Maret 2025, Trump juga memberlakukan tarif sebesar 25% pada impor baja dan aluminium dari semua negara. Kebijakan ini memicu aksi balasan dari Kanada dan Uni Eropa, yang mengumumkan tarif serupa terhadap produk-produk asal AS.

Ancaman Trump untuk memberlakukan tarif secara ketat datang bertubi-tubi dengan kecepatan yang mengejutkan dunia. Perang dagang global pun memanas, membawa dampak signifikan bagi perekonomian. Baru-baru ini, Inggris dan negara-negara produsen mobil besar lainnya menyatakan kekhawatiran atas potensi tarif masuk tinggi terhadap mobil dan baja.

Menurut studi terkini, kebijakan tarif Trump justru berisiko memukul perekonomian AS sendiri, serta negara-negara yang menjadi targetnya. Peneliti dari London School of Economics and Political Science memperkirakan, kebijakan ini dapat mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,64% di AS, 0,68% di Tiongkok, dan 0,11% di Uni Eropa.

Dampak Terhadap Perubahan Iklim

Perang tarif telah mengganggu arus perdagangan global secara nyata. Namun, satu efek samping yang belum banyak dibahas adalah potensi dampaknya terhadap emisi global. Pengurangan permintaan terhadap barang konsumsi berdampak pada berkurangnya pengiriman dan transportasi internasional, yang merupakan salah satu kontributor utama emisi karbon global. Meskipun Trump banyak dikritik karena mencabut berbagai kebijakan lingkungan—termasuk menarik AS dari Perjanjian Paris dan mendukung industri bahan bakar fosil—kebijakan tarifnya justru berpotensi secara tidak langsung memberikan manfaat bagi lingkungan.

Menurut para ilmuwan, transportasi lintas negara menyumbang sekitar 3% dari emisi global, atau setara dengan 1.000 juta metrik ton CO₂ per tahun yang dihasilkan dari transportasi laut. Jumlah ini setara dengan 200 juta gajah, atau kira-kira 400 kali jumlah gajah yang masih hidup saat ini di seluruh dunia.

Berdasarkan laporan International Maritime Organization, emisi dari transportasi laut internasional diperkirakan akan meningkat hingga 50% pada tahun 2050. Selain itu, kebisingan bawah laut dan insiden seperti tumpahan minyak juga memberi dampak ekologis besar terhadap kehidupan laut.


Kebijakan tarif Trump dapat memperpendek rantai pasokan global dan mengurangi jejak karbon yang selama ini melekat pada jaringan manufaktur dan distribusi internasional. Sementara banyak pabrik di Tiongkok masih bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, sistem energi di AS mulai beralih ke energi terbarukan seperti angin, matahari, dan gas alam—yang memiliki jejak karbon lebih rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, AS telah menginvestasikan lebih dari USD 126 miliar untuk membangun industri bersih dan ramah lingkungan.

Menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), produksi listrik dari tenaga surya di AS diperkirakan meningkat sebesar 75% antara tahun 2023 hingga 2025—dari 163 miliar kilowatt-jam (kWh) pada 2023 menjadi 286 miliar kWh pada 2025. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga angin juga diperkirakan tumbuh sebesar 11%, dari 430 miliar kWh menjadi 476 miliar kWh pada periode yang sama.

Namun demikian, kebijakan proteksionis ini juga berdampak pada rantai pasokan ekspor pakaian jadi dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tarif tinggi akan membuat harga busana di pasar AS menjadi lebih mahal, sekaligus mengurangi pendapatan negara berkembang dari sektor ini.

Potensi Pendanaan Iklim Global

Kebijakan tarif Trump juga diperkirakan akan menyebabkan negara-negara maju mengalihkan sebagian dana yang sebelumnya dialokasikan untuk pembiayaan iklim ke kegiatan domestik. Padahal pada KTT Iklim COP-29 di Azerbaijan, negara-negara maju berjanji untuk meningkatkan bantuan iklim menjadi USD 3 miliar per tahun guna mempercepat aksi iklim di negara berkembang. Komitmen ini terancam tidak terealisasi akibat gejolak ekonomi dan politik global.

Brasil, yang akan menjadi tuan rumah COP-30 tahun ini, bersama sejumlah negara berkembang lainnya menargetkan mobilisasi dana hingga USD 1,3 triliun per tahun untuk menghadapi bencana iklim yang semakin sering dan masif di berbagai belahan dunia.

Indonesia sendiri telah menyampaikan komitmennya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) yang berlaku hingga 2035. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menegaskan prinsip no backsliding—artinya, perubahan geopolitik apa pun tidak akan mengganggu target penurunan emisi nasional hingga tahun 2030. Namun demikian, kebijakan tarif Trump tetap berpotensi memengaruhi strategi aksi mitigasi yang dikategorikan sebagai Counter Measure 2, yakni aksi-aksi iklim yang bergantung pada dukungan pendanaan internasional. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya