Nasional

Pidato Prabowo di PBB Dinilai Kontradiktif oleh Organisasi Masyarakat Sipil

Kaltim Today
25 September 2025 12:17
Pidato Prabowo di PBB Dinilai Kontradiktif oleh Organisasi Masyarakat Sipil
Amnesty International Indonesia, Madani Berkelanjutan, dan CELIOS menyampaikan kritik atas pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB, Selasa (24/9/2025).

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada Selasa (23/9/2025) di New York menuai sorotan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai pernyataan Prabowo soal krisis pangan dan iklim tidak sejalan dengan kondisi di dalam negeri.

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyampaikan ambisi Indonesia menjadi aktor global dalam penanganan krisis iklim dan ketahanan pangan. Ia mengklaim Indonesia telah mencapai swasembada beras, menargetkan reforestasi 12 juta hektare lahan terdegradasi, membangun tanggul laut sepanjang 480 kilometer, dan mengejar netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat.

Namun, sejumlah pengamat dan aktivis menilai pidato tersebut tidak menyentuh akar persoalan, dan cenderung mengabaikan keadilan iklim bagi kelompok rentan seperti petani dan nelayan.

“Realitanya sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung,” ujar Jaya Darmawan, peneliti CELIOS, dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (24/9).

Harga Beras Naik, Luas Sawah Turun

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, luas lahan sawah di Indonesia menyusut dari 10,21 juta hektare pada 2023 menjadi 10,05 juta hektare pada 2024. Produksi gabah juga menurun, dari 53,98 juta ton menjadi 53,14 juta ton dalam periode yang sama.

Di wilayah Indonesia Timur seperti Jayapura dan Merauke, harga beras tembus Rp 18.000 per kilogram. Angka tersebut melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras premium maupun medium.

Belum Setor Komitmen Iklim Global

Hingga batas waktu 20 September 2025, Indonesia belum juga menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC), yaitu komitmen iklim terbaru kepada PBB. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap keseriusan pemerintah dalam menangani krisis iklim secara sistemik.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, mengkritik pendekatan pemerintah yang terlalu fokus pada solusi teknis. Ia menilai akar masalah terletak pada ketimpangan ekonomi dan tata kelola sumber daya alam.

“Kalau kita hanya mengejar pertumbuhan ekonomi 8% tanpa memulihkan lingkungan dan memperkuat keadilan sosial, maka hutan dan biodiversitas akan dikorbankan,” ujarnya .

Nadia juga menyoroti tidak adanya dukungan Prabowo terhadap skema keuangan iklim yang diusulkan Presiden Brazil, Lula da Silva, seperti Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Menurutnya, reforestasi saja tidak cukup jika deforestasi tetap terjadi atas nama ketahanan pangan dan energi.

Target Energi Terbarukan Dianggap Melemah

Sementara itu, Saffanah Azzahra dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai target bauran energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) justru lebih rendah dari sebelumnya. Dalam KEN terbaru, target energi terbarukan hanya 19–23% pada 2030, turun dari 23% pada 2025 sebagaimana tercantum dalam KEN sebelumnya.

“Dengan dominasi energi fosil mencapai 79%, di mana 50%-nya berasal dari batu bara, target menjaga suhu bumi di bawah 1,5°C tidak mungkin tercapai,” kata Saffa.

Ia juga mengkritik penggunaan teknologi co-firing sebagai solusi pengurangan emisi. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, penggunaan biomassa di 52 PLTU berpotensi menyebabkan deforestasi hingga 4,65 juta hektare.

Jaya Darmawan menambahkan bahwa ekspor pelet kayu dari Indonesia ke Jepang dan Korea menunjukkan adanya ketidaksesuaian data yang mencurigakan. “Selisih ekspor senilai US$153 juta selama 12 tahun terakhir bisa masuk kategori illicit financing,” katanya.

Isu HAM dan Konsistensi Diplomasi

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai pernyataan Prabowo terkait hak asasi manusia hanya bersifat retoris jika tidak diikuti dengan kebijakan konkret di dalam negeri.

“Kalau Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi, maka kecaman terhadap genosida di Gaza menjadi pepesan kosong,” ujar Usman.

Ia juga mengkritik rencana pelibatan militer dalam program pangan nasional, seperti distribusi makanan bergizi, sebagai langkah yang tidak sejalan dengan peran militer dalam diplomasi perdamaian.

Penahanan aktivis dan mahasiswa pasca demonstrasi Agustus 2025 serta pembatalan tim pencari fakta atas insiden tersebut juga dinilai mencederai komitmen HAM pemerintah.

“Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan,” tegasnya.

[TOS]



Berita Lainnya