Nasional

Proposal Prabowo Soal Perdamaian Urkraina-Rusia Dinilai Tidak Masuk Akal, Peneliti: Usulan Tidak Sesuai Kondisi Terkini di Lapangan

Diah Putri — Kaltim Today 05 Juni 2023 11:20
Proposal Prabowo Soal Perdamaian Urkraina-Rusia Dinilai Tidak Masuk Akal, Peneliti: Usulan Tidak Sesuai Kondisi Terkini di Lapangan
Menteri Pertahanan (Menhan). (Sumber: Instagram/Prabowo)

Kaltimtoday.co - Proposal perdamaian dengan Rusia yang diajukan oleh Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, ditolak oleh Pemerintah Ukraina. Berita penolakan ini disampaikan saat forum IISS Shangri-La Dialogue di Singapura, pada Sabtu (3/6/2023).

Dalam proposalnya, Prabowo Subianto mengajukan 5 poin usulan untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina. 

Aksi penolakan yang dilakukan Pemerintah Ukraina menarik perhatian seorang peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur lulusan Hubungan Internasional (HI), Unair, Radityo Dharmaputra.

Radityo menjelaskan penyebab penolakan terjadi melalui utas yang dibuat di akun Twitter @RadityoDharmaP. Ia pun juga sepakat dengan Pemerintah Ukraina yang langsung menolak usulan Menhan tersebut.

Radityo menilai jika usulan perdamaian yang diajukan Prabowo terkesan tidak masuk akal. Menurutnya, lima poin yang diusulkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan saat ini. 

“Mengapa usulan Pak Prabowo langsung ditolak oleh Ukraina dan negara-negara Barat? Karena tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kondisi saat ini di lapangan, tidak mempertimbangkan dari segi sejarah dan politik Eropa Timur, serta tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sendiri," tulis Radityo di akun Twitternya, dikutip pada Senin (6/5/2023).

Lima poin usulan yang diajukan Prabowo diantaranya, gencatan senjata, penarikan mundur pasukan Rusia dan Ukraina sejauh 15 kilometer dan pembuatan DMZ di wilayah antara pasukan Rusia dan Ukraina.

Mantan Danjen Kopassus juga mengusulkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian dan pemantau PBB, mengadakan referendum di wilayah yang disengketakan.

Terkait penarikan 15 km dan penetapan zona demiliterisasi (DMZ) yang diajukan Prabowo, Radityo menilai hal itu sudah terlambat. Hal ini dikarenakan, Ukraina saat ini berada di atas angin dan didukung oleh pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, yang mengatakan Ukraina siap melakukan serangan balik ke Rusia. 

"Lalu tiba-tiba disuruh berhenti dan mundur? Ini jelas tidak masuk akal bagi Ukraina. Bagi Rusia, yang juga berada di bawah tekanan krisis di wilayahnya sendiri, usulan ini masuk akal," katanya,” tulisnya.

Selain itu, Radityo mempertanyakan DMZ didasarkan pada posisi yang mana. Jika diasumsikan bahwa serangan Belgorod juga merupakan bagian dari serangan balik, maka sebagian akan terjadi di wilayah Rusia. Jika tidak, seluruh wilayah DMZ akan berada di wilayah Ukraina.

"Tentu saja, Ukraina tidak dapat menerima ini. Bagaimana mungkin negara agresor (negara penyerang) seperti Rusia diizinkan untuk menginvasi, kemudian diberi imbalan dengan menguasai sebagian wilayah yang direbutnya? Aksi ini bertentangan dengan prinsip integritas wilayah, juga menjadi insentif bagi negara kuat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Radityo juga menilai usulan referendum di wilayah yang disengketakan itu sangat keliru. Menurutnya, tidak ada wilayah yang dipersengketakan dalam perang antara Rusia dan Ukraina. Adanya wilayah Ukraina yang diambil secara ilegal oleh Rusia sejak 2014 silam.

“Wilayah mana yang dimaksud Prabowo? Bahkan jika kita ingin berargumen bahwa wilayah yang diklaim, dikuasai oleh Rusia sebagai "wilayah yang disengketakan", apakah sama saja dengan kita sedang memberi hadiah kepada agresor? Apakah kita sedang berargumen bahwa negara kuat boleh menginvasi, lalu nanti bisa referendum di sana,” tanyanya.  

Selain itu, Radityo juga mengungkapkan masih adanya ketidakjelasan dan terkesan amatir dari proposal yang diajukan Prabowo sebab menimbulkan pertanyaan siapa penyusunnya. Kemudian, apakah sudah berkoordinasi dengan Presiden dan Kemlu atau proposal ini hanya sebagai “cek ombak” saja.

“Atau lebih parahnya lagi, jangan-jangan ini hanya pembentukan image menjelang Pemilu 2024? Kalau iya, celakalah kita, karena harga yang dibayar adalah reputasi Indonesia di mata dunia,” tulisnya.



Berita Lainnya